Antara bergairah dengan cemas aku beranjak dari kursi di kantorku yang
telah sekian tahun lamanya menjadi singasanaku dalam menjalankan roda
pekerjaanku. Ini bukan kali pertama aku meninggalkan kantorku untuk
memulai usaha baru, tapi baru kali ini aku beranjak pergi untuk memulai
karirku sebagai seorang pegawai. Jika selama ini aku selalu menjadi
"petinggi" di semua usaha yang aku geluti karena memang aku menjadi
salah seorang pioneernya, kali ini aku harus beranjak pergi untuk
memulai karirku sebagai seorang karyawan biasa yang punya beberapa orang
boss. Ya, kali ini aku akan bekerja dengan jam kantor yang umumnya
diterapkan di kantor-kantor lain tanpa pengecualian. Sementara itu, aku
juga baru hari ini bisa melihat tempat kerja yang disediakan buatku
tanpa sedikitpun gambaran tentangnya.
Aku sudah lama
ingin menjadi bagian dari perusahaan yang tiga tahun belakangan ini aku
perjuangkan legalitasnya setelah digonjang ganjingkan dengan berbagai
aksi serobot menyerobot antara banyak pihak termasuk para petingginya.
Sebuah amanah suci yang kupanggul di atas pundakku menjadi alasanku
untuk bergabung di dalam perusahaan ini. Maka meskipun aku sempat diberi
keleluasaan untuk memilih jabatan yang tersedia, aku hanya menyerahkan
keputusannya pada papa pimpinan perusahaan karena buatku yang terpenting
adalah aku bisa ikut mensukseskan usaha apapun yang dijalankannya. Hal
inilah yang membuatku bergairah dalam menyambut hari pertamaku di
perusahaan ini. Namun kecemasan itu juga hadir mengingat selama ini aku
tidak pernah merasa terikat pada peraturan yang aku berlakukan sendiri.
Dan kalaupun aku merasa ada peraturan yang memberatkan, dengan mudah aku
ubah dan sesuaikannya dengan keinginanku.
Ketika aku
tiba di tempat kerja baruku, baru ada seorang karyawan lain yang sudah
aku kenal sebelumnya. Ruang kantor ini tidak besar sehingga hanya satu
orang saja yang mendapatkan ruangan pribadi sementara aku sendiri
ditempatkan dalam cubicle yang bisa memuat 4 karyawan yang 2 diantaranya
duduk membelakangi 2 orang lainnya. Terbatasnya privacy buatku mungkin
akan menuntut beberapa saat buatku untuk menyesuaikan diri termasuk
dalam hal berbicara di telpon atau penggunaan komputer, namun aku sadar
bahwa posisiku memang menuntut lebih banyak keseriusan dalam menjalankan
tugas-tugasku yang memang sangat diperlukan dalam kelangsungan hidup
perusahaan yang baru saja mengalami perombakan signifikan dalam struktur
organisasinya. Jadi memang aku kini berada dalam lingkungan yang
terbilang "kaku" buat ukuran orang sepertiku.
Meski
begitu, hari pertamaku berjalan cukup santai mengingat kami masih berada
dalam suasana orientasi pada sesama pegawai dan penataan tempat kerja.
Lagipula memang belum semua posisi jabatan komplit terisi sehingga
materi pekerjaan juga belum sepenuhnya dibagikan. Asupan dari presiden
komisarispun juga cenderung ringan yang intinya mengingatkan tentang
kekompakan dalam kinerja semua karyawan. Aku dan para pekerja lainnya
masih perlu menyesuaikan diri dengan segala ketetapan yg diterbitkan
oleh pihak pengelola gedung yang tidak aku berlakukan dalam perusahaan
yang aku pimpin sebelumnya. Dan di penghujung jam kerjaku, aku masih
merasa canggung menerima kenyataan bahwa aku memang tidak diperkenankan
berlama-lama berada di areal gedung yang memberlakukan batasan pemakaian
listrik termasuk jam pemadaman lampu dan pendingin ruangan.
Disaat
banyak orang yang kesal sambil menggerutu atau mengeluh atas kemacetan
yang menjebaknya selama berjam-jam menuju tempat tinggalnya, aku justru
tersenyum sendiri mencoba menikmati hal yang tidak biasanya aku temui
karena selama ini aku bisa memilih sendiri waktu yang tepat untuk
meninggalkan tempat kerjaku dan terhindar dari kepadatan jalan yang
harus aku lalui. Paling tidak, perjalanan yang mungkin membosankan
buatku kelak nanti saat itu menjadi suatu petualangan baru buatku. Aku
mungkin kelak bisa ikut mengeluh atau tetap tersenyum menerimanya dengan
ikhlas. Bagaimanapun juga aku menyikapinya, aku sadar bahwa semua
adalah romantika kehidupanku yang tak mungkin aku prediksi sebelumnya. Alhamdulillah.....
Thursday, October 17, 2013
Monday, October 14, 2013
Trauma
Biasanya daya ingat seorang anak kecil lebih tajam dari orang dewasa, apalagi orang dewasa seumurku. Kalau aku masih bisa mengingat dengan jelas peristiwa mengenaskan sekitar setahun silam tatkala aku dan anak sulungku kena seruduk sapi lepas dalam acara sembelih qurban, tentunya anakku itu lebih tidak mungkin lagi melupakannya. Bahkan hal ini seolah masih memberinya rasa ngeri yang besar sehingga ia menolak untuk ikut hadir menyaksikan pemotongan hewan qurban kami besok. Rasa sakit yang begitu hebat yang dideritanya ketika itu telah membuatnya trauma dan takut jika kejadian seperti itu terulang lagi.
Aku mengerti betul posisinya dan suara hatinya, namun aku juga tidak ingin ia dikalahkan begitu saja oleh rasa takut yang harusnya justru bisa ditaklukannya. Apalagi aku sudah terlanjur menggunakan namanya sebagai pemilik hewan yang siap aku qurbankan besok. Aku mengatakan padanya bahwa segala yang terjadi, baik atau buruk, adalah ketentuan Illahi yang tidak mungkin dihindari bila sudah menjadi suratannya. Bahwa semua merupakan misteri itulah yang kemudian memberikan kita tantangan untuk siap menghadapi yang terburuk dan menggunakan akal logika kita dalam memecahkan berbagai masalah yang kita temui.
Jika aku biarkan trauma menghantuiku, aku tentu telah lama tidak mengendarai motor sejak aku terjatuh hanya karena aku bercanda dengan kakakku kemudian hilang keseimbangan. Atau setelah terjatuh karena menghindari adik kelas adikku yang menyebrang jalan sembarangan sehingga membuatku dirawat di rumah sakit selama 2 minggu karena mukaku terseret di atas aspal sejauh 5 meter. Memang, jika aku saat dulu langsung menyerah dan memutuskan untuk tidak mengendarai motor lagi, mungkin saja aku tidak akan pernah mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan tulang keringku patah sehingga perlu dioperasi dan disambung dengan sebuah plat besi dan 12 pin selama setahun. Tapi aku menganggap kecelakaan itu sudah menjadi milikku untuk aku alami, sehingga semua yang telah berlaku diatur sedemikian rupa sampai aku harus mengalaminya.
Ada kekhawatiran dalam diri anakku akan terulangnya kembali peristiwa naas yang dialaminya tahun kemarin. Tapi ia harus menyadari bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mudah terjadi dan bukan peristiwa yang akan membatasinya dalam menjalani hari-harinya. Meski hal serupa mungkin saja masih bisa terjadi lagi dengan skema yang jauh berbeda, bukanlah berarti ia tidak bisa menempatkan dirinya di posisi yang dianggapnya aman. Dan satu hal yang pasti, keikhlasannya tentu akan membuatnya tenang dan percaya bahwa apa yang terjadi padanya adalah apa yang telah ditakdirkan olehNya untuk dirinya. Aku cukup meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi, segala konsekuensinya menjadi berkah untuknya di saat ia telah sepenuhnya siap menerima apapun dengan keikhlasan penuhnya.
Aku berpesan pada kedua putraku agar mereka tidak membiarkan diri mereka dihantui rasa trauma karena rasa itu hanyalah simbol dari keraguan dan ketakutan kita pada seusatu yang tidak absolut sifatnya. Kalau mereka tidak ingin melakukan sesuatu karena mereka memang tidak suka melakukannya, dalam arti suatu hal yang tidak bermanfaat, maka mereka boleh saja menghindarinya. Namun aku juga menghimbau mereka untuk melakukan hal-hal yang berguna meskipun mereka mungkin tidak menikmatinya. Aku hanya tidak ingin mereka melewatkan apa yang mungkin, secara tidak langsung, bisa memberikan kemudahan dan kebahagiaan dalam hidup mereka kelak.
Aku mengerti betul posisinya dan suara hatinya, namun aku juga tidak ingin ia dikalahkan begitu saja oleh rasa takut yang harusnya justru bisa ditaklukannya. Apalagi aku sudah terlanjur menggunakan namanya sebagai pemilik hewan yang siap aku qurbankan besok. Aku mengatakan padanya bahwa segala yang terjadi, baik atau buruk, adalah ketentuan Illahi yang tidak mungkin dihindari bila sudah menjadi suratannya. Bahwa semua merupakan misteri itulah yang kemudian memberikan kita tantangan untuk siap menghadapi yang terburuk dan menggunakan akal logika kita dalam memecahkan berbagai masalah yang kita temui.
Jika aku biarkan trauma menghantuiku, aku tentu telah lama tidak mengendarai motor sejak aku terjatuh hanya karena aku bercanda dengan kakakku kemudian hilang keseimbangan. Atau setelah terjatuh karena menghindari adik kelas adikku yang menyebrang jalan sembarangan sehingga membuatku dirawat di rumah sakit selama 2 minggu karena mukaku terseret di atas aspal sejauh 5 meter. Memang, jika aku saat dulu langsung menyerah dan memutuskan untuk tidak mengendarai motor lagi, mungkin saja aku tidak akan pernah mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan tulang keringku patah sehingga perlu dioperasi dan disambung dengan sebuah plat besi dan 12 pin selama setahun. Tapi aku menganggap kecelakaan itu sudah menjadi milikku untuk aku alami, sehingga semua yang telah berlaku diatur sedemikian rupa sampai aku harus mengalaminya.
Ada kekhawatiran dalam diri anakku akan terulangnya kembali peristiwa naas yang dialaminya tahun kemarin. Tapi ia harus menyadari bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mudah terjadi dan bukan peristiwa yang akan membatasinya dalam menjalani hari-harinya. Meski hal serupa mungkin saja masih bisa terjadi lagi dengan skema yang jauh berbeda, bukanlah berarti ia tidak bisa menempatkan dirinya di posisi yang dianggapnya aman. Dan satu hal yang pasti, keikhlasannya tentu akan membuatnya tenang dan percaya bahwa apa yang terjadi padanya adalah apa yang telah ditakdirkan olehNya untuk dirinya. Aku cukup meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi, segala konsekuensinya menjadi berkah untuknya di saat ia telah sepenuhnya siap menerima apapun dengan keikhlasan penuhnya.
Aku berpesan pada kedua putraku agar mereka tidak membiarkan diri mereka dihantui rasa trauma karena rasa itu hanyalah simbol dari keraguan dan ketakutan kita pada seusatu yang tidak absolut sifatnya. Kalau mereka tidak ingin melakukan sesuatu karena mereka memang tidak suka melakukannya, dalam arti suatu hal yang tidak bermanfaat, maka mereka boleh saja menghindarinya. Namun aku juga menghimbau mereka untuk melakukan hal-hal yang berguna meskipun mereka mungkin tidak menikmatinya. Aku hanya tidak ingin mereka melewatkan apa yang mungkin, secara tidak langsung, bisa memberikan kemudahan dan kebahagiaan dalam hidup mereka kelak.
Subscribe to:
Posts (Atom)