Monday, July 21, 2014

Ramadhan 2014

Memang begitu hebatnya Allah mengatur rencanaNya sehingga tak satupun dari kita, ummatNya, yang sanggup campurtangan dalam pengeksekusiannya. Bayangkan saja, bulan suci Ramadhan yang telah puluhan tahun berlangsung begitu tenteram dan damai di negeri kita, kali ini diawali dengan kedengkian, kebencian, cacimaki, hujatan yang dilontarkan begitu saja hanya demi kepentingan politik yang kebanyakan sudah diluar kepentingan pelakunya. Bulan yang harusnya menjadi waktu pelatihan untuk meredam nafsu dan emosi jadi terasa seperti bulan-bulan lainnya. Segala hal buruk yang telah dimulai sebelumnya dan layaknya dihentikan ketika Ramadhan tiba justru tetap berlangsung bagaikan kereta yang kebablasan karena kehilangan remnya dan menyeruduk kesana kemari.

Lucunya, disaat orang seperti aku yang sudah kadung pesimis bahwa tiap hari di bulan Ramadhan ini orang akan selalu mencari pelampiasan berkampanye, Allah punya rencana lain. Sekonyong-konyong Israel kembali kesetanan dan menggempur rakyat Palestina, meluluhlantahkan jalur Gaza yang memakan korban sejumlah anak tak berdosa. Perhatian masyarakat duniapun tertuju kesana, tak terkecuali rakyat kita yang telah sering menunjukkan solidaritasnya sebagai bangsa yang cinta damai dan bermayoritas Muslim. Sebagian besar dari kita mendadak lupa pada PilPres yang saat itu baru saja melewati tahap pemungutan suara. Banyak yang lalu mengabaikan berita tentang PilPres termasuk pembahasan dan perdebatan tentang Quick Count dan lembaga-lembaga surveyer yang melakukannya.

Namun keredaman itu hanya berlangsung dua atau tiga hari hingga kemudian orang telah kembali lagi ke topik PilPres setelah masing-masing kubu kandidat menyatakan akan mengirimkan sumbangan untuk rakyat Palestina. Hufff....bisa saja jika aku kembali menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak, tapi aku jujur mengakui ketelatenan baik tim sukses kedua kubu, media aliansinya dan bahkan pendukung awamnya sekalipun dalam menyikapi Pemilu kali ini sehingga peristiwa apa saja, dimana saja bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan kampanyenya. Maka iklim perang demokrasi sementara ini kembali menyelimuti hari-hari diantara kesepuluh hari kedua Ramadhan. Postingan-postingan di media sosial internet yang tadinya sempat didominasi tentang kekejaman bangsa zionist Israel mulai berbagi dengan postingan tentang kekejaman para peserta PilPres dan pendukungnya.

Tapi Allah juga punya rencana lain ketika tepat sebelum memasuki 10 malam terakhir yang sakral dengan Lailatul Qadar nya, dunia digemparkan dengan berita tentang jatuhnya pesawat penumpang Malaysia Airlines, MH-17, hingga menewaskan 283 penumpang dan 15 awak pesawatnya. Yang menyita perhatian adalah bahwa pesawat tersebut ditembak oleh tentara Ukraina setelah diduga merupakan pesawat kepresidenan Rusia milik Valimir Putin. Di sini sendiri, berita itu lebih menarik perhatian karena ada 12 penumpang diantara korban tewas yang merupakan warga negara Indonesia. Dan sekali lagi, ada sebuah kekejaman lain yang melupakan kita untuk melakukan kekejaman dalam berkampanye. Tema khatbah dan tausiyah pun kini lebih terarah pada kemuliaan hidup yang bisa setiap saat terenggut begitu saja oleh kekejaman perang hingga tanpa terasa kita berada hanya sehari saja dari pengumuman hasil pemungutan suara tanggal 9 yang lalu.

Besok adalah hari penentuan pemenang PilPres yang akan diumumkan KPU. Sesekali kita bisa melihat berita tentang persiapan aparat maupun warga dalam menghadapi pengumuman ini dengan segala dampak buruknya yang diwaspadai bisa dan mungkin terjadi.  Sementara di berbagai media sosial telah kembali terlihat postingan-postingan bernada hasutan dan ancaman, proporsi postingan tentang nasib warga Palestina di jalur Gaza dan insiden penembakan MH-17 justru telah membuat suasana Ramadhan lebih kalem. Mungkin saja banyak dari kita yang (akhirnya) lebih siap untuk legowo menerima keputusan dari KPU, namun mungkin juga banyak diantara mereka yang belum siap, memilih untuk lebih prihatin dan peduli pada nilai-nilai kemanusiaan yang direnggut begitu saja di Gaza dan Ukraina sehingga menjadi lebih bijaksana untuk tidak berkampanye lagi.

Dan jika akhirnya, di 7 hari Ramadhan yang tersisa ini, setelah segala keburukan yang telah kita lakukan, kita masih bisa beruntung mendapatkan Lailatul Qadar, ya seperti itulah Allah mengaturnya tahun ini...




Thursday, July 10, 2014

Pesta Kita dan Air Mata Mereka

Berita serangan brutal Israel terhadap rakyat Palestina di jalur Gaza itu tiba-tiba tersiar saat pesta demokrasi sedang berlangsung di negeri kita. Sekali lagi, (harusnya) kita terpana dan sedih lalu mengecam aksi biadab Israel yang keliatannya tidak akan pernah ada ujungnya. Namun apa yang terjadi disini justru mungkin lebih tragis dari segala kesuraman yang harus dihadapi warga Palestina selama sepekan terakhir ini. Seolah tidak ada yang lebih penting dari pemilihan presiden, sebagian besar dari masyarakat kita sibuk berkampanye, bertukar cerita tentang pengalamannya dalam mengikuti proses pemungutan suara hingga membahas tentang penghitungannya. Rasa kemanusiaan terasa telah dikandaskan oleh celotehan tentang pasangan mana yang berhak mendapat suara lebih banyak dari pasangan lainnya. Sementara perdebatan tentang hal-hal negatif dari masing-masing kandidat masih juga menjadi menu utama aktifitas mereka yang merasa pintar dan layak bicara.

Rakyat negara yang belum lagi berusia 70 tahun ini terlalu terlena dengan sistem pemilihan pemimpin negara yang belum lama mulai diterapkan. Persis seperti sejarah perkembangan telekomunikasi via telpon seluler sejak pertengahan tahun 90an, mental masyarakat kita ibarat badan kerempeng yang dicekoki supplemen steroid dalam dosis yang tinggi sehingga perkembangannya dipacu dengan paksa. Bukan mustahil jika di negeri ini, Nokia sempat mampu merilis sebuah tipe telpon seluler baru tiap minggunya sementara di Amerika, produk baru Nokia muncul tiap dua bulan sekali. Gambaran tentang kecanggihan hidup yang terbentuk di benak manusia Indonesia telah melumpuhkan kemampuannya untuk lebih banyak menggunakan logika. Akibatnya, hingga saat inipun gadget-gadget yang merupakan pengembangan dari telpon selular kini menjadi sesuatu yang sifatnya prioritas bagi hampir setiap orang hingga kita mampu mengesampingkan hal-hal lain yang harusnya lebih penting.

Kebanyakan dari kita tak henti-hentinya mebahas tentang PilPres yang telah berlangsung kemarin. Sebelumnya, kita sibuk ikut berkampanye secara freelance membela kandidat jagoan, dan kalau perlu menjelek-jelekan lawannya. Usainya proses PilPres kemarin tidak membuat kita merasa cukup tentunya sebelum kita tau pasti siapa pemenangnya yang akan diumumkan oleh KPU tanggal 22 Juli mendatang. Aku sangsi jika setelah itu kita bisa dan akan berhenti berbicara tentang PilPres. Asumsiku, semoga aku salah, yang terjadi justru hilangnya penghormatan terhadap yang menang, pengakuan dari yang kalah, keikhlasan dalam menerima keputusan dan pemeliharaan perdamaian. Pemraktekan sistem demokrasi yang masih belia ini telah melenakan dan membutakan masyarakat kita sehinga kita sangat tidak peka dengan hal-hal lain yang terjadi di luar lingkup itu.

Tentara Israel kemarin tertawa lagi di atas penderitaan rakyat Palestina yang kembali menangis. Foto-foto yang mengenaskan tentang hasil kesadisan Israel beredar lagi dimedia nyata maupun maya. Namun topik pembicaraan yang dipilih sebagian besar rakyat kita masih soal pesta demokrasi. Apa yang terjadi di Gaza memang tidak menyangkut agama-agama yang diakui di Indonesia, tidak juga berpautan dengan demokrasi kita yang akan dibentuk oleh masing-masing kandidat PilPres, atau bahan pangan kita yang katanya hasil importan, atau kandungan bumi yang banyak dikuasai pihak asing atau apapun yang telah menjadi bagian dari keramaian kampanye PilPres kali ini, tapi tentang kemanusiaan. Air mata rakyat Palestina menuntut solidaritas kita sebagai sesama umat manusia yang menghargai hidup, sebagai orang tua yang berusaha menciptakan masa depan yang baik untuk anaknya, dan sebagai anak yang butuh orang tua untuk melindunginya.

Dan ketika apa yang mereka miliki terdzalimi begitu saja, masihkah juga kita bicara tentang pesta demokrasi melebihi porsinya?


 

Tuesday, July 8, 2014

Sinarnya

Tak seperti biasanya, di Jum'at pagi yang cerah kemarin, aku sudah melaju dengan motorku mengarah ke Timur kota dengan berharap bisa menyelesaikan urusan dengan pihak pemerintah daerah setempat sedini mungkin. Biasan sinar matahari yang terasa menghangatkan kulit lengan dan tangan dibalik manset dan sarung tangan yang kupakai mengingatkanku pada masa-masa ketika aku masih menjadi seorang mahasiswa di negeri seberang. Sambil menikmati kilauan sinarnya dari balik kacamata hitamku, aku teringat lagi hujaman kesilauan yang sama aku rasakan lewat kulit mukaku yang kering dan mataku yang memerah saat itu. Bedanya hanya ketika itu aku meluncur dengan kendaraan beroda empat di jalanan bebas hambatan yang lurus dan panjang mengarah ke arah Timur.

Aku dulu seringkali menjadi "destination driver" karena aku memang sejak remaja punya keahlian menahan ngantuk untuk waktu yang lebih lama dari teman-teman sepermainanku. Untuk waktu yang teramat lama setelahnya, ketahananku bahkan dapat pulih kembali cukup hanya dengan konpensasi tidur selama dua atau tiga jam saja. Pernah sekali, aku harus bolak balik ke sebuah diskotik hanya untuk menjemput dan mengantar sekelompok teman-teman yang sudah terintoksikasi minuman beralkohol sehingga tidak layak untuk mengemudikan mobilnya. Aku bisa mengendarai mobil di malam yang larut demi keselamatan teman dan di esok harinya ketika matahari sedang terbit demi kenyamanan teman yang lain. Aku sempat menyandang julukan "pembantu" karena kebiasaanku yang bangun paling awal dan tidur paling akhir diantara teman-temanku.

Aku dan sekelompok teman setanah air pernah menjalani suatu kehidupan yang teratur tapi tak biasa. Kami punya kegiatan rutin yang pastinya dianggap berlebihan oleh orang lain. Bukan kami menggunakan obat-obat terlarang atau bermabukan apalagi melakukan hal-hal uang asusila, namum sebaik-baiknya kegiatan apapun yang menjadi rutinitas kami, di hari-hari tertentu selalu berakhir di waktu yang larut di rumah mewah seorang teman yang merupakan salah satu tempat kami sering berkumpul. Rumah ini cukup besar dengan tempat parkiran dan halaman belakang yang sangat luas sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat untuk menghabiskan waktu kami. Letaknya cukup jauh di pedalaman, di sebelah barat kota-kota yang kami huni. Sayangnya, kami kurang bisa mengatur jadwal kegiatan kami dengan bijaksana sehingga setelah kami harus tertidur larut malam di rumah itu, kamipun masih punya kewajiban untuk kuliah di esok harinya. Maka disinilah peranku diandalkan dalam mengendarai mobil mengarah ke matahari yang baru mulai memancarkan cahayanya sementara teman yg lain melanjutkan tidurnya dalam mobil.

Flashback ini membuatku kembali tersenyum sendiri seperti ketika hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Aku mungkin memang banyak sekali melakukan aktifitas yang orang lain bisa menganggapnya sebagai sebuah kesia-siaan yang tidak bermanfaat buatku, namun aku merasakan kebahagian tersendiri ketika tengah menjalaninya. Tentu saja aku bisa melakukan hal lain yang mungkin lebih memberiku kenyamanan tanpa perlu bersusah payah memusingkan nasib orang lain, tapi "pengorbanan" seperti ini memberiku kegembiraan karena merasa dibutuhkan oleh orang lain. Hal yang membuatku sadar jika aku tidak hanya berperan sebagai seorang teman yang enak diajak bermain tapi juga teman yang peduli. Lalu sudah jadi apa dan kemana saja mereka sekarang? Entahlah...namun bahwa aku masih bisa menikmati hangatnya guyuran sinar matahari yang sama sekaligus menyilaukan pandanganku di Jum'at pagi kemarin itu sudah lebih dari cukup buatku...