Monday, May 30, 2016

Kamu...Iya, Kamu!

Entah sejak kapan, penggunaan kata Kamu itu jadi begitu luas. Dulu sekitar awal tahun 1983, sebelum aku hijrah ke negeri seberang, seingatku orang lebih sering mengucapkan Anda atau nama dari individu yang diajak bicara. Stasiun radio sudah banyak, tapi TVRI adalah stasiun TV satu-satunya yang menampilkannya secara visual. Mungkin karena sekarang kita bisa lebih mudah dan sering mendengar (dan melihat) orang menggunakannya sebagai sebutan untuk pihak kedua. Apalagi yang namanya Talkshow sudah menjamur di begitu banyak stasiun visual termasuk yang di internet. Di acara seperti inilah para host sering menyebut Kamu pada tamu-tamunya.

Koq rasanya aneh mendengar siapa saja bisa menggunakannya pada perbincangan dengan sembarang orang. Hal ini mulai terasa sejak kepulanganku ke tanah air, dimana aku mulai kembali menjalani keseharianku dengan menggunakan bahasa nasional. Lalu tak lama kemudian ada seorang teman yang menganjurkan agar aku lebih baik menggunakan Anda atau nama. Alasannya simpel...Kamu lebih terasa pas untuk digunakan di masa lalu dan hanya pada pembantu. Jujur saja...memang sebelum kepergianku, aku hanya ingat kata itu dipakai dalam kehidupan sehari-hari di sekolah (guru mengatakannya pada murid) dan di rumah (orangtua ku mengatakannya pada pembantu mereka).

Secara teori, memang Kamu merupakan kata resmi untuk orang kedua. Itu sudah jelas digunakan dalam pelajaran Bahasa Indonesia; "Nama kamu siapa?" "Kamu hendak pergi kemana?" dan seterusnya. Namun dalam pemraktekkannya, (seingatku) digunakannya untuk orang yang (jauh) lebih muda (misalnya anak kecil) atau punya status kedudukan yang juga (jauh) lebih rendah. Penggunaan seperti itu, yang sudah diterapkan (sepertinya) sejak zaman kolonial, rupanya telah membentuk image begitu, sehingga (buatku) tidak lagi terdengar pantas bila digunakan di lain kondisi. Itu sebabnya hingga kini lebih suka menyebut nama asli atau panggilan, atau kata-kata seperti Saudara, Dirimu, Anda, Dikau, Kau, bahkan Lu (khusus ke teman, atau di Jakarta), dlsb.

Kemarin di sebuah acara makan siang yang diadakan oleh seorang teman, aku dikenalkan pada seorang wanita pengusaha setengah baya, yang notabene lebih tua dariku hanya di tampilan wajahnya. Kami berdua lalu terlibat dalam perbincangan tentang bisnis yang dijalaninya sambil ia terus menerus menggunakan kata Kamu padaku. Selama itu pula aku juga terus menerus merasa terganggu, namun mencoba menahan diri untuk tidak protes. Mindset ku hanya terpaku pada fakta bahwa kata itu adalah kata yang sah dipakai dalam bahasa Indonesia tanpa memandang umur, jabatan, profesi atau (kalau boleh aku sebut) kasta. Sampai pada poin tertentu dimana aku tak tahan lagi menerimanya, aku yang dari awal menyebutnya dengan namanya, mulai menggunakannya juga padanya.

Nah...ketika itulah ia terlihat kaget dan seolah mulai terganggu. Mimik muka dan bahasa tubuhnya jelas menampakkan kegelisahnya. Lalu senyuman demi senyuman sinis kerap terlihat di wajahnya setiap aku mengunakannya. Perbincangan kami sontak menjadi terbata-bata, hingga akhirnya ia meminta permisi untuk menemui tamu-tamu yang lain. Pendek cerita, seusai acara, teman yang mengenalkanku padanya memberi tau bahwa wanita itu sempat mengeluh padanya atas tindakanku mengalamatkan kata Kamu padanya. Lhoh...aneh ya? Bukankah sebelumnya ia juga melakukan hal yang sama padaku? Temanku menduga bahwa wanita itu merasa tak layak disebut Kamu oleh orang seperti aku. Seperti aku? Ya...seperti orang yang tak sesukses dia.

Wah...kalau begitu prinsipnya boleh dibilang sama seperti aku donk? Tapi layakkah bila ia merasa lebih sukses dari aku sehingga hanya ia yang pantas menggunakan Kamu dalam perbincangan kami itu? Sukses itu khan subyektif. Memang kalau dalam bisnis yang digelutinya, tentu saja ia lebih sukses dari aku yang sama sekali tidak paham apalagi menjalaninya. Tapi aku yakin aku unggul di suatu bidang tertentu darinya. Yang pasti aku lebih sukses dalam hal penggunaan kata panggilan yang lebih baik demi menghormati dan menghargai perasaan orang yang aku ajak bicara. Buktinya, sampai pada poin tertentu tadi, aku lebih sukses menjaga perasaannya di saat dari awal ia sudah gagal menjaga perasaanku...


Paket Selfie

Ceritanya, anak sulungku kemarin bersama enam teman sekelasnya membuka stand martabak manis dan pudding di acara pensi sekolah dalam rangka perpisahan dengan kakak-kakak kelas mereka yang sedianya siap meninggalkan bangku sekolah menengah pertama. Acara yang dihadiri oleh semua siswa termasuk para orangtua siswa kelas sembilan ini diisi dengan pagelaran seni dan bazaar yang diikuti oleh siswa kelas tujuh dan delapan. Stand yang ada pun ada belasan dan kebanyakan menjual panganan. Jadi boleh dikatakan bahwa keahlian siswa dalam berkreasi memilih jenis panganan dan strategi penjualannya pun benar-benar diuji.

Sebagai orangtua yang tidak terundang bahkan tidak diperbolehkan hadir, aku menghargai usaha anakku dengan cara tidak ikut campur di dalamnya mulai dari persiapannya hingga pengeksekusiannya. Dukungan yang bisa aku berikan hanyalah memberinya modal urunan dan transportasi selama proses dijalankannya usaha itu. Aku setuju dengan ide bahwa mereka bebas memilih cara menjalaninya tanpa campur tangan orangtua. Mereka bahkan cenderung belajar membuat martabak dan puddingnya dari video-video tutorial di YouTube ketimbang mendapatkannya dari orangtua atau keluarga.

Maka bergulirlah acara tersebut dengan semestinya, dan kelompok anakku berhasil menjual habis 32 porsi pudding serta menyisakan sedikit potong martabak dari sekian banyak yang disediakan. Aku terkagum-kagum dengan hasil akhir yang mereka capai. Sangatlah mungkin bahwa hasil sebaik itu tak tercapai jika aku yang berjualan mengingat aku payah sekali dalam hal marketing. Dalam penasaranku, aku tanya anakku bagaimana bisa menjual begitu banyak stok disaat ada banyak pilihan panganan. Jawabannya unik sekaligus lucu...

Jadi mereka rupanya sempat bingung karena progres penjualannya dianggap sangat lambat. Martabak yang ditawarkan dengan harga Rp. 4000,- per potong dan pudding seharga Rp. 2000,- per porsi mungkin masih dianggap mahal. Penolakan halusnya adalah, "Nanti saja. Mau lihat-lihat dulu yang lain". Alasan klasik yang biasanya berarti bahwa yang ditawari tidak akan kembali lagi begitu ia meninggalkan stand mereka. Lalu mereka memutuskan untuk menjemput bola dengan berkeliling menawarkan dagangannya. Namun karena hal itu belum juga efektif, mereka menerapkan sistem Combo, alias memaketkan sepotong martabak dengan seporsi pudding dengan harga jual Rp. 5000,-.

Hasilnya sangat baik karena mereka berhasil menjual setengah stok yang ada. Namun mereka bertarget menghabiskan stok karena tak ingin repot membawa sisa dagangan pulang. Dan setelah bersama-sama berpikir keras mencari solusi, mereka menemukan sebuah cara yang inovatif. Diajaklah Reza, seorang teman yang cukup populer di sekolah karena ketampanannya untuk mendampingi mereka dalam menawarkan dagangannya ke para siswa putri. Dengan paket Combo yang harganya telah dikembalikan ke harga normal, Rp. 6000,-, mereka memberi tawaran yang ternyata sulit diabaikan kebanyakn siswa putri; "Dapat kesempatan selfie bareng Reza".
Dan penawaran itulah yang nyaris meludeskan dagangan mereka bahkan jauh sebelum acara berakhir.

Lalu kompensasi apa yang diminta oleh Reza? Sama sekali bukan materi, karena baginya, jadi rebutan siswa putri untuk foto bareng memberinya kepuasan tersendiri dan itu dianggapnya sudah imbang dengan bantuan yang ia berikan buat teman-temannya.

Ck ck ck...anak-anak zaman sekarang... :p
 

Saturday, May 28, 2016

Ego Orangtua

Entah apa penyebab awalnya, di antara orangtua wanita dari siswa seangkatan anak keduaku terjadi pengelompokan yang tidak sehat. Situasi yang istilah umumnya gap-gap-an ini rupanya sudah terbentuk sejak dua tahun yang lalu ketika anakku duduk di kelas empat. Dugaanku, penyebabnya tak jauh dari faktor materi duniawi yang mempengaruhi life style mereka. Aku menduga demikian karena satu yang pertama punya gaya hidup yang bisa dibilang mewah...minimal butuh uang banyak untuk mendukungnya. Sedangkan kelompok kedua terlihat lebih membumi karena memang banyak anggotanya datang dari kalangan pas-pas-an bahkan kurang mampu.

Salah satu contoh perbedaannya adalah bahwa meskipun keduanya punya kegiatan pengajian, namun kelompok pertama sering menyewa catering makanan untuk disajikan dalam pengajiannya sementara kelompok kedua lebih mengandalkan apapun panganan ringan seperti kue kering, kacang atau gorengan yang dibawa secara sukarela oleh para anggotanya. Contoh lainnya adalah kegiatan arisan yang iurannya jauh berbeda antar kedua kelompok. Nah...perbedaan-perbedaan mencolok seprti inilah yang kemudian merusak hubungan pertemanan antar anggota kedua kelompok ini. Ini yang aku sebut di atas "tidak sehat". Awalnya mungkin tidak terlalu bermasalah karena (buat aku) kasus semacam ini kerap terjadi di antara wanita, namun lama kelamaan efeknya mulai terasa di antara anak-anaknya. Parahnya, ada beberapa anak yang kemudian mulai tidak menghormati ibu-ibu, sebut saja para emak dari kelompok kedua yang kebetulan punya masalah dengan ibunya.

Kondisi ini makin meruncing ketika anak-anak mereka duduk di kelas enam. Hal ini disebabkan karena makin banyaknya kegiatan yang perlu dilakukan oleh para emak dalam rangka mempersiapkan berakhirnya masa sekolah anak-anak seperti acara pelepasan siswa, perpisahan, pembuatan buku tahunan, dll. Kegiatan-kegiatan yang layaknya dilakukan oleh semua orangtua murid secara terpadu cenderung jadi tersendat-sendat karena adanya faktor saling menghambat. Berbagai perbedaan prinsip tak mudah diselesaikan karena mereka tidak saling mengalah. Belum lagi tugas-tugas yang dengan sengaja tidak diselesaikan hanya karena ketidaksukaan satu sama lain. Sementara itu, pihak sekolah tidak kuasa untuk menengahi ketika urusannya menyangkut dana, karena larangan dari Pemerintah Daerah bagi semua sekolah negeri. .

Akhirnya semua permasalahan ini memuncak dengan rencana diterbitkannya Buku Tahunan di acara Pelepasan Siswa yang saat ini sudah naik cetak. Ada tujuh emak dari kelompok pertama yang tidak membayar iuran yang diperlukan. Padahal mereka sudah berkali-kali diingatkan baik secara verbal maupun tulisan lewat surat edaran orangtua siswa kelas enam dan di grup Whatsapp. Kemarin, lewat salah satu emak yang mewakili enam orang lainnya, mereka berniat melakukan pembayaran agar anak-anak juga kebagian Buku Tahunan tersebut. Sayangnya...upaya mereka ini tidak berbuah hasil seperti yang mereka harapkan. Kecuali mereka mau membayar lebih berlipat-lipat, proses pencetakan ini tak mungkin lagi diinterupsi. Aku paham sekali kondisi ini mengingat aku juga dulu pernah menjalani usaha percetakan. Banyak faktor yang mencekal upaya penambahan segelintir oplaag cetakan jika proses pembuatan buku sudah melampaui tahap pencetakan.

Yang aku sayangkan adalah segala aksi pembelotan dari ketujuh emak ini melulu didasari ego pribadi semata tanpa menimbangkan anak-anaknya. Aku bisa membayangkan betapa kecewanya ketujuh anak ini kelak ketika mereka tidak punya kumpulan dokumentasi perjalanan studi mereka di sekolah dasar selama enam tahun. Di buku itu, tentunya ada foto dan nama mereka...hanya saja mereka tidak memilikinya sebagai kenang-kenangna untuk disimpan. Kalau sudah begini, para emak itu akan bicara apa? Saat ini mungkin anak-anak itu manut saja dengan para emak-nya. Tapi kelak belum tentu mereka bisa memaklumi aksi para emaknya. Jangan lupa bahwa masa-masa di sekolah dasar merupakan masa-masa transisi dari anak menjadi remaja. Biasanya masa-masa itu sulit terlupakan.
Lalu, layakkah masa-masa itu dikorbankan demi ego para emaknya? Renungkanlah....