Thursday, October 17, 2013

Tugas Baru

Antara bergairah dengan cemas aku beranjak dari kursi di kantorku yang telah sekian tahun lamanya menjadi singasanaku dalam menjalankan roda pekerjaanku. Ini bukan kali pertama aku meninggalkan kantorku untuk memulai usaha baru, tapi baru kali ini aku beranjak pergi untuk memulai karirku sebagai seorang pegawai. Jika selama ini aku selalu menjadi "petinggi" di semua usaha yang aku geluti karena memang aku menjadi salah seorang pioneernya, kali ini aku harus beranjak pergi untuk memulai karirku sebagai seorang karyawan biasa yang punya beberapa orang boss. Ya, kali ini aku akan bekerja dengan jam kantor yang umumnya diterapkan di kantor-kantor lain tanpa pengecualian. Sementara itu, aku juga baru hari ini bisa melihat tempat kerja yang disediakan buatku tanpa sedikitpun gambaran tentangnya.

Aku sudah lama ingin menjadi bagian dari perusahaan yang tiga tahun belakangan ini aku perjuangkan legalitasnya setelah digonjang ganjingkan dengan berbagai aksi serobot menyerobot antara banyak pihak termasuk para petingginya. Sebuah amanah suci yang kupanggul di atas pundakku menjadi alasanku untuk bergabung di dalam perusahaan ini. Maka meskipun aku sempat diberi keleluasaan untuk memilih jabatan yang tersedia, aku hanya menyerahkan keputusannya pada papa pimpinan perusahaan karena buatku yang terpenting adalah aku bisa ikut mensukseskan usaha apapun yang dijalankannya. Hal inilah yang membuatku bergairah dalam menyambut hari pertamaku di perusahaan ini. Namun kecemasan itu juga hadir mengingat selama ini aku tidak pernah merasa terikat pada peraturan yang aku berlakukan sendiri. Dan kalaupun aku merasa ada peraturan yang memberatkan, dengan mudah aku ubah dan sesuaikannya dengan keinginanku.

Ketika aku tiba di tempat kerja baruku, baru ada seorang karyawan lain yang sudah aku kenal sebelumnya. Ruang kantor ini tidak besar sehingga hanya satu orang saja yang mendapatkan ruangan pribadi sementara aku sendiri ditempatkan dalam cubicle yang bisa memuat 4 karyawan yang 2 diantaranya duduk membelakangi 2 orang lainnya. Terbatasnya privacy buatku mungkin akan menuntut beberapa saat buatku untuk menyesuaikan diri termasuk dalam hal berbicara di telpon atau penggunaan komputer, namun aku sadar bahwa posisiku memang menuntut lebih banyak keseriusan dalam menjalankan tugas-tugasku yang memang sangat diperlukan dalam kelangsungan hidup perusahaan yang baru saja mengalami perombakan signifikan dalam struktur organisasinya. Jadi memang aku kini berada dalam lingkungan yang terbilang "kaku" buat ukuran orang sepertiku.

Meski begitu, hari pertamaku berjalan cukup santai mengingat kami masih berada dalam suasana orientasi pada sesama pegawai dan penataan tempat kerja. Lagipula memang belum semua posisi jabatan komplit terisi sehingga materi pekerjaan juga belum sepenuhnya dibagikan. Asupan dari presiden komisarispun juga cenderung ringan yang intinya mengingatkan tentang kekompakan dalam kinerja semua karyawan. Aku dan para pekerja lainnya masih perlu menyesuaikan diri dengan segala ketetapan yg diterbitkan oleh pihak pengelola gedung yang tidak aku berlakukan dalam perusahaan yang aku pimpin sebelumnya. Dan di penghujung jam kerjaku, aku masih merasa canggung menerima kenyataan bahwa aku memang tidak diperkenankan berlama-lama berada di areal gedung yang memberlakukan batasan pemakaian listrik termasuk jam pemadaman lampu dan pendingin ruangan.

Disaat banyak orang yang kesal sambil menggerutu atau mengeluh atas kemacetan yang menjebaknya selama berjam-jam menuju tempat tinggalnya, aku justru tersenyum sendiri mencoba menikmati hal yang tidak biasanya aku temui karena selama ini aku bisa memilih sendiri waktu yang tepat untuk meninggalkan tempat kerjaku dan terhindar dari kepadatan jalan yang harus aku lalui. Paling tidak, perjalanan yang mungkin membosankan buatku kelak nanti saat itu menjadi suatu petualangan baru buatku. Aku mungkin kelak bisa ikut mengeluh atau tetap tersenyum menerimanya dengan ikhlas. Bagaimanapun juga aku menyikapinya, aku sadar bahwa semua adalah romantika kehidupanku yang tak mungkin aku prediksi sebelumnya. Alhamdulillah.....



Monday, October 14, 2013

Trauma

Biasanya daya ingat seorang anak kecil lebih tajam dari orang dewasa, apalagi orang dewasa seumurku. Kalau aku masih bisa mengingat dengan jelas peristiwa mengenaskan sekitar setahun silam tatkala aku dan anak sulungku kena seruduk sapi lepas dalam acara sembelih qurban, tentunya anakku itu lebih tidak mungkin lagi melupakannya. Bahkan hal ini seolah masih memberinya rasa ngeri yang besar sehingga ia menolak untuk ikut hadir menyaksikan pemotongan hewan qurban kami besok. Rasa sakit yang begitu hebat yang dideritanya ketika itu telah membuatnya trauma dan takut jika kejadian seperti itu terulang lagi.

Aku mengerti betul posisinya dan suara hatinya, namun aku juga tidak ingin ia dikalahkan begitu saja oleh rasa takut yang harusnya justru bisa ditaklukannya. Apalagi aku sudah terlanjur menggunakan namanya sebagai pemilik hewan yang siap aku qurbankan besok. Aku mengatakan padanya bahwa segala yang terjadi, baik atau buruk, adalah ketentuan Illahi yang tidak mungkin dihindari bila sudah menjadi suratannya. Bahwa semua merupakan misteri itulah yang kemudian memberikan kita tantangan untuk siap menghadapi yang terburuk dan menggunakan akal logika kita dalam memecahkan berbagai masalah yang kita temui.

Jika aku biarkan trauma menghantuiku, aku tentu telah lama tidak mengendarai motor sejak aku terjatuh hanya karena aku bercanda dengan kakakku kemudian hilang keseimbangan. Atau setelah terjatuh karena menghindari adik kelas adikku yang menyebrang jalan sembarangan sehingga membuatku dirawat di rumah sakit selama 2 minggu karena mukaku terseret di atas aspal sejauh 5 meter. Memang, jika aku saat dulu langsung menyerah dan memutuskan untuk tidak mengendarai motor lagi, mungkin saja aku tidak akan pernah mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan tulang keringku patah sehingga perlu dioperasi dan disambung dengan sebuah plat besi dan 12 pin selama setahun. Tapi aku menganggap kecelakaan itu sudah menjadi milikku untuk aku alami, sehingga semua yang telah berlaku diatur sedemikian rupa sampai aku harus mengalaminya.

Ada kekhawatiran dalam diri anakku akan terulangnya kembali peristiwa naas yang dialaminya tahun kemarin. Tapi ia harus menyadari bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mudah terjadi dan bukan peristiwa yang akan membatasinya dalam menjalani hari-harinya. Meski hal serupa mungkin saja masih bisa terjadi lagi dengan skema yang jauh berbeda, bukanlah berarti ia tidak bisa menempatkan dirinya di posisi yang dianggapnya aman. Dan satu hal yang pasti, keikhlasannya tentu akan membuatnya tenang dan percaya bahwa apa yang terjadi padanya adalah apa yang telah ditakdirkan olehNya untuk dirinya. Aku cukup meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi, segala konsekuensinya menjadi berkah untuknya di saat ia telah sepenuhnya siap menerima apapun dengan keikhlasan penuhnya.

Aku berpesan pada kedua putraku agar mereka tidak membiarkan diri mereka dihantui rasa trauma karena rasa itu hanyalah simbol dari keraguan dan ketakutan kita pada seusatu yang tidak absolut sifatnya. Kalau mereka tidak ingin melakukan sesuatu karena mereka memang tidak suka melakukannya, dalam arti suatu hal yang tidak bermanfaat, maka mereka boleh saja menghindarinya. Namun aku juga menghimbau mereka untuk melakukan hal-hal yang berguna meskipun mereka mungkin tidak menikmatinya. Aku hanya tidak ingin mereka melewatkan apa yang mungkin, secara tidak langsung, bisa memberikan kemudahan dan kebahagiaan dalam hidup mereka kelak.