Monday, May 30, 2016

Paket Selfie

Ceritanya, anak sulungku kemarin bersama enam teman sekelasnya membuka stand martabak manis dan pudding di acara pensi sekolah dalam rangka perpisahan dengan kakak-kakak kelas mereka yang sedianya siap meninggalkan bangku sekolah menengah pertama. Acara yang dihadiri oleh semua siswa termasuk para orangtua siswa kelas sembilan ini diisi dengan pagelaran seni dan bazaar yang diikuti oleh siswa kelas tujuh dan delapan. Stand yang ada pun ada belasan dan kebanyakan menjual panganan. Jadi boleh dikatakan bahwa keahlian siswa dalam berkreasi memilih jenis panganan dan strategi penjualannya pun benar-benar diuji.

Sebagai orangtua yang tidak terundang bahkan tidak diperbolehkan hadir, aku menghargai usaha anakku dengan cara tidak ikut campur di dalamnya mulai dari persiapannya hingga pengeksekusiannya. Dukungan yang bisa aku berikan hanyalah memberinya modal urunan dan transportasi selama proses dijalankannya usaha itu. Aku setuju dengan ide bahwa mereka bebas memilih cara menjalaninya tanpa campur tangan orangtua. Mereka bahkan cenderung belajar membuat martabak dan puddingnya dari video-video tutorial di YouTube ketimbang mendapatkannya dari orangtua atau keluarga.

Maka bergulirlah acara tersebut dengan semestinya, dan kelompok anakku berhasil menjual habis 32 porsi pudding serta menyisakan sedikit potong martabak dari sekian banyak yang disediakan. Aku terkagum-kagum dengan hasil akhir yang mereka capai. Sangatlah mungkin bahwa hasil sebaik itu tak tercapai jika aku yang berjualan mengingat aku payah sekali dalam hal marketing. Dalam penasaranku, aku tanya anakku bagaimana bisa menjual begitu banyak stok disaat ada banyak pilihan panganan. Jawabannya unik sekaligus lucu...

Jadi mereka rupanya sempat bingung karena progres penjualannya dianggap sangat lambat. Martabak yang ditawarkan dengan harga Rp. 4000,- per potong dan pudding seharga Rp. 2000,- per porsi mungkin masih dianggap mahal. Penolakan halusnya adalah, "Nanti saja. Mau lihat-lihat dulu yang lain". Alasan klasik yang biasanya berarti bahwa yang ditawari tidak akan kembali lagi begitu ia meninggalkan stand mereka. Lalu mereka memutuskan untuk menjemput bola dengan berkeliling menawarkan dagangannya. Namun karena hal itu belum juga efektif, mereka menerapkan sistem Combo, alias memaketkan sepotong martabak dengan seporsi pudding dengan harga jual Rp. 5000,-.

Hasilnya sangat baik karena mereka berhasil menjual setengah stok yang ada. Namun mereka bertarget menghabiskan stok karena tak ingin repot membawa sisa dagangan pulang. Dan setelah bersama-sama berpikir keras mencari solusi, mereka menemukan sebuah cara yang inovatif. Diajaklah Reza, seorang teman yang cukup populer di sekolah karena ketampanannya untuk mendampingi mereka dalam menawarkan dagangannya ke para siswa putri. Dengan paket Combo yang harganya telah dikembalikan ke harga normal, Rp. 6000,-, mereka memberi tawaran yang ternyata sulit diabaikan kebanyakn siswa putri; "Dapat kesempatan selfie bareng Reza".
Dan penawaran itulah yang nyaris meludeskan dagangan mereka bahkan jauh sebelum acara berakhir.

Lalu kompensasi apa yang diminta oleh Reza? Sama sekali bukan materi, karena baginya, jadi rebutan siswa putri untuk foto bareng memberinya kepuasan tersendiri dan itu dianggapnya sudah imbang dengan bantuan yang ia berikan buat teman-temannya.

Ck ck ck...anak-anak zaman sekarang... :p