Thursday, November 26, 2015

Still A Friend Of Mine

Penampilannya selalu rapih dan enak dipandang, bahkan ketika ia sedang dalam kondisi kecapean mengantuk atau sakit. Begitulah seorang teman yang aku kenal dekat sejak aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Bedanya dengan penampilannya semasa kecil atau ketika beranjak dewasa, kini ia terlihat macho dengan postur tubuhnya yang terbilang sedikit kekar. Dulu hingga di bangku SMP, ia terlihat gemulai dengan cara bicaranya yang cenderung feminin. Aku ingat ucapan seorang temanku lainnya yang mengisyaratkan keogahannya untuk bergaul bersama temanku ini hanya karena ia diduga sebagai seorang "gay" dengan sepak terjangnya yang lembut bak wanita dan akrab dengan semua teman pria-nya. Apalagi ketika itu kami semua tinggal di San Francisco yang diindikasikan sebagai kota tempat berhuninya banyak gay. Aku sendiri disana tidak sempat bertemu dengannya setelah terakhir bertemu di bangku SMA sekitar 8 tahun sebelumnya.

Tahun lalu aku bertemu lagi dengannya di acara reuni SMA, tapi hanya sesaat saja kami mengobrol. Ia tidak lagi terlihat femini dan cara bicaranya pun berbeda jauh. Aku tidak berhubungan dengannya hingga beberapa bulan lalu ketika aku mencoba mengajaknya bergabung dalam grup band yang sedang aku bentuk. Seingatku, dulu ia menjadi andalan grup vokal kami untuk suara yang tinggi. Namun kali ini aku harus menghadapi tantangan baru dengan berubahnya suaranya menjadi jauh lebih rendah. Setelah ia bergabung, aku jadi sering bertemu dengannya dalam menjajaki proyek penampilan band kami di acara reuni SMA tanggal 5 kemarin.

Ia memang hingga kini belum berkeluarga meskipun usianya sudah memasuki kepala 5 seperti aku. Masih banyak suara sumbang yang menduganya sebagai orang yang hanya suka pada sesama jenis. Buatku, yang lama hidup di komunitas yang open-minded, tidak mudah menghakimi atau melabeli-nya seperti itu tanpa fakta yang kongkrit. Kenyataan bahwa ia sering dikelilingi wanita cantik juga harusnya menyulitkan orang untuk menebak-nebak. Apalagi ia begitu telatennya mengurus kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Misalnya ia rajin mengantar mereka berobat ke luar negeri. Suatu hal yang tak mungkin dilakukannya jika ia sudah berkeluarga seperti halnya adiknya yang telah beristri dengan dua anaknya.

Mungkin memang mudah buat orang lain untuk berprasangka buruk padanya hanya karena ia masih single, apalagi bagi orang yang tidak punya banyak teman sepertinya. Namun di negara maju seperti Amerika, tempat ia dan aku sempat menetap cukup lama, menjadi single bukanlah hal yang negatif atau mengindikasikan tidak suka dengan lawan jenis. Disana, pernikahan adalah hal yang tidak mudah dijalani mengingat segala kewajiban dan tanggung jawab yang dianggap serius untuk bisa dipikul. Hidup bersama sebagai pasangan saja bukanlah hal yang mudah, apalagi terikat dalam sebuah pernikahan. Jadi aku lebih suka berasumsi positif bahwa kejombloannya didasari hal-hal yang sifatnya lebih mementingkan orang lain, misalnya orangtuanya.

Di usianya yang sudah setengah abad, ia terlihat ganteng. Berpakaian selalu dandy dan rapih, ia juga sangat rendah hati dan ringan tangan. Ada beberapa teman2 dekatnya yang mencapnya sebagai orang berkecukupan yang selalu siap membantu siapa saja untuk hal apa saja yang terjangkau olehnya. Dengan bermodal itu semua, tidak susahlah buatnya untuk disukai wanita. Namun bisa jadi pengurusan orangtua-nya menjadi hal yang prioritas baginya sehingga mungkin butuh banyak hal lain buatnya untuk berkeluarga. Jika kelak terkuak fakta bahwa ia memang hanya tertarik pada pria, ia akan tetap punya kelas dan kualitas yang tinggi buatku. Dan itu sudah lebih dari cukup buatku untuk tetap memiliki pertemanan yang tidak berubah sedikitpun dengannya.