Monday, April 28, 2014

Menyiasati Ujian


Setelah dihadapi dengan berbagai masalah, akhirnya Sabtu kemarin tereksekusikan juga rencana yang aku buat bersama adik bungsuku sejak hampir setengah tahun yang lalu. Bisnis penjualan t-shirt sekolah almamater yang memang dirancang untuk dimulai lewat event tahunan Alumni Day kemarin akhirnya dilaksanakan juga dengan taruhan investasi moril dan materil.

Ide bisnis ini tercetus berdasarkan desain-desain kaos yang dipasarkan oleh pihak perhimpunan alumni tahun lalu yang menurut kami sangat standar. Kami yang punya latarbelakang pendidikan arsitektur yang berbasis seni menganggap penjualan kaos akan lebih baik dengan desain yang lebih baik pula, sehingga kami lalu memutuskan untuk merancang model dan grafis sendiri dan mencoba ikut memasarkannya di ajang tahun ini.

Rencana ini rupanya tidak bisa begitu saja direalisasikan karena dari awal kami sudah terbentur dengan masalah finansial. Baik aku maupun adikku, harus mencari sumber pendanaan lain ketika ada kemacetan dalam pencairan dana dari sumber dana yang awalnya kami andalkan. Kami harus mencari dan bahkan mengalihkan sebagian dana yang kami miliki untuk keperluan bisnis ini. Itupun akhirnya kami hanya berhasil menghimpun setengah dari budget awal yang kami butuhkan. Hal ini sempat menguatkan kekhawatiran adikku yang didasari oleh pengalamannya dalam gagal di berbagai usaha yang pernah digelutinya. Namun aku juga terus menerus meyakinkannya bahwa hal itu tidak akan selamanya terjadi.

Sebelumnya, aku sendiri sudah menemui masalah dalam membuka kontak dengan ketua perhimpunan alumni ini yang tampak cenderung menghindariku. Aku sempat menduga bahwa ia punya rencana tersendiri atas penjualan kaos oleh pihak perhimpunan yang dikhawatirkan terganggu oleh rencana kami. Bahkan hingga hari ini, setelah semua terlaksana, tidak sekalipun ia berhasil aku hubungi atau mencoba kembali meresponku. Hanya sebuah keputusannya yang akhirnya kami dapatkan namun tidak langsung darinya adalah bahwa tidak satu pihakpun dizinkan menjual kaos almamater kecuali pihak perhimpunan.

Rupanya dua permasalahan di atas tadi justru melahirkan suatu kepastian buat kami bahwa dana yang kami miliki sudah cukup untuk membiayai produksi kaos yang jumlahnya sesuai dengan kondisi konsinyasi dengan pihak perhimpunan. Itupun kami jadikan hal yang positif mengingat pihak perhimpunan akan menyediakan sarana mesin kartu kredit seperti yang terjadi tahun lalu, yang membuka kemungkinan lebih besar atas penjualan lebih banyak ketimbang jika kami sendiri yang melakukannya tanpa sarana tersebut. Hal lain yang sempat membuat kami lega adalah bahwa sistem konsinyasi ini otomatis membebas tugaskan pihak kami dalam turun tangan langsung dalam penjualan yang selayaknya dilakukan oleh para personel yang telah ditunjuk pihak perhimpunan untuk melakukan penjualan. Kami hanya perlu membandingkan jumlah produk yang kami serahkan dan kami terima kembali di penghujung acara dalam mendapatkan hitungan dana yang masuk dan yang harus dibagi kepada pihak perhimpunan.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan secara sangat lambat baik oleh pihak perhimpunan maupun pihak panitia ini membuat pergerakan produksi kami terhambat. Dan ketika waktu sudah kian sempit, kami harus menerima fakta bahwa ada kesalahan disana sini dalam produksi pemesanan kami yang tidak mungkin lagi mengalami revisi dari pihak produser. Apa yang kemudian kami lakukan di hari-hari terakhir menjelang hari H adalah menyiasati segala ketimpangan yang disebabkan oleh kesalahan produksi tersebut, termasuk memotong label ukuran yang salah dan menggantikannya dengan stiker yang bertuliskan ukuran yang benar, yang kami kerjakan hingga tengah malam sebelum event berlangsung. Pengiriman setengah dari jumlah kaos yang diproduksi di pabrik kami di Jawa Tengah juga hanya terpaksa mengalami keterlambatan hingga lebih kurang satu jam setelah acara dibuka.

Tidak seperti tahun sebelumnya, penjualan kaos oleh perhimpunan ini dilakukan di dua titik. Awalnya aku sempat mengira penambahan titik penjualan ini didasari oleh jumlah kaos yang disediakan pihak perhimpunan mengalami peningkatan dua kali lipat seperti yang pernah diutarakan ketua perhimpunan. Desain yang adapun diperbanyak mengingat ia begitu yakin penjualan kali ini bisa menggandakan jumlah tahun lalu yang mencapai hampir seribu kaos. Lucunya, pada saat kami hendak mengurus legalitas kerjasama dengan pihak perhimpunan, mereka dengan mudahnya mempersilahkan kami melakukan sendiri penjualan kaos kami dengan catatan bahwa konsinyasi dibatalkan. Alasannya klasik saja....mereka sudah terlalu sibuk mengurus hal lain sehingga tidak ingin dipusingkan dengan hal ini. Lho?

Maka sejauh itu, kami hanya ingin lebih melihat momen ini sebagai blessing in disguise dimana berapapun profit yang akan kami dapatkan tidak akan lagi terpotong royalti buat pihak perhimpunan. Namun dibalik ini semua justru ada hal lain yang terselubung. Ruangan yang disediakan untuk kami justru terpisah jauh dari tempat dimana kaos perhimpunan dijual. Kami mendapat ruangan yang letaknya di bagian belakang sekolah yang disekitarnya tidak ada kegiatan apapun. Tempat ini adalah satu-satunya tempat penjualan kaos alumni oleh pihak perhimpunan yang berseberangan dengan aula tempat diadakannya bursa tenaga kerja di tahun sebelumnya. Tahun ini, mereka menempatkannya di bagian depan di satu sisi lapangan sepak bola dimana beberapa pertandingan diadakan.

Ruangan tempat kami berjualan hanya di tempati oleh satu pihak lainnya yang juga menjual kaos almamater. Tempat yang diset seperti tahun lalu, dimana belasan desain kaos bisa dipaparkan di atas belasan jajaran meja hanya terisi oleh dua pihak penjual dengan total lima desain kaos. Ironisnya, beberapa personel panitia justru kaget melihat keberadaan kami disitu dan sepinya gelombang pengunjung yang datang, seolah mereka tidak tau menau tentang penggunaan ruangan tersebut. Mereka juga lalu menganjurkan kami untuk pindah bergabung dengan penjualan kaos yang dilakukan pihak perhimpunan di ruangan depan. Suatu anjuran yang bagus hanya jika hal itu dapat terlaksana. Nyatanya, di ruang depan itu settingan meja yang disediakan tidak mencapai setengah dari ukuran ruangan, sehingga tidak mungkin buat kami untuk seenaknya hijrah tanpa harus memaksa pihak lain bergeser mengurangi jatah lapak yang menjadi haknya.

Kepindahan kami akhirnya memang terlaksana setelah beberapa pihak yang ada di ruangan depan sudah mulai bersiap-siap menutup penjualannya di penghujung acara yang akhirnya usai jauh lebih awal dari tahun sebelumnya. Meski terbilang sepi pengunjung, kepindahan kami ini sempat mendatangkan pembeli dua buah kaos kami. Lagi-lagi sebuah berkah yang pantas disyukuri sehingga penjualan kami mencapai tiga puluh dua buah dari empat ratus kaos yang kami siapkan. Kami juga sempat siap memberi diskon besar di penghujung acara namun hal itu rupanya tidak lagi menarik sisa pengunjung yang tinggal sedikit karena pementasan grup sehebat Colors band yang dijadikan puncak acara tidak menghentikan penonton yang beranjak meninggalkan acara sebelum penampilannya dimulai.

Overall, istilah flop memang pantas diberikan kepada penjualan kami hari itu. Namun untuk sebuah event besar yang terbilang sepi pengunjung dan harus tuntas jauh lebih awal dari tahun sebelumnya, apalagi dengan segala jegalan yang pantas dinamai hingga sebagai faktor X, Y & Z ini, aku bersyukur bisa menempa banyak ilmu dan hikmah dari usaha ini. Paling tidak, ada banyak pembelajaran penting yang bisa aku dapatkan untuk melanjutkan usaha ini di masa depan. Ilmu tentang bagaimana harus menghadapi berbagai pihak yang terkait, tentang bagaimana menyikapi birokrasi yang berbelit, mengelola segala kekurangan hingga mendapatkan solusi dan memandang semuanya dari sisi yang positif. Bagaimanpun juga, ini adalah bagian dari ujian kehidupan. Ujian yang menuntut perjuangan yang hebat dan keikhlasan yang tulus untuk meraih sebuah kesuksesan. Menyiastinya dengan bersabar dan bersyukur sudah sangat cukup untuk mengahdirkan senyum kelegaan di wajahku. Alhamdulillah.