Wednesday, October 31, 2012

Korban Qurban

Mungkin memang lucu kedengarannya sehingga aku cukup memaklumi dan merasa tidak tersinggung ketika orang tertawa begitu mendengar cerita tentang nasibku diseruduk seekor hewan. Meskipun rasa sakit dan kecederaan yang diakibatkannya kurang lebih sama dengan ditabrak kendaraan bermotor yang melaju dengan kecepatan 10 km/jam, namun aku sendiri tidak begitu menanggapinya secara serius mengingat penabraknya adalah sapi qurban yang lepas kontrol.

Bermula dari kehadiranku sekeluarga yang hendak menyaksikan penyembelihan hewan qurban hari sabtu kemarin di halaman belakang sebuah masjid seputar tempat tinggalku. Kemudian aku langsung terlibat pembicaraan tentang prosedur penyembelihan seekor kambing yang telah aku pesan sebelumnya. Naasnya, baru selang sekitar 1 menit, aku mendengar suara keributan masyarakat yang hadir disitu. Belum lagi mengetahui penyebab kegaduhan itu aku merasakan badanku terhempas ke udara dan mendarat tertelungkup di atas tanah becek bercampur darah dan air. Hanya satu dua detik yang kubutuhkan untuk memulihkan kekuatanku untuk bangkit sambil melihat sekilas seekor sapi yang berlari menjauh menuju ke tanah lapang dan membubarkan massa.

Intuisiku langsung menggerakku memeriksa dimana keluargaku berada. Dan aku kaget luar biasa menemukan anak sulungku terbaring di atas dadanya dekat tempatku terjatuh. Untungnya, ia berada dalam keadaan sadar meskipun kondisi sebagian tubuhnya mengalami luka dan memar. Aku segera mengangkatnya dan mendudukannya di bangku yang ada, kemudian membersihkan tubuh dan lukanya dengan air dari sejumlah kemasan air minum yang tersedia karena tidak satu orang panitia pun yang datang memberikan air kepadaku.

Rumah seorang teman anakku yang terletak sangat dekat langsung aku sambangi agar aku dapat melepas pakaiannya yang penuh dengan lumpur dan darah, dan memandikannya dengan baik.
Hari itu, tanpa akhirnya menyaksikan penyembelihan qurbanku, aku sibuk melakukan pelbagai upaya untuk pengobatan anakku termasuk membawanya ke tukang urut dan ke rumah sakit untuk tindakan pengambilan foto ronsen. Alhamdulillah, tidak ada tulang yang patah atau retak pada tubuhnya dan lenganku yang sempat ku gunakan untuk menahan badanku ketika mendarat di atas tanah. Aku hanya mengalami kesleo pada kaki dan pergelangan tangan kananku serta sedikit memar di lenganku. Namun anakku harus mengalami patah gigi depan, gusi yang berdarah, luka di kening, tangan dan kakinya.

Hari yang aku harap akan berkesan bagi kedua putraku yang baru kali pertama hadir untuk menyaksikan penyembelihan hewan qurban berakhir tragis.
Mungkin saja pada akhirnya cerita ini memang lucu karena kini putra sulungku ikut tertawa jika mengingat kejadian yang sangat langka untuk bisa terjadi pada siapa saja. Ia bahkan mungkin suatu hari dapat berbangga dirinya karena bisa bertahan selamat setelah dihajar seekor sapi. Tapi tidak ada yang lucu dengan fakta bahwa hingga kini tidak satupun panitia menyatakan mau bertanggung jawab atas musibah ini bahkan sekedar mencoba mencari tau nasib anakku. Bagi mereka, apa yang kami alami adalah sebuah pengorbanan yang menjadi bagian dari tradisi qurban itu sendiri....




Thursday, October 25, 2012

Tanpa Jaminan


Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah atau sehari sebelum Hari Raya Idul Adha. Dinamakan puasa Arafah karena pada saat itu jamaah haji sedang wukuf di Padang Arafah. Puasa Arafah dianjurkan bagi yang tidak berhaji sedangkan bagi yang sedang berhaji tidak disyariatkan berpuasa.
Keutamaan Puasa Arafah
Rasululllah bersabda: “Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan dosa setahun akan datang.Puasa asyuro (10 Muharam) akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim)

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Begitulah tepatnya isi pesan singkat (yang cukup panjang) yang aku terima di ponselku dari seorang kerabat dekat. Dan pesan itu hanya satu diantara beberapa pesan lainnya yang bernada serupa.
Sekali lagi aku mendecak sendiri. Bukan karena himbauan itu sendiri tapi justru karena para pengirim pesan ini. Terbayang olehku, sementara di waktu-waktu seperti sekarang yang sudah mendekati hari raya Idul Adha mereka sibuk mengirim anjuran seperti ini sambil membawa nama Rasulullah, namun di waktu lainnya mereka umumnya masih lebih suka menyibukkan diri dengan segala urusan duniawinya...suatu hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.

Sebenarnya apa yang terlintas dalam benak mereka saat mereka mengajak orang lain melakukan tauladan Rasulullah? Mungkinkah mereka, karena suasana yang makin mereligius menjelang hari besar seperti ini, seolah lupa akan segala tindak tanduk negatifnya, atau memang mereka benar-benar berniat bertobat? Tanpa meragukan kebenaran sabda Rasulullah, aku dengan mudah berburuk sangka bahwa dengan melakukan puasa Arafah, dosa mereka setahun kemarin dihapuskan, dan dengan ringannya mereka kemudian dapat lebih mengumbar nafsu duniawinya setelah menganggap telah mengantongi penghapusan dosa-dosa yang akan mereka lakukan selama satu tahun ke depan. Wow...nyaman sekali!

Aneh bahkan lucu kelihatannya jika himbauan atau ajakan seperti ini datang dari orang yang selama ini begitu teganya merampas hak orang lain. Dengan semena-mena mengabaikan berbagai larangan agama demi kepuasan dirinya sendiri. Mungkin akan masuk akal bila himbauan ini diiringi dengan aksi pengembalian hasil rampasannya lengkap dengan permintaan maaf atas segala kekhilafannya sambil berjanji utnuk tidak mengulanginya. Kalau tidak, akan sama saja dengan menikmati hidangan sahur dan buka puasa yang dibelinya dengan uang yang bukan menjadi haknya. Menjalankan puasa di tengah-tengah harta yang menjadi kebanggaannya sebagai simbolisasi kesuksesan hidupnya.

Banyak sekali orang yang begitu dahsyat usahanya mendapatkan air kehidupan ini melebihi kecukupannya hingga merasa perlu merenggut hak orang lain sampai-sampai tidak mampu lagi menyadari jika mereka tidak sepantasnya berteriak-teriak mengajak orang lain untuk melakukan ibadah. Butuh kesadaran yang tinggi dan jiwa yang bersih untuk seseorang memberi nasihat dan himbauan seperti ini. Belum lagi pakai bumbu kekesalan dan kemarahan atau bahkan sekedar hasrat untuk berdebat jika himbauannya tidak diindahkan dan mendapat penolakan.

Selain mengejar penghapusan dosa 2 tahun, aku tidak tau alasan lain orang ingin melaksanakan puasa ini. Apakah mugnkin sebagai penghormatan pada mereka yang tengah menunaikan ibadah haji dan berada di padang Arafah? Yang jelas, para jemaat haji itu tidak melakukannya. Bagiku. respek kepada para jemaat itu cukup aku wujudkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah shalat Ied smbil berdoa untuk keberhasilan dan keselamatan mereka. Karena biar bagaimanapun, beban hidup mereka sekembalinya dari perjalanan haji akan sangat berat guna mendapatkan kemabruran hajinya. Sekali lagi, urusan duniawi jelas harus jauh dari prioritas kehidupannya.

Aku tidak sedikitpun berniat untuk menghadapi ujian berpuasa Arafah, karena apa yang tengah aku hadapi dalam hidup saat ini sudah menjadi suatu ujian yang sangat berat. Hari-hariku telah penuh dengan ujian berat yang harus aku lewati dengan sebaik mungkin agar aku bisa menetapkan langkahku di jalanNya.
Aku juga tidak tergiur dengan peghapusan dosa itu, karena aku hanya bisa berharap taubat yang pernah aku mohon kepadaNya atas setiap dosaku di waktu yang lampau dihadiahi pengampunan dan penghapusan tanpa penentuan batasan periode. Dan aku hanya bisa berharap bisa menghindari diri dari dosa di waktu mendatang tanpa merasa perlu punya jaminan keselamatan bak surat sakti atau kekebalan hukum.




Thursday, October 4, 2012

Kepuasan Tersendiri

Mungkin bukan pada tempatnya bila aku tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi kalau boleh aku mencari pembenaran atas apa yang aku rasakan, alasanku sepertinya cukup masuk akal.
Coba bayangkan apa yang akan anda rasakan bila seorang yang begitu dekat dengan anda, yang telah anda anggap sebagai saudara sendiri, anda pinjami sejumlah besar uang, namun kemudian menolak untuk mengembalikan pinjaman tersebut? Apalagi penolakan itu berbumbu alasan yang tidak masuk akal bahkan cenderung menjurus pada fitnah.

Nah, hal itulah yang aku alami sekitar satu dekade yang lalu. Pinjaman yang aku berikan pada teman masa kecilku yang aku kenal sejak di bangku sekolah dasar itu cukup besar. Saat itu ia mengajak aku membangun sebuah perusahaan label rekaman yang rencananya akan menaungi artis-artis baru dan muda yang menurutnya layak diorbitkan. Sebenarnya tawaran untuk menanamkan investasi pada usaha ini cukup menggiurkan mengingat ia saat itu merupakan seorang musisi lokal terkenal dan aku mengakui kejeliannya dalam memilih musisi dan musik yang berbobot, sehingga usahanya bisa diprediksi punya peluang yang bagus untuk sukses. Tapi aku merasa perlunya menjadikan dana tersebut sebagai pinjaman ketimbang investasi karena aku sendiri belum tau persis bagaimana ia bekerja selaku seorang usahawan karena selama ia hanya baru membuktikan dirinya sebagai seseorang yang sukses sebagai musisi.

Aku kemudian memang ikut membantunya menggerakan roda bisnis label rekamannya. Bahkan aku sudah sepakat untuk nantinya mengurus urusan manajemen semua artis yang musiknya bernaung di bawah bendera label rekaman tersebut. Sebelum album rekaman diluncurkan, tentunya aktifitas yang ada dalam perusahaan itu melulu hanya perekaman, sehingga aku belum punya tugas resmi. Kehadiranku yang hampir setiap hari di kantor itu lebih merupakan bagian dari proses dari persiapan membentuk manajemen artisnya. Aku juga sering mendampingi dan membantunya dalam menjalankan aktifitas yang berkenaan dengan segala urusan perekaman dan karirnya sendiri.

Dan ketika ia butuh tambahan investasi, ia meminta tolong aku menjembatani usahanya untuk mendatangi dengan seorang sahabatku, Chandra yang sebelumnya pernah menjadi house mate ku selama masa kuliahku di luar negeri. Tidak ada sedikitpun penentangan atas niatnya ini karena bagiku semua bergantung pada masing-masing pihak. Aku bahkan menekankan pada Chandra bahwa aku bukanlah penjamin baik omongan teman kecilku ini maupun investasi yang mungkin dilakukan oleh Chandra. Bahwa yang akhirnya terjadi adalah kesepakatan pinjam-meminjam sejumlah besar uangpun dilakukan kedua belah pihak dengan menyadari segala hak, kewajiban dan konsekuensi dari masing-masing pihak tanpa melibatkan aku.


Sayangnya, ego tinggi dan sifat keras kepala yang dimiliki teman kecilku ini kemudian menjadi penyebab rontoknya usaha yang dirintisnya. Belum lagi pola hidupnya yang akrab dengan kehidupan malam, lengkap dengan clubbing dan entertaining nya. Meski tidak diakuinya, aku menduga ia terpengaruh efek minuman alkohol saat mobil sewaan yang dikendarainya menabrak sebuah tiang listrik pukul 4 pagi sepulangnya menjamu teman lama yang tengah berkunjung dari luar kota. Mobil itulah yang saat itu menjadi andalan untuk antar jemput salah seorang artis perusahaannya. Itu hanya satu diantara serentetan kasus lain yang lalu memposisikan baik dirinya maupun usahanya di bawah jurang kehancuran.


Yang lebih mengenaskan lagi, situasi genting yang dihadapinya justru disikapi dengan pemfitnahan terhadap berbagai pihak termasuk aku. Mungkin peringatan, nasehat atau himbauan yang pernah aku lemparkan kepadanya justru menjadi bumerang buatku. Seolah tidak ingin mengakui kebenaran dari apa yang pernah aku katakan padanya, ia justru melemparkan tuduhan bahwa aku merupakan faktor terbesar dari semua kegagalan yang ia temui. Buntutnya, ia dengan lantang mendeklarasikan bahwa tidak akan mengembalikan dana pinjaman dariku sebagai pelampiasan kekesalannya terhadapku.

Hmm..baiklah. Ini bukanlah sesuatu yang mudah ditelan begitu saja jika aku menganggapnya sebagai hal yang jelas merugikanku, namun setelah beberapa lama, aku sanggup menerimanya dengan penuh keikhlasan. Dan itu bisa terjadi karena aku lebih mengangapnya sebagai suatu kegagalan besar untuknya hingga ia mampu mengarang berbagai fitnah dan mengambil sikap negatif yang nantinya akan menjadi beban berat yang harus digendongnya.

Lalu bagaimana dengan kewajibannya yang belum selesai dengan Chandra?

Lucunya, apa yang terjadi sebagai kelanjutan dari kesepakatan itu sama dengan yang terjadi antara aku dengan teman kecilku itu. Padahal, Chandra jelas tidak ikut campur dalam usaha yang dilakukan teman kecilku. Pinjaman dana yang harusnya kembali dalam kurun waktu tertentu tidak pernah terlaksana. Niat yang mengarah kesanapun tidak diperlihatkan teman kecilku. Ia tidak berusaha menghubungi Chandra untuk hanya sekedar meminta maaf atas keterlambatnya dan ia tidak pernah punya nomor telpon yang tetap untuk jangka waktu yang lama mengingat banyak sekali pihak yang berusaha menghubunginya untuk menagih hutang.

Tentunya, dengan sikapnya mengabaikan kewajiban dalam menyelesaikan hutang selama lebih kurang 5 tahun ini ia tidak pernah tau menau apapun yang terjadi pada Chnadra. Kalaupun tau, mungkin saja ia tidak peduli. Begitu pula ketika Chandra divonis menderita gagal ginjal sekitar setahun yang lalu. Perjuangannya begitu besar hingga ia harus melalui operasi transplantasi ginjal di negeri Cina hanya untuk kemudian menerima fakta bahwa operasi itupun berbuntut kegagalan. Proses penyembuhan yang memakan biaya besar ini memaksanya menjual banyak harta bendanya termasuk sebidang tanah kosong yang dimilikinya sejak lama. Dan penderitaan itu berakhir ketika hari Sabtu yang lalu, Chandra berpulang memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.


Apa yang kemudian akan berlaku pada masalah hutang piutang antara almarhum dengan teman kecilku? Apakah berita mangkatnya Chandra sampai ke teman kecilku? Entahlah. Sewajarnya ada mutual friend yang mungkin menyampaikan berita duka itu kepada teman kecilnya. Jika iya, mungkinkah teman kecilku itu merasa berdosa dan masih mau berbesar hati untuk menyampaikan rasa penyesalannya pada keluarga almarhum? Mungkinkah ia lalu melunasi hutang yang telah bertahun-tahun diabaikannya? Atau justru dengan arogansinya, ia kini merasa lega bahwa pihak yang dihutanginya sudah berkurang satu?

Apapun yang terjadi, aku melihatnya sebagai suatu keterlambatan. Bagaimanapun ia selama ini bisa dengan ringannya menganggap remeh hutangnya kepada almarhum, ia kini memanggul dosa yang jauh lebih berat. Aku merasakan iba yang mendalam terhadap keluarga yang ditinggalkan almarhum, dan aku sangat kehilangan sahabatku ini, namun aku juga mendapatkan kepuasan tersendiri jika melihat apa yang harus ditanggung teman kecilku dengan kepergian almarhum.

Doaku untuk sahabatku Chandra; Semoga hutang teman kecilku yang tidak pernah terbayar selama hidupmu bisa ikut melancarkan perjalananmu ke kebahagiaan hidup di sisiNya. Aamiiin...