Wednesday, July 27, 2016

Cinta Yang Dipertanyakan

Semalam, selagi aku duduk di bangku luar sebuah warteg, menunggu selesainya motorku yang hampir selesai diperbaiki di bengkel sebelah, aku mendengar percakapan dua orang wanita setengah baya yang duduk di dalam warteg. Suara mereka memang tidak keras, namun cukup jelas terdengar keluar lewat lubang jendela berkawat ayam dan tertutup gordyn. Maklumlah, warteg ini terbilang sempit sehingga jarak mereka tak jauh dari lubang jendela itu.

Salah seorangnya yang aku dengar dipanggil "Rin" oleh temannya sedang curhat tentang kisah asmaranya. Tadinya aku tak begitu menyimak obrolan mereka, namun kata "selingkuhan" yang sempat terucap oleh teman Rin (yang sampai akhirpun aku tak pernah tau siapa namanya) membuatku ingin menguping. Rupanya Rin ini adalah selingkuhan dari seorang lelaki kaya yang sudah berkeluarga. Perselingkuhan ini sudah berjalan dua tahun dan Rin mulai mempertanyakan masa depannya karena ia terlanjur jatuh hati pada sang lelaki.

Pasalnya, Rin khawatir akan nasibnya bila kelak sang lelaki memutuskan hubungan dengannya. Rin sendiri menyatakan bahwa ia tak mengincar harta sang lelaki, namun ia ingin sekali menggantikan posisi istri sang lelaki dan membangun rumah tangga bersamanya. Bagaimana tidak? Rin menuturkan bagaimana ia begitu diperlakukan dengan sangat baik oleh sang lelaki yang dinilainya romantis dan gentleman. Meskipun acap kali ia tolak, tapi sudah banyak hal yang ditawarkan oleh sang lelaki kepadanya, termasuk sebuah mobil. Dan penolakan itu murni karena bukan materi yang diharapan Rin dari sang lelaki. Rin begitu menikmati perjalanan cintanya dengan sang lelaki selama dua tahun hingga ia mulai merasa keberatan jika harus berpisah dengannya.

Teman Rin...sebut saja namanya si A, mencoba menyadarkan Rin bahwa Rin tak punya banyak opsi dalam kasus ini mengingat statusnya yang wanita simpanan. Apa yang diutarakan si A ini seolah menuju ke kegagalan karena Rin bersikukuh tak ingin menganggapnya sebagai perselingkuhan biasa karena menurutnya sang lelaki ini tak layak dilepas begitu saja. Lucunya, Rin mulai meragukan perasaan sang lelaki padanya. Apakah sang lelaki juga secinta itu padanya seperti halnya ia pada sang lelaki. Rin lalu mulai memaparkan segala kekurangannya yang ia khawatirkan kelak bakal menjadi alasan mengapa sang lelaki meninggalkannya. Mulai dari sifatnya yang tak sempurna, penampilannya yang biasa-biasa saja, hingga jenjang keberadaannya yang dianggapnya jauh di bawah keberadaan sang lelaki.

Tak ada respon lain dari si A kecuali anjuran kepada Rin agar ia menyiapkan diri untuk hal yang terburuk dimana suatu hari sang lelaki mungkin akan memutuskan hubungan percintaan dengannya ini. Si A juga justru menyarankan agar Rin yang terlebih dahulu memutuskan sang lelaki karena mungkinnya ia hanya dianggap sebagai hiburan semata yang sifatnya temporary, lalu mencari lelaki lain yang pantas dicintai. Menurut si A, hubungan perselingkuhan itu tak pernah didasari cinta dan kesetiaan yang tulus sehingga rentan kelestariannya. Kalaupun ada yang sampai kemudian benar-benar jatuh hati hingga ingin mempertahankan hubungannya, tak mungkin terjadi pada kedua pelakunya. Apalagi ketika Rin sendiri mulai mempertanyakan kadar kecintaan sang lelaki untuknya.

Pengupingan ini tak tuntas karena aku keburu dipanggil oleh montir setelah motorku siap untuk dibawa pergi sehingga aku harus meninggalkan Tempat Kejadian Pengupingan.
Dalam perjalanan pulang, aku tak bisa tak memikirkan perbincangan kedua wanita tadi. Buatku, si A memang benar tentang perlunya Rin bersiap diri menghadapi fakta bahwa kelak hubungan ini bisa berakhir terlebih bahwa sang lelaki sudah beristri dan berkeluarga. Kenapa tidak? Pernikahanpun juga bisa berakhir meskipun telah dikukuhkan di bawah naungan agama. Namun aku juga tidak menyalahkan Rin yang bersikukuh tak ingin hubungan ini berakhir. Wong namanya sudah pakai perasaan yang dalam dan keburu jatuh hati. Jadi dalam hal ini aku tak bisa membayangkan dimana proses curhat tadi berujung.

Satu hal yang sangat menarik buatku adalah keraguan Rin tentang kadar cinta sang lelaki untuknya. Tanpa perlu menilik pada kondisi dan status sang lelaki, (menurutku) yang perlu dikaji oleh Rin adalah kualitas perlakuan sang lelaki padanya justru dengan kondisi Rin seperti yang ia sendiri paparkan pada si A. Kalau memang Rin menganggap dirinya tak sepadan dengan sang lelaki, alasan apa yang membuat sang lelaki tetap bersamanya selama ini? Tentunya ada kualitas tersendiri dari Rin yang membuat sang lelaki betah menjalin hubungan ini dengannya. Rin boleh saja menganggap dirinya buruk rupa...tapi itu tak membuat sang lelaki mundur. Begitu pula dengan sifat dan sikap Rin yang tentunya tak dianggap sebagai beban oleh sang lelaki. Belum lagi soal finansial, terlebih sang lelaki tak tanggung-tanggung menawarkan support yang tak sedikit.

TerIepas dari kasus perselingkuhannya...jika ada keraguan dalam diri Rin atas kecintaan sang lelaki padanya, harusnya Rin perlu meninjau hal-hal yang mungkin jadi alasan kenapa cinta sang lelaki untuknya itu ada. Karena di saat Rin menganggap ia tak layak untuk dikagumi bahkan dicintai oleh sang lelaki, justru sang lelaki tersebut bisa memandangnya berbeda. Setiap orang punya visual yang berbeda satu sama lain. Visual Rin terhadap dirinya sendiri bisa bertolak belakang dengan visual sang lelaki terhadapnya. Dan ketika ada orang yang begitu mencintai sosok Rin (yang ia sendiri anggap tak cukup kualitas), masih pantaskah Rin mengabaikannya?

Jika Rin lalu mencari orang lain, seperti yang disarankan si A, mungkinkah ada yang akan mengaguminya seperti halnya sang lelaki mengaguminya? Bisa jadi orang yang ia harapkan untuk mengaguminya justru melihatnya sebagai sosok yang minim kualitas. Biar jelek lah, miskin lah, jutek lah, bodoh lah...kalau memang sang lelaki itu suka padanya dengan kondisinya yang seperti itu, harusnya disyukuri....bukan dipertanyakan. Sekarang tinggal bagaimana mensiasatinya sehingga kesukaan sang lelaki padanya tak luntur, dan mungkin kelak bisa menjadi sebuah cerita cinta yang indah di jalan yang benar buat Rin dan sang lelaki....(my two cents).


Tuesday, July 26, 2016

Ngrasani

Sekali lagi aku ditempatkan di posisi yang sulit...

Di rekening bank ku memang tersimpan uang yang sedang aku kumpulkan untuk membayar tagihan-tagihan bulanan. Tapi dengan kondisi saldo yang belum mencukupi untuk itupun tiba-tiba motorku rusak di tengah jalan tadi. Memang biaya servisnya tak sampai jutaan, tapi cukup untuk menguras uang yang aku simpan itu. Menunda untuk membetulkannya tidak mungkin karena kendaraan ini aku andalkan untuk keseharianku termasuk mengantar jemput anak-anakku sekolah.

So....setelah menimbang-nimbang beberapa saat, aku tinggalkan motor itu di bengkel dekat TKP. Tentunya malam ini ketika aku menjemput motor itu, aku akan kembali ke posisi dimana aku harus mulai mengumpulkan uang lagi praktis dari nol. Mengesalkan? Pasti. Tapi aku tetap harus mensyukuri fakta-fakta bahwa motorku tidak mogok di lokasi yang jauh dari bengkel atau terjadi di malam hari saat bengkel yang ada lumrahnya sudah tutup. Juga bahwa paling tidak aku masih bisa menutup biaya perbaikan motorku meskipun artinya aku harus memakai uang yang sudah aku anggarkan untuk kepentingan yang lain. Dan setelah aku dapatkan motorku kembali dalam keadaan sembuh, besok harusnya aku tak akan punya masalah dalam pengantaran anak-anakku ke sekolah.

Susah memang.
Untuk bersabar saja tidak mudah...apalagi mensyukuri hal-hal yang (harusnya) selalu ada di balik keapesan kita. Terus....bagaimana aku harus bisa mendapatkan lagi uang yang perlu aku kumpulkan untuk mengganti uang simpanan yang terpakai? Proses pengumpulan yang pertama saja belum tuntas...sekarang malah harus memulai lagi dari awal. Yang jelas, kalau waktu ini aku gunakan melulu hanya untuk "ngrasani" nasibku, kemungkinan besar tak akan membuahkan hasil positif. Bisa jadi kesabaranku meleleh lalu aku malah stres dan mengalami depresi.

Entahlah...aku belum punya jawabannya. Aku masih berada dalam phase shocked berat meskipun aku tak ingin patah arang. Aku ingin percaya bahwa peristiwa ini akan memberi hikmah....somehow. Aku percaya pasti ada hal baik yang akan menyusul setelah ini. Allah itu Maha Adil. Kalau memang aku diberi kenaasan, tentunya Ia juga akan memberiku keuntungan. Aamiin..



Thursday, July 14, 2016

Membaca Bahasa Tubuh

Kemarin sepulangku di rumah, aku mendapati pesawat TV yang menyala tapi tak berpemirsa. Sontak aku langsung berniat memadamkannya, namun keinginan itu tertunda saat aku amati acara yang tengah ditayangkan. Sebuah acara talkshow, entah apa namanya karena aku tak biasa menyaksikan acara tayangan stasiun TV lokal, namun temanya masih seputar gosip di kalangan selebriti lokal. Bedanya dengan acara infotainment umumnya, penggosipan ini dibahas oleh dua hostesnya dan para tamu yang rata-rata juga selebriti.

Mengapa acara ini menyita perhatianku? Karena saat itu seorang tamu, yang rupanya diaku sebagai pakar pembaca bahasa tubuh dan mimik muka, sedang mengulas tentang apa yang tersirat dibalik tampilan sosok-sosok selebriti di video yang rupanya baru saja ditayangkan. Salah satunya adalah tentang seorang aktris wanita yang dikabarkan sedang menjalani proses perceraian. Segala gerak gerik tubuh dan roman mukanya ketika diwawancarai diulas oleh sang tamu ini. Dari kesan depresinya hingga kiat mencoba menutupi kenyataannya seolah terbaca semua oleh sang tamu.

Aku terkesima pada momen ini bukan karena aku kagum dengan sang tamu yang terlihat piawai sekali mengartikan bahasa tubuh dan mimik muka sang aktris, tapi justru karena tereran-heran. Koq bisa ya...ada orang yang mengaku-ngaku pakar dalam hal ini? Apa iya ia sehebat itu, sementara ia bukanlah seorang cenayang? Bicara di acara TV yang mungkin saja ditonton begitu banyak pemirsa, ia bicara dengan penuh keyakinan bahwa apa yang dipaparkannya memang itu adanya. Tidak khawatir salahkah ia dengan penilaiannya meskipun di akhir acara, para hostes acara menegaskan bahwa mereka tidak bermaksud sedikitpun men-judge atau menghakimi?

Oke...sebut saja mereka tidak menghakimi. Tapi dengan membahasnya seperti itu di acara yang ditonton masyarakat, yang notabene memang haus gosip, mereka tak lain bagaikan mencoba membentuk image yang sedemikian rupa pada sang aktris sehingga masyarakat lebih mudah menghakiminya. Bagaimana tidak? Toch yang memaparkan semua itu adalah tamu yang disitu diperkenalkan sebagai pakarnya. Lalu bagaimana jika ternyata pemaparan itu meleset dari kenyataan? Beuh...menyebalkan sekali!

Ini bukan yang kali pertama ada orang yang dianggap sebagai pakar pembaca bahasa tubuh. Beberapa tahun silam, mantan teman serumahku di negeri seberang juga pernah dikenal kalangan luas sebagai pakar di bidang yang sama setelah sebelumnya ia dianggap sebagai pakar anti terorisme. Kepadaku ia boleh saja yakin bahwa pendapatnya akurat karena didasari teori-teori yang dibuat sesuai survey. Namun hanya segelintir sosok yang ia amati yang (akhirnya) terkonfirmasi kebenaran paparannya. Sebagian kecil lainnya tak terbukti benar di akhir kasus-kasus yang dialami, dan sisanya tersimpan sebagai misteri karena ia tak pernah berkesempatan untuk mendapatkan pembenarannya langsung dari mereka yang perilakunya jadi bahan tebakannya.

Buatku, beragamnya cara orang berekspresi membuatku yakin kita tak seharusnya mudah menebak makna apa yang ada dibalik ekspresi mereka itu. Kita perlu sekali mengenal seseorang dengan baik sebelum kita bisa mengartikan bahasa tubuhnya. Belum lagi bila itu menyangkut sosok yang punya dan mampu memanfaatkan kepribadian gandanya. Buktinya, ada seorang kenalan dekatku yang sempat lolos Polygraph Test yang menggunakan mesin Lie Detector, yang dilakukan oleh FBI. Padahal tak sedikit ketidakbenaran dalam jawaban yang ia berikan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya. Tanpa perlu aku jelaskan caranya, ia bisa mengakali mesin yang dianggap canggih dalam mendeteksi kebohongan lewat detak jantung...apalagi manusia yang mencoba mendeteksi lewat bahasa tubuh.

Pembelokan fakta dengan maksud buruk ataupun baik itu bisa terbongkarnya karena ada bukti-bukti otentik yang menyatakan sebaliknya. Dan selama hal itu belum terjadi, harusnya kita tidak menghakimi orang hanya berbasis pengamatan bahasa tubuh. Apalagi jika judgement seperti itu digembar gemborkan lewat media. Kesannya sok tau sekali!
Kalau boleh aku tambahkan pepatah dalam bahasa Inggrisnya, "Don't judge a book by its cover...especially when it only makes you look so stupid!"