Bedanya...yang ini tertunda karena faktor alam. Semua aspek lain sudah tertangani satu persatu lewat proses yang amat sangat njelimet dan bisa dikategorikan tidak masuk akal sehat. Misalnya saja hal-hal yang cenderung dianggap mistik oleh orang kota tapi dijunjung tinggi oleh orang kampung sebagai bagian dari tradisi yang tidak boleh dikesampingkan. Aku sebagai orang kota dan beragama ya manut saja selama aku tidak ikut-ikutan berperanserta supaya jatuhnya tidak musyrik.
Dan apapun alasannya, hubungannya ke pengunduran waktu. Aku hanya bisa menunggu sambil selayaknya membantu melancarkan segala proses sesuai kemampuanku. Hanya keikhlasanku yang bisa membuatku tahan menunggu waktu yang tepat dengan menjauhkan diri dari keramaian kota, rutinitas keseharianku, keluarga dan teman-teman. Makan minum seadanya, berhujan-hujanan dan tidur di dalam pendopo berlantai papan kayu beralaskan tikar anyamanpun kujalani berminggu-minggu.
Aku dan kedua temanku juga silih berganti mengalami gangguan kesehatan sebagai bagian dari proses adaptasi kami dengan kondisi di sekitar kami. Tapi tak mengapa. Kami bertiga toch sudah siaga dari awal sejak kami memutuskan untuk menggarap proyek ini. Hanya saja kami tak pernah menduga bahwa akhirnya laju perjalanan perjuangan kami harus terhambat oleh hujan yang sudah seminggu terakhir ini turun tiap hari. Pasalnya, untuk melanjutkan penggarapan proyek yang hampir mencapai akhir ini dibutuhkan cuaca yang cerah ceria cetar membahana...barang dua hari saja.
Konon menurut para dukun BMKG, ada empat hari yang diramalkan akan tak berhujan di minggu mendatang. Lepas dari kemungkinan adanya Human Error, sekali lagi kami harus bersabar menunggu kembalinya matahari bersinar sepanjang hari yang in shaa Allah identik dengan kembali bersinarnya masa depan kami bertiga. Bismillah...