Tuesday, January 7, 2014

The Unknown B.W

Ada beberapa kenalan dari stus-situs media sosial yang ternyata punya bakat seni yang tidak dijalani secara profesional. Dalam keluangan waktunya, mereka kadang mempublikasikan karya-karyanya tanpa mengharapkan komen apapun apalagi peluang untuk menjadi orang terkenal. Ada yang trampil dalam membuat sketsa dan lukisan, ada yang puitis, dan adapula yang cakap dalam bidang musik. Hasrat ingin berbagi sajalah yang melatarbelakangi postingan mereka itu.

Salah satunya, sebut saja namanya Hitam Putih (karena akupun tidak tau apakah nama yang ia gunakan di situs seberang sana itu nama aslinya atau bukan), sempat menampilkan beberapa corat coretannya yang diakuinya dilakukan sebagai pembunuh waktu nganggurnya. Biasanya, ia memulai karya dari sekedar menggunakan bolpen atau pinsil di atas kertas biasa. Namun karena ia juga sering menggunakan komputer, setelah karyanya itu discan, ia terus menyelesaikannya dengan komputer atau gadget lainnya. Umumnya penyelesaian dengan penggunaan teknologi ini dilakukan dalam pewarnaan.

Hanya dua yang aku tampilkan di sini karena aku juga tidak ingin terlalu mengekspos semua karyanya mengingat ia menganggap bahwa apa yang dibuatnya belum layak dilihat banyak orang. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa membuat suatu pameran sketsa dan lukisan yang dibuatnya, dan/atau kenalanku yang lainnya.

So, Hitam Putih, wherever you are, you know I'm talking about you and thank you for letting me use these pictures to make my site more cheerful.






Saturday, January 4, 2014

Pembelajaran

Suatu sore, sekitar 3 tahun yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat yang terkirim dari nomor telpon yang tidak kukenal. Isi pesannya sangat mirip sekali dengan tipikal spam yang biasanya diramu seolah berasal dari kenalan yang minta diisikan pulsa. Pesan seperti ini mungkin bisa sekali tiap dua minggu aku terima dari nomor-nomor asing, sehingga aku hampir saja mengabaikan dan langsung menghapus pesan yang aku terima sore itu. Namun ketika aku menyadari namaku disebut di dalamnya, aku mulai mempertanyakan identitas si pengirim dengan membalas pesan itu. Ternyata ia adalah kenalan dekat yang pernah berbisnis denganku beberapa tahun sebelumnya. Ia juga orang yang berjasa mengenalkan dan mengajari aku tentang penggunaan photoshop yang kemudian menjadi salah satu program andalan dalam menjalankan bisnisku.

Nilai pulsa yang dimintanya memang cukup besar hingga seratus ribu, nominal yang tidak pernah aku beli kecuali untuk pembelian paket internetan, apalagi ketika nilai sebesar itu harus aku belikan untuk orang lain. Tidak ada yang istimewa dari permintaannya kecuali permohonan yang bernada memelas tanpa memberi alasan jelas untuk apa ia membutuhkan pulsa sebanyak itu. Berhubung dana yang kumiliki juga tidak seberapa, aku tawarkan setengah dari jumlah yang dimintanya, yang langsung disetujuinya. Serta merta aku belikan pulsa untuknya dengan menggunakan internet banking karena saat itu aku harus segera pergi meninggalkan tempat kerjaku sehingga aku tidak akan mungkin lagi melakukan transaksi keuangan untuk beberapa saat. Pesan singkat mengenai pengiriman pulsa itupun aku kirimkan padanya sebelum aku pergi.

Di tengah perjalanan, ia mencoba menghubungi aku lagi untuk beberapa kali karena kondisiku tidak memungkinkanku menjawab panggilan telponnya. Lagipula aku merasa tidaklah perlu menjawab panggilan telpon itu jika ia hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Sesampainya aku di tempat tujuan, aku langsung menjawab telpon darinya yang masih juga menghubungiku. Kali ini, ia justru memintaku untuk kembali membelikannya pulsa sebesar lima ratus ribu rupiah. Hah?! Bukankah tadi sudah jelas aku informasikan bahwa seratus ribupun aku tak mampu, mengapa sekarang jumlahnya lebih besar lagi? Lima kali lipat pula jumlahnya. Pertanyaan itu diresponnya dengan nada yang sedikit keras dengan dalih bahwa ia sedang menghadapi masalah yang sulit. Entah apa yang dilakukannya sehingga ia, seperti yang diakuinya, tengah berurusan dengan pihak berwajib di kantor polisi.

Ketika aku mencoba menjelaskan lagi kondisiku, ia malah mulai berbicara dengan nada tinggi. Semakin aku mencoba membuatnya mengerti, semakin kasar pula bahasa yang digunakannya dan semakin aku kehilangan simpatiku padanya. Permohonannya berubah menjadi makian dengan kata-kata yang kasar hingga kotor. Belum lagi tuduhan bahwa aku tidak punya belas kasihan dan keinginan untuk menolongnya...salah satu tabiat yang aku benci dari orang yang pernah aku bantu. Ia juga sempat mengancam akan menterorku kelak nanti bila kesempatan itu datang. Di posisi seperti inilah aku menyadari kalau orang yang tengah aku hadapi bagaikan bukan dirinya yang kukenal. Seribu pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dihadapinya memenuhi benakku, namun aku tidak merasa perlu mendapatkan jawabannya saat kekalapannya telah menguasainya seluruh dirinya.

Dua tahun sebelumnya, ketika aku baru saja dipaksa melepas hak kepemilikanku atas usaha jasa percetakan oleh mitra kerjaku, aku mencoba mencari jalan untuk memutar dana yang aku dapatkan sebagai kompensasi atas pelepasan sahamku itu kepada beberapa teman termasuk seseorang yang saat itu masih secara rutin bekerja sama dengan bekas perusahaan percetakaanku. Ia adalah wiraswastawan kecil yang dulunya sering menawarkan usaha kerjasama di luar urusan perusahaan dengan konsep aku yang memodali calon proyek-proyek kecil di bidang pengkomplitan barang cetakan yang dilakukannya untuk perusahaan lain. Hal seperti ini sudah beberapa kali kami lakukan dengan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Karena saat itu ia sedang tidak ada proyek, maka ia berjanji akan menghubungiku jika ada peluang lagi.

Sekitar tiga bulan kemudian, ia mengontakku dan menagih janjiku atas dana yang pernah aku tawarkan. Jumlah terbilang sedang, namun ada dua faktor yang memberatkanku. Pertama, dana yang dulu kumiliki kini telah terpakai untuk usaha lain yang telah kumulai, dan kedua adalah bahwa ternyata dana yang dibutuhkannya itu bukan untuk suatu proyek tapi untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan kata lain, yang ia ajukan adalah proposal peminjaman dana untuk keperluan pribadinya. Aku sempat iba dengan kondisi keuangannya yang seret sementara tuntutan pendidikan anaknya begitu menjepitnya. Namun aku jadi kaget mendengar apa yang dikatakannya padaku setelah aku menyampaikan kesediaanku untuk memberinya sepertiga dari jumlah yang diharapkannya.

Alasan bahwa dana yang kumiliki memang sudah tidak tersedia sebanyak itu tidak menahannya untuk mencaci makiku. Ia menuduhku sebagai orang yang riya', menyombongkan kekayaan yang kumiliki sekaligus memberikan harapan kosong padanya dengan memberikan janji palsu. Lhoh...janji palsu gimana? Riya' gimana? Bukankah dana yang pernah jadi pembahasan itu aku siapkan untuk suatu kolaborasi bisnis yang sifatnya win/win? Apakah gagasan untuk menjalankan usaha bersama karena aku sedang punya dana membuatku riya'? Lagipula kami toch tidak pernah membuat perjanjian kalau dana pasti selalu tersedia untuknya? Kalaupun dana yang ia minta memang untuk suatu usaha, bagaimana kalau ia datangnya satu tahun kemudian? Apakah aku akan tetap dianggap tidak menepati janji?

Intinya, ia tengah berada di ujung tanduk. Di satu pihak ada keperluan sekolah anak-anaknya yang sangat mendesak yang harus dipenuhinya, di lain pihak bisnis yang digelutinya sedang lesu sehingga income-nya sedikit. Tapi apa iya situasi seperti ini lalu memberinya hak untuk melemparkan tuduhan-tuduhan seperti itu kepadaku? Aku mengenalnya sebagai orang yang taat beragama, dan hal itu pulalah yang mendasari minatku untuk berbisnis dengannya. Namun jika ketaatannya itu lalu melahirkan penilaian riya' padaku, aku jadi enggan sekali untuk berurusan dengannya. Ia juga sempat melontarkan mencap aku sebagai orang yang tidak punya belas kasihan sehingga tidak mau membantunya. Maka setelah gagal memberinya pemahaman tentang maksud awalku, aku sudahi saja pembicaraanku dengannya saat itu.

Hingga saat ini, aku tidak pernah lagi berhubungan dengan kedua orang ini, meskipun ia telah beberapa kali mereka mencoba menelponku atau sekedar menyapa lewat nomor-nomor telpon yang aku kenali. Aku tidak tau apa yang akan diucapkannya...kekesalan, kemarahan atau justru penyesalan. Namun aku sudah terlanjur kesal dengan yang mereka lakukan dulu, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Buatku, lebih baik menghindari konflik yang masih mungkin terulang daripada gambling merespon mereka untuk mencari tau mengapa mereka mencoba menghubungiku lagi setelah apa yang mereka lakukan.
Dan ketika aku ceritakan hal ini pada orang lain, ada yang menganjurkan agar aku merespon mereka dengan niat yang baik, untuk menjaga hubungan silaturahim dengan mengasumsikan bahwa niat mereka pun baik. Tapi aku cenderung bertahan pada keputusanku sekedar untuk mengusung prinsip yang kumiliki....baik itu dianggap orang lain benar atau salah.

Yaaah...anggap saja aku mencoba belajar dari pengalaman...



Friday, January 3, 2014

Friends Indeed

Sekali lagi aku dihadapkan pada masalah yang bersumber dari kebodohanku sendiri. Bukan hanya kebodohan dalam menentukan nilai tunggakan hutang tanpa memeriksa dengan teliti semua dokumen yang harusnya bisa memberiku informasi terlengkap, namun yang lebih parah adalah bahwa kejadian semacam ini sudah berulang kali kualami. Ini benar-benar bukti bahwa aku seringkali tidak belajar dari pengalaman.

Maka sebagai akibatnya, selain kenyamanan finansial yang telah beberapa bulan terakhir akhirnya dapat aku nikmati tiba-tba sirna dalam sekejap, aku juga dihimpit tenggat waktu dan tanggung jawab yang kemudian menjadi beban yang terasa begitu berat di pundakku. Di satu sisi aku punya tanggung jawab moral berupa janji pada pihak tertentu, di lain sisi aku hanya punya sedikit waktu untuk menepatinya. Dan semua itu menjadi bumerang dari kecerobohanku dalam menyeimbangkan income dengan expenses ku.

Sudah seminggu terakhir ini aku mencoba mencari jalan keluar yang bisa membebaskanku dari ancaman stress. Acapkali aku berdoa dan mengharapkan suatu mukjizat dariNya, namun tidak jarang pula aku seolah lupa ingatan dan mulai memakiNya atas kesialan yang hadir lagi dalam hidupku. Terkadang meskipun aku sependapat dengan nasihat soul mate ku untuk tetap bersabar dan ikhlas menghadapinya, aku masih saja sempat nekad mengeluh saat jalan pikiranku sudah membuntu.

Mungkin aku akan menjalani ini semua dengan tenang jika saja aku (bisa dan mau) bersikap terbuka pada mereka-mereka yang punya urusan langsung dengan masalah yang aku hadapi. Tapi itu memang bukan lah aku. Dari dulu aku punya kecenderungan untuk menjalani hari-hari sulit ku dengan cara bersolo karir. Bedanya, dahulu aku memang tidak perlu memikirkan individu lain selain diriku sendiri, dan itulah yang membuatku lebih siap menerima pukulan hidup yang setelak-telaknya.

Untungnya, kebesaranNya telah dibuktikan dengan menghadirkan segelintir orang-orang yang bisa mengerti dan memaklumi caraku berpikir sehingga bantuan moril maupun materil dari mereka masih bisa aku terima. Memang individu seperti mereka ini tidak mudah dipertahankan kalau saja aku tidak melakukan hal yang sama untuk mereka pada saat keadaan sedang membalik. Entah apakah hal itu pernah terjadi atau tidak, yang jelas bantuan dari mereka ini membuatku sadar bahwa perilakuku pasti sangat menentukan berapa besar atau kecilnya kans untuk lolos dari suatu masalah atas jasa orang lain.

Perjalanan hidup yang telah aku lalui terbilang cukup panjang yang penuh dengan keanekaragaman peristiwa yang bisa memberi pembelajaran penting buatku. Jarak yang masih harus aku tempuh selalu menjadi misteri yang tak seorangpun bisa mengetahuinya. Namun menggandeng dan merangkul orang dengan cara yang bijaksana juga menjadi tuntutan hidup sebagai jaminan mulusnya perjalanan hidupku yang mudah-mudahan masih panjang. Dari jumlah orang yang berada dekat denganku, mungkin hanya sedikit dari mereka yang bisa aku sebut sebagai "teman" yang layak berjalan di depan, di samping ataupun di belakangku.