Wednesday, August 19, 2015

Cat Fight

Ada dua orang kenalanku yang pernah sangat akrab satu sama lainnya. Keduanya wanita dan mereka berkenalan di dunia maya. Kesamaan prinsip mereka memotivasi mereka untuk ber-kopi darat yang lalu mengakrabkan mereka.
Sayangnya...keakraban mereka tercabik-cabik sejak menjelang Pilpres yang lalu. Kedengarannya memang cliché, tapi itulah yang terjadi pada dua insan yang masing-masing habis-habisan membela jagoannya.

Pilpres kemarin itu memang one of a kind. Banyak kawan yang lalu jadi lawan, bahkan antar pasangan hidup. Tapi kebanyakan berakhir dengan perdamaian setelah pemenangnya terpilih. Atau paling lambat beberapa waktu kemudian setelah pemerintahan berjalan. Kalaupun perbedaan itu masih ada, biasanya lebih terwujud pada pencibiran dalam hati atau tertutup di dalam lingkaran sesama pendukung yang sama.

Nah yang lucu adalah bahwa kedua kenalanku ini sekarang bagaikan musuh bebuyutan saking getolnya melakukan penyerangan dan pembelaan terhadap pemerintahan yang baru. Perang dingin yang mereka lakukan di dunia maya hingga detik inipun terkesan tak akan berujung. Begitu gencarnya aksi mereka hingga aku berasumsi bahwa tak seorangpun mampu menjadi penengahnya apalagi melahirkan kedamaian diantara mereka. Jangan tanya bagaimana jika mereka bertemu lagi di dunia nyata karena untuk sementara waktu hal itu mustahil mengingat mereka kini berjarak ribuan kilometer satu sama lain dan terpisahkan oleh samudra yang luas.

Serang menyerang mereka ini bersifat quiet. Tanpa menyebutkan kemana dan kesiapa arah tujuannya, namun serangan demi serangannya saling bersautan. Kalau boleh aku berkeyakinan, hal ini terjadi bukan secara kebetulan namun memang mereka saling memantau. Sehingga masing-masing tau pasti kapan serangan itu dilakukan dan biasanya langsung melakukan serangan balik. Aku tak akan pernah bisa menebak siapa yang akan menang atau kalah karena tak seperti Pilpres yang telah memisahkan mereka, pertarungan ini murni antara dua individu yang sama sekali tidak didukung ataupun ditunggangi pihak manapun.

Satu-satunya yang mem back up mereka hanyalah wawasan ilmu pengetahuan dan wisdom yang ada dalam diri mereka sendiri. Ini yang membuatnya jadi sangat menarik. Keduanya merasa benar, kuat dan punya tingkat emosi yang se-level...wanita pula. Tentunya, bakal pemenangnya adalah dia yang pandai mengatur strategi perangnya. Dan yang akan diraih adalah suatu kemenangan telak!

Hmmm...kita lihat saja nanti.


Friday, August 7, 2015

Merendah Dalam Bersabar

Sudah beberapa hari belakangan ini aku mengalami keresahan yang (bisa dikatakan) cukup parah. Sebenarnya berada di posisi yang serba kesulitan dalam finansial seperti sekarang ini sudah sering aku alami dan tidak membuatku gundah, tapi hanya sesekali saja hal itu terjadi jika tekanan aku dapat ditambahi keluhan dari pihak-pihak yang harusnya mengerti keadaanku dan ikut bersabar menghadapinya. Di saat aku menunggu tagihan dariku yang terus menerus ditunda pembayarannya, tagihan-tagihan yang harus aku bayarpun tak berhenti berdatangan.

Ingin rasanya menutup kupingku agar tidak mendengar keluhan-keluhan itu, namun aku tau itu tidak akan menghentikannya mengeluh dan aku tak mungkin selamanya menghindarinya. Lagipula aku sadar bahwa hal itu sejujurnya justru memompa semangatku untuk berusaha lebih keras dalam mencari solusinya. Seperti halnya yang terjadi kemarin ketika aku berniat untuk tidak pulang ke rumah sampai aku menyelesaikan sebuah tagihan yang telah tertunggak dua bulan. Aku menjadwalkan kegiatanku pagiku untuk menyambangi klien-klien ku yang selama ini menunda pembayaran atas layanan jasa yang telah kuberikan. Panjangnya perjalanan yang harus aku tempuh tidak menjadi halangan buatku demi penyelesaiannya sebuah tunggakan tagihan yang harus beres di tengah hari. Sayangnya usahaku belum juga satupun berhasil, namun aku tak ingin kegagalanku itu menghalangiku untuk menyempatkan diri singgah di masjid kecil di sebuah jalan yang aku lalui. Dan di saat aku sedang berusaha ikhlas menerima kenyataan itu, seorang teman yang baru setahun kukenal dan menjadi akrab denganku menelponku dan mengajakku bersantai di sebuah warung kopi dimana ia sedang berada.

Aku menerima ajakannya karena aku memang butuh waktu sejenak untuk duduk tenang dan memutar otak mencari alternatif lain yang bisa menghasilkan uang. Mungkin saja temanku ini bisa juga memberi usulan solusi mengingat ia juga seorang pekerja independen yang terbilang sukses dalam menangani kegentingan finansial yang pernah dihadapinya. Lucunya, bukan usulan cara mendapatkan peluang yang aku dapat darinya, tapi justru tawaran pinjaman dana tanpa batas waktu pengembaliannya. Memang tidak seluruhnya tunggakan itu bisa tertutup oleh dana yang ditawarkannya, tapi setidaknya bebanku jadi lebih ringan. Wah...alhamdulillah sekali. Sekarang aku tinggal mencari cara untuk mendapatkan sisa dana untuk mengkumplitkannya. Pinjaman ini pun yang kemudian membuat aku lebih tenang dan mampu berpikir jernih untuk mendapatkan solusinya.

Singkat cerita, tunggakan tagihan itu aku bereskan tepat pada waktunya. Itupun aku lalui dengan bersabar dan merendah hati ketika pihak penagih berusaha memaksaku membayar sekaligus tagihan berikutnya yang akan jatuh tempo tiga hari dari sekarang. Meskipun dalam hal ini aku yakin aku lebih benar dari mereka, tanpa mengotot aku mencoba meminta dengan baik dan sopan pengertian mereka akan keadaanku, bahwa rezeki yang menjadi milikku tidak selamanya sebesar yang aku harapkan. Bahwa kendatipun aku belum tentu bisa membayar tagihan berikutnya dari mereka, selayaknya aku mensyukuri rezeki yang aku dapat untuk bisa menyelesaikan tunggakan kali ini, yang pada akhirnya dianggap cukup oleh mereka. Dan dalam perjalanan pulangku, aku terus menerus terkagum-kagum atas bagaimana Allah memberiku ujian dan cara mendapatkan solusinya. Amazing!


Saturday, August 1, 2015

Hikmah Dari Kesulitan

Salah satu alasan mengapa kita diberi Allah swt ujian adalah agar kita bisa belajar tentang kemampuan kita dalam menarik hikmah yang ada di balik ujian itu sendiri.
Ujian finansial yang datang bertubi-tubi selama setahun terakhir ini memang kalibernya berat. Bukan berarti aku tak pernah mengalami ujian serupa dan lulus, tapi dulu situasiku jauh berbeda dimana yang harus aku luluskan itu hanya aku sendiri. Sekarang ada 3 kehidupan lainnya yang menjadi tanggung jawabku. Dan mungkin bagian ujian yang cukup krusial adalah mendengar keluhan dari yang aku tanggung atas kesulitan yang dihadapi. Mendengarnya saja sulit apalagi menerimanya dengan sabar dan lapang dada.

Berbagai cara sudah aku coba lakukan sebagai refleksi dari kiat untuk tidak berputus asa. Dari hunting proyek, survey lahan pekerjaan baru yang mungkin bisa digarap, bahkan mencari pinjaman dana dari kerabat dan kenalan. Nah, yang terakhir ini rupanya memberi banyak hikmah dan pembelajaran padaku. Banyak sekali dari mereka yang (ternyata) juga sedang kesulitan keuangan. Jujur saja, di awalnya aku sempat kecewa dan berburuk sangka pada mereka yang mengaku tidak mampu membantu. Namun tak lama kemudian akupun menyadari betapa salahnya aku menilai seperti itu. Aku lupa menempatkan diriku di posisi mereka. Bagaimana jika disaat yang sama, ada seorang kenalan yang datang kepadaku dan meminta bantuan juga? Egois sekali aku kesannya, bukan?

Sebetulnya yang bisa dibilang membuat ujian kali ini terasa lebih berat adalah bahwa ada beberapa hal yang nampak begitu jelasnya di depanku, yang nantinya bisa melepaskanku dari jeratan hutang dan tagihan yang tertunggak...tapi masalahnya, semua itu belum bisa tergapai. Ibaratnya ada celah berjurang dalam yang memisahkan aku dengan hal-hal tersebut. Yang aku butuhkan hanyalah sesuatu yang bisa menjembatani aku dengan semua itu. Tak perlu kubangun jembatan besi yang strukturnya njelimet. Sebuah batang pohon besar yang kokohpun sudah cukup untuk kujadikan tempat meniti perlahan ke seberang. Banyak pohon di sekitarku, namun kapak atau alat pemotong yang layak untuk menebangnya tersembunyi entah dimana. Tugasku adalah mencari alat pemotong itu dengan bermodal kesabaran dan keikhlasan.

Sambil aku mencarinya, aku terus membayangkan apa saja yang akan aku lakukan setelah aku berhasil menyebrangi celah itu. Selain membereskan segala urusan tunggakan, impian dan keinginanku tak banyak dan tak muluk-muluk. Sehingga aku mempertanyakan diri sendiri akan aku apakan rezeki yang tersisa. Dan pemikiranku kembali pada bagaimana sulitnya mendapatkan bantuan dari para kerabat dan kenalanku itu. Aku lalu mebayangkan betapa akan senangnya mereka bila kelak mereka datang dengan mengharapkan bantuan kemudian mendapatkannya dengan mudah dariku karena aku memang mampu. Mereka tak akan perlu kecewa dan pergi mencari bantuan lagi ke tempat lain. Betapa akan bahagianya aku jadinya.

Berkah dan rezeki kita itu sudah ditentukan olehNya. Aku sadar bahwa ketika aku gagal mendapatkan pinjaman dana dari suatu sumber, artinya rezeki untukku memang bukan dari situ. Sedangkan rezeki apapun yang menjadi milikku juga sifatnya hanya duniawi, sehingga tidak sepantasnya aku dewakan. Dan ketika ada kerabat, kenalan atau siapapun yang membutuhkannya, in shaa Allah rezeki yang aku punya bisa menjadi rezekinya pula.
Kebahagiaan yang aku dapatkan kelak saat berbagi rezeki menjadi berkah yang tak ternilai itu lalu memotivasi aku untuk terus berusaha mencari dan mencari dengan sabar solusi dari permasalahan yang aku hadapi. Dan buatku, itulah hikmah yang ada di balik ujian berat ini.