Wednesday, February 24, 2016

Sariawan

Saat ini ada 2 sariawan baru yang bersarang di dalam mulutku. Masih muda tapi cukup menyengat sakitnya. Apalagi posisinya di bagian yang selalu bersentuan dengan gigi, sehingga cukup mengganggu ketika aku berbicara atau sedang makan.
Sariawan itu adalah penyakit ringan dalam arti tidak mematikan namun bisa membuat korbannya tidak berkutik. Aku ingat seorang teman bule yang postur tubuhnya tinggi dan kekar berkata padaku bahwa semacho-machonya seseorang, bisa sekejap jadi layaknya orang yang cengeng ketika sariawan yang dideritanya begitu mengganggunya.

Semalam ketika tengah menotol-notolkan Albothyl, menahan sakit sambil berarap kedua sariawan-ku itu tidak bertambah besar dan parah sehingga cepat hilang, aku memikirkan fakta bahwa tak seorangpun bakal luput dari sarawan. Kaya atau miskin, tua atau muda, pria atau wanita, siapapun dia bisa memiliki sariawan. Lalu biasanya apa yang dilakukan si korban ketika sariawan itu begitu mengganggu dan tak kunjung sembuh meski sudah berbagai cara dilakukan untuk melenyapkan kehadirannya? Pada akhirnya memang sariawan itu akan hilang dengan sendirinya seiring dengan membaiknya kondisi tubuh kita. Berapa lama hingga itu terjadi? Dokter sehebat apapun tak akan bisa mengetahuinya. Jadi kita hanya bisa bersabar sambil melakukan hal-hal yang dirasa bisa memperbaiki kesehatan badan kita.

Nah sekarang ibaratkan cobaan yang kita dapatkan dalam hidup itu bagaikan sariawan. Bisa saja cobaan itu kita rasa sangat berat, namun kita harus yakin pasti akan terlewati. Seringkali ingin menyerah ketika segala usaha yang kita lakukan belum membuahkan hasil. Padahal di lain waktu kita bisa begitu tabah dan sabarnya menghadapi sariawan yang tak jarang bukannya sembuh tapi justru bertambah parah atau jadi beranak pinak. Ketika aku terkena cacar air, wedang asem pemberian almarhumah ibuku memaksa semua bakteri penyebab cacar air itu diaktifkan. Maksudnya adalah agar bakterinya dihabiskan sehingga kelak aku tak akan terjangkit cacar air lagi. Saat itu bagian dalam mulut, lidah dan kerongkonganku pun dipenuhi sariawan yang jumlah totalnya di atas 15. Sengsara memang, namun akhirnya kesengsaraan itu toch berakhir juga sekitar 3 minggu kemudian ketika kesehatanku pulih.

Separah apapun sariawan tidak akan membuat orang depresi apalagi ingin bunuh diri. Bila kita menyikapi segala permasalahan hidup kita sebagimana penanganan terhadap sariawan, harusnya hidup kita akan terasa jauh lebih ringan. Bayangkan saja...tak satupun masalah yang jadi beban hidup karena semua dianggap pasti akan berlalu. Tak guna mengeluh karena keluhan tak pernah menyembuhkan kita dari sariawan.
Dan jika ada yang bertanya, "bagaimana jika usia kita lebih pendek dari masalah kita?", ya anggap sama saja dengan ketika kita harus berpulang kepadaNya dengan sebuah atau lebih sariawan di mulut kita. Gampang khan?



Wednesday, February 10, 2016

Sekedar Menuang...

Mungkin kondisi hidupku saat ini adalah yang terburuk dari semua yang pernah kulewati. Ya...situasi finansialku belum juga membaik, bahkan bisa dibilang memburuk karena income yang kian menipis. Bagaimana tidak bila memang lingkup pekerjaan yang selama ini menjadi lahan andalan penghasilanku makin diselimuti masalah kegetiran pasar. Beberapa resource yang selama ini setia mensuplai proyek2 buatku tumbang dan gulung tikar karena tak kuat lagi menanggung beban finansial yang tak kunjung menjadi ringan. Hal itu otomatis melahirkan penganggur2 baru yang entah harus dioper kemana lagi.

Aku memang sibuk mencari celah proyek baru, tapi tidaklah mudah ketika modalku hanya dengkul dan doa. Ya...jangan kira aku tidak berdoa atau kurang memasrahkan diri kepadaNya. Aku tak ingin mengaku2 bahwa aku telah total ikhlas menerima apapun yang berlaku buatku karena bukan hak ku untuk menilainya. Tapi jujur saja, aku sudah mencoba bertahan untuk tidak mengeluh..sekalipun hanya di dalam hati. Berulangkali aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku harus percaya pada kehendakNya. Percaya bahwa Dia telah memberiku yang terbaik buatku. Percaya bahwa cintaNya kepadaku selayaknya berbuah hanya kebaikan dalam segala hal yang aku lakukan.

Namun aku akui juga bahwa dahsyatnya masalah2 yang harus aku hadapi sangat mampu membuatku bagai orang kehilangan kewarasan. Bagaimana aku mampu meyakinkan diri aku akan disuguhi solusi di saat ketika yang akirnya aku dapatkan di ujung suatu jalan bukanlah hal yang aku tunggu2 namun justru keapesan yang aku harapkan bisa terindari? Kadang dalam keadaan terhimpit masalah yang tak bersolusi dan kepercayaanku padaNya, aku hanya bisa terduduk diam dengan pikiran dan pandangan mata yang kosong. 

Ingin rasanya di saat seperti itu aku berwudhu kemudian menghadap kepadaNya dalam shalat, namun kekalutan hati dan pikiranku jelas tak memungkinkan aku untuk berkhusyu'. Sekali lagi, bukannya aku tidak ingin percaya bahwa menggantungkan harapanku dalam doa bisa memberi mukjizat...tapi bukan tidak perna pula gencarnya doa yang kupanjatkan tidak membuahkan solusi instan yang aku minta. Lalu bagaimana pula aku harus berikhlas menerima kondisi yang ikut menyudutkan nasib orang2 yang menjadi tanggung jawabku?

Di situasi seperti itu, ketika aku mendengar anjuran dan nasehat dari orang2 yang berusaha menenangkanku, aku cenderung merespon dalam hati dengan "Yeah..right! Easy or you to say 'cause you're not in my freakin' shoes". Sudah setaun terakhir ini aku lebih mengharapkan solusi yang solid dan nyata buat hari ini...bukan iming2an hari esok yang lebih baik. Jika aku tengah menjadi target bidikan senjata tentunya aku berdoa sekuat tenaga agar senjata itu meletuspun tidak. Tapi ketika peluru yang akirnya ditembakkan tetap berhasil tepat mengenai sasarannya, salahkah aku bila mempertanyakan keabsahan doa ku itu? Atau berasumsi bahwa ada yang salah dengan caraku memohon petunjuknya?

Ah...sudahlah. Kalau memang aku harus bersabar dan bersyukur, biarlah kesabaran dan rasa syukur itu kubawa ke liang kubur....