Wednesday, May 28, 2014

Waktuku Untuk Anak-anakku


Setelah menempuh perjalanan jauh menuju tempat diselenggarakannya acara wisata angkatan anakku pertama yang baru saja menyelesaikan rangkaian ujian sekolah dasarnya, sambutan para murid berupa nyanyian yang ditujukan bagi para guru itu terasa menyejukkan sekali. Bagaimana tidak? Tugasku hari itu tidak hanya mendampingi para pengajar yang mendapat undangan khusus setelah enam tahun penuh memberi pelajaran dan bimbingan bagi anakku dan teman-temannya. Aku sebenarnya agak kecewa melihat jumlah guru yang akhirnya dapat ikut dalam perjalanan ini yang hanya sekitar setengah dari total yang diharapkan. Namun aku juga mengerti bahwa tidak semua guru menganggap acara ini seistimewa anggapan para murid dan orangtuanya.

Dengan segala regulasi baru dari pihak pemerintah setempat yang dianggap membatasi aktifitas sekolah, nyaris saja para murid ini hanya dapat kenangan akan beratnya mengarungi pendidikan selama enam tahun. Beruntung sekali para orangtua lalu sepakat untuk merogoh koceknya lebih banyak dari yang harusnya terjadi. Pasalnya, kebijakan pemerintah setempat untuk mengantisipasi adanya korupsi baik dari pihak sekolah maupun pihak komitee sekolah justru seolah menciptakan tembok yang begitu tinggi bagi para murid untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bisa meringankan beban pikiran dan moral mereka selama menghadapi ujian akhir yang dianggap menakutkan itu.

Acara ini ternyata juga menjadi wadah yang tepat bagi orangtua murid terutama para ayah untuk mendekatkan diri baik dengan sesama maupun dengan. Buktinya, acara jrang jreng jrang jreng yang dilakukan para ayah di taman depan villa yang kami tempati malam itu sempat di keluhakan oleh para ibu karena tidak berhenti hingga pukul dua pagi. Itupun juga akhirnya berakhir hanya karena stok kayu bakar yang tersedia telah habis sehingga kami memutuskan untuk berisitirahat. Itupun tidak langsung kami lakukan setelah kami pindah ke dalam villa karena kami sempat melanjutkan aktifitas kami dengan bermain kartu dan mengobrol hingga pukul tiga.

Tidak hanya itu, semua permainan yang dilakukan para murid juga selalu melibatkan peranan para ayah, termasuk pertandingan sepak bola antara tim ayah dan tim anak. Sepuluh anak yang bermain secara serempak dalam tim-nya jelas tak sebanding dengan jumlah ayah yang hanya tujuh orang. Belum lagi tim anak dapat dengan mudah berganti-ganti pemain sehingga jika ditotalkan, ada limabelas anak yang sempat turun bertanding sedangkan tim ayah tidak memiliki pemain cadangan mengingat sebagian ayah yang ada tidak merasa layak bermain dengan kondisi kesehatannya. Tidaklah mengherankan ketika tim ayah dibantai dengan kemenangan telak tim anak yang sebagian besar terdiri dari mereka termasuk dalam tim sekolah yang sempat mejuarai lomba futsal se kecamatan.

Pembantaian itu tidak dilakukan hanya pada angka akhir pertandingan tapi juga pada fisik para ayahnya yang hingga hari ini tinggal masih harus merasakan salah urat dan pegal-pegal pada seluruh bagian tubuhnya khususnya pada kaki. Memang bukanlah hal yang mudah bagi kami, para ayah, untuk kembali menjalani aktifitas kerja kami dengan segala kepenatan dan kepegalan yang menjadi efek dari apa yang kami lakukan selama acara wisata ini, namun semuanya itu menjadi sangat berharga buat kami ketika kami tau betapa kesukaan para anak atas kehadiran kami terus menerus menjadi trend topik percakapan mereka. Segala sorakan bahkan ledekan yang mereka tujukan pada kami saat itu, hingga pujian yang tak kunjung berhenti dalam status maupun pembahasan di facebook dan whatsapp jelas menghadirkan kesejukan dalam hati kami.

Mungkin banyak sekali ayah yang merasa bahwa segala barang ataupun uang yang diberkan merupakan kunci dari kepuasan anak-anaknya. Namun aku melihat bagaimana para ayah yang terlibat dalam acara ini, seperti halnya aku sendiri, menempatkan unsur waktu dan kebersamaan dengan anak sebagai prioritas nomor satu dalam menunjukkan betapa besar kasih sayang dan perhatian yang kami miliki buat mereka. Aku sadar sekali bahwa waktu yang bisa aku lewatkan bersama mereka mungkin tidak banyak mengingat mereka akan secepatnya menjadi manusia dewasa yang mungkin akan tenggelam dalam kesibukkannya sendiri sedangkan umur kami tidak akan pernah lagi memuda sehingga kemampuan kamipun makin terbatas. Usaha untuk mensejahterakan masa depan mereka yang sering kami jadikan alasan untuk bekerja mati-matian dalam mencari nafkah tidaklah berarti apapun tatkala di kemudian hari mereka tidak punya cerita indah tentang kebersamaan mereka dengan kami.

Kesadaran itulah yang memotivasi aku untuk semampuku mengisi hari-hariku bersama mereka ketimbang larut dalam pekerjaanku. Bagaimanapun, cerita tentang kekayaanku dan kesejahteraan hidupku akan terdengar sumbang jika kelak yang terucap dari mulut anak-anakku hanyalah suatu pengandaian atas indahnya kebersamaan dengan ayahnya yang jarang bahkan tidak pernah dialami di masa kecilnya.
Semoga Tuhan memberiku kemampuan yang panjang untuk selalu menjadi bagian dari hidup anak-anakku. Amiin.

"Tolong ingatkan papa untuk selalu meluangkan waktu untukmu ya, nak..."




Saturday, May 3, 2014

Di Balik Pertikaian

Wajahnya kusam meski aku yakin putri tunggalnya telah mendandaninya sebaik mungkin agar terlihat tetap tampil anggun buat siapapun yang datang menjenguknya. Tatapannya kosong seolah menembus apapun yang ada di depan. Rupanya sangat mirip dengan mendiang ibuku di hari-hari terakhirnya ketika beliau hanya dapat terbaring tanpa daya. Tanteku ini memang kakak kandung mendiang ibuku yang beberapa hari lalu mengalami stroke yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tidak seperti sebelumnya saat masih sehat, ia kini terlihat setua umurnya yang sudah delapan puluhan. Dengan infus dan selang oksigen yang terkait di tubuhnya, kondisinya yang tak mampu melakukan gerakan apapun pada anggota tubuhnya bahkan mulutnya sekedar hanya untuk berbicara membuatnya tampak sangat mengenaskan.

Namun aku tau pasti bahwa ia tetap mengetahui kehadiranku dan saudara-saudaraku karena air matanya berlinang segera setelah kami menyapanya perlahan lewat bisikan lembut di kupingnya. Kehadiran kami yang datang jauh dari Jakarta memang tidak diketahui oleh baik suaminya, putrinya dan cucu tunggalnya. Putrinya juga tak henti-hentinya menangis sejak menyambut kemunculan kami. Ia sempat mengutarakan bagaimana sepinya ia, ayahnya dan anaknya harus menghadapi ini semua. Dan hal itulah yang justru membuat kami berharap kedatangan kami bisa membantu memulihkan kesehatan tanteku.

Saat kondisi kesehatan mendiang ibuku kian memburuk, beliau sering menceritakan banyak hal yang selama puluhan tahun sebelumnya tak pernah diceritakannya padaku maupun kakak-kakak dan adik-adikku. Salah satunya adalah bagaimana beliau menjalani masa lajangnya sebagai seorang bungsu di antara 6 bersaudara perempuannya. Tiga kakak tertuanya acapkali membully beliau dan kedua kakak lainnya. Hal ini dilakukan sejak masa kecil hingga remajanya sampai akhirnya terbentuklah persekongkolan dua kubu yang awet hingga bahkan setelah mereka berkeluarga. Tak jarang para anggota kubu lawan meminta bantuan dana dari mendiang ibuku untuk mensupport keluarganya. Kadang mereka tega melemparkan tuduhan "pelit" di saat beliau tidak dapat memberikan apa yang mereka butuhkan.

Cerita-cerita seperti inilah yang kemudian seolah menjadi amanahnya buat kami, khususnya aku, untuk menjaga hubungan baik dengan tanteku ini yang dahulu termasuk dalam kubu mendiang ibuku. Hal ini pulalah yang kemudian menciptakan jarak antara aku dan anak-anak dari mereka yang berada di kubu seberangnya. Kedua kakak mendiang ibuku masing-masing hanya memiliki anak tunggal yang keduanya punya jalinan persaudaraan yang kental dengan kami. Dan bersama putra tunggal dari salah satu kakak beliau itulah aku datang menjenguk tanteku ini.

Keharuan dana sukacita yang aku saksikan saat jengukan ini sekali lagi membukakan mata dan akal pikiranku lebar-lebar. Ini suatu pembelajaran penting yang seharusnya bisa kami serap dalam menciptakan masa depan anak-anak kami semua. Pembentukan dua kubu yang ada di dalam persaudaraan kami harusnya tidak perlu terjadi dan harus segera diakhiri. Terlebih jika semua itu didasari oleh harta yang sifatnya duniawi. Aku juga sempat membayangkan bagaimana ego kami bisa membuat masa depan anak-anak kami menjadi sepi bila kami tidak segera memperbaiki kondisi yang berlaku saat ini. Sungguh suatu ketidakadilan bagi mereka.

Lalu sampai kapankah perang dingin antara pihak kami dengan pihak yang berseberangan berlanjut? Sulit untuk menentukan prediksi waktunya. Mungkin saja hal itu terjadi setelah apa yang masing-masing kubu perjuangkan tiba-tiba lenyap begitu saja tak berbekas. Namun aku lebih khawatir jika terjadinya justru setelah ada dari kami yang kemudian pergi selamanya sebelum pernah mencicipi kemenangan ataupun kekalahannya. Semoga saja tidak sampai begitu....