Monday, October 14, 2013

Trauma

Biasanya daya ingat seorang anak kecil lebih tajam dari orang dewasa, apalagi orang dewasa seumurku. Kalau aku masih bisa mengingat dengan jelas peristiwa mengenaskan sekitar setahun silam tatkala aku dan anak sulungku kena seruduk sapi lepas dalam acara sembelih qurban, tentunya anakku itu lebih tidak mungkin lagi melupakannya. Bahkan hal ini seolah masih memberinya rasa ngeri yang besar sehingga ia menolak untuk ikut hadir menyaksikan pemotongan hewan qurban kami besok. Rasa sakit yang begitu hebat yang dideritanya ketika itu telah membuatnya trauma dan takut jika kejadian seperti itu terulang lagi.

Aku mengerti betul posisinya dan suara hatinya, namun aku juga tidak ingin ia dikalahkan begitu saja oleh rasa takut yang harusnya justru bisa ditaklukannya. Apalagi aku sudah terlanjur menggunakan namanya sebagai pemilik hewan yang siap aku qurbankan besok. Aku mengatakan padanya bahwa segala yang terjadi, baik atau buruk, adalah ketentuan Illahi yang tidak mungkin dihindari bila sudah menjadi suratannya. Bahwa semua merupakan misteri itulah yang kemudian memberikan kita tantangan untuk siap menghadapi yang terburuk dan menggunakan akal logika kita dalam memecahkan berbagai masalah yang kita temui.

Jika aku biarkan trauma menghantuiku, aku tentu telah lama tidak mengendarai motor sejak aku terjatuh hanya karena aku bercanda dengan kakakku kemudian hilang keseimbangan. Atau setelah terjatuh karena menghindari adik kelas adikku yang menyebrang jalan sembarangan sehingga membuatku dirawat di rumah sakit selama 2 minggu karena mukaku terseret di atas aspal sejauh 5 meter. Memang, jika aku saat dulu langsung menyerah dan memutuskan untuk tidak mengendarai motor lagi, mungkin saja aku tidak akan pernah mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan tulang keringku patah sehingga perlu dioperasi dan disambung dengan sebuah plat besi dan 12 pin selama setahun. Tapi aku menganggap kecelakaan itu sudah menjadi milikku untuk aku alami, sehingga semua yang telah berlaku diatur sedemikian rupa sampai aku harus mengalaminya.

Ada kekhawatiran dalam diri anakku akan terulangnya kembali peristiwa naas yang dialaminya tahun kemarin. Tapi ia harus menyadari bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mudah terjadi dan bukan peristiwa yang akan membatasinya dalam menjalani hari-harinya. Meski hal serupa mungkin saja masih bisa terjadi lagi dengan skema yang jauh berbeda, bukanlah berarti ia tidak bisa menempatkan dirinya di posisi yang dianggapnya aman. Dan satu hal yang pasti, keikhlasannya tentu akan membuatnya tenang dan percaya bahwa apa yang terjadi padanya adalah apa yang telah ditakdirkan olehNya untuk dirinya. Aku cukup meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi, segala konsekuensinya menjadi berkah untuknya di saat ia telah sepenuhnya siap menerima apapun dengan keikhlasan penuhnya.

Aku berpesan pada kedua putraku agar mereka tidak membiarkan diri mereka dihantui rasa trauma karena rasa itu hanyalah simbol dari keraguan dan ketakutan kita pada seusatu yang tidak absolut sifatnya. Kalau mereka tidak ingin melakukan sesuatu karena mereka memang tidak suka melakukannya, dalam arti suatu hal yang tidak bermanfaat, maka mereka boleh saja menghindarinya. Namun aku juga menghimbau mereka untuk melakukan hal-hal yang berguna meskipun mereka mungkin tidak menikmatinya. Aku hanya tidak ingin mereka melewatkan apa yang mungkin, secara tidak langsung, bisa memberikan kemudahan dan kebahagiaan dalam hidup mereka kelak.