Tuesday, November 22, 2016

Melepaskan Keduniawian

Disadari atau tidak, rezeki itu selalu datang pada kita. Logikanya, tidak disadarinya karena jauh lebih kecil atau sedikit dibanding yang kita harapkan. Apalagi jika efeknya tidak signifikan dengan kondisi yang sedang kita alami. Misalnya kita lagi betul-betul butuh biaya besar untuk memenuhi hal-hal yang positif seperti untuk pengobatan, atau membayar tagihan bulanan yang sudah menunggak segian lama sehingga jika tidak dibayar tepat waktu bisa berdampak tragis, namun rezeki yang kita dapatkan (hanya) cukup untuk membeli sedikit lauk nan sangat sederhana untuk sekali makan. Bisa jadi sambil makan dengan lauk tersebut kita terus mempertanyakan mengapa rezeki tak kunjung datang. Padahal...kesempatan untuk terbangun di awal hari dan bernafas seharian saja merupakan suatu rezeki yang tidak semua orang mendapatkannya.

Sudah sejak tigaperempat tahun aku berusaha menjalani keseharianku dengan mengandalkan sebuah motor yang telah kumiliki selama lebih dari enam tahun, dan sebuah lagi motor pinjaman dari kakakku. Pinjaman ini aku dapatkan setelah motorku yang sebuah lagi ditarik oleh pihak leasing company karena tunggakan cicilan yang akhirnya tak mungkin aku bayar pada waktunya. Apesnya, sekitar tiga bulan yang lalu motorku akhirnya menampakkan gejala-gejala permasalahan yang tak mungkin diabaikan, sehingga harus aku biarkan terparkir setiap hari di dalam garasi hanya karena aku tak ingin dapat masalah yang lebih serius di tengah jalan ketika aku nekat mengendarainya. Karena itulah sebulan yang lalu, aku harus rela menjualnya dengan harga yang murah ke seorang teman yang siap menguras koceknya untuk memperbaikinya.
Jadi sejak itu, hanya motor kakakku lah yang dapat aku andalkan untuk menopang segala aktifitasku sekeluarga.

Hari Kamis kemarin, kakakku tiba-tiba memintaku mengembalikan motornya mengingat saat inipun ia jadi membutuhkannya setelah kondisi finansialnya juga tak kunjung membaik.
Awalnya terasa berat sekali buatku untuk memenuhi permintaannya meskipun itu sepenuhnya adalah haknya. Betapa tidak? Otomatis tak akan ada lagi alat transportasi yang dapat kuandalkan untuk melakukan aktifitas. Namun biar bagaimanapun pentingnya arti motor kakakku bagi keseharianku, aku tak berhak menahannya jika memang telah diminta kembali. Dan keikhlasanku melepaskannya membuat perjalanan panjangku kemarin ke rumah kakakku terasa ringan saja. Yang aku rasakan selama perjalanan hanyalah kelegaan atas keberhasilanku merawat motor itu dengan sebaik mungkin sehingga dapat kukembalikan dalam keadaan yang baik tanpa kekurangan apapun.

Kakakku juga telah menegaskan tentang seringnya ada kesalahan persepsi pada manusia yang mengharapkan "bayaran" dalam hidupnya di dunia atas segala amal ibadahnya, sementara harusnya semua perbuatan baiknya itu dilakukan demi imbalannya di akhirat nanti. Tapi, memang benar seperti kata seorang teman baikku lewat whatsapp semalam sesampainya aku kembali di rumah, bahwa sebagai manusia kita tidak mudah mengesampingkan faktor-faktor keduniawian. Keamanan dan kenyamanan hidupnya di dunia menjadi prioritas sehingga kita selalu merasa kurang. Kurang untuk memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri lah, keluarga lah atau bahkan niat baik untuk masyarakat banyak. Manusiawi sekali, bukan? Tpi disitulah keimanan dan kesabaran kita diuji.

Mungkin saja hari-hari di depanku akan terasa lebih berat dengan tidak adanya kendaraan yang dapat aku gunakan, namun aku yakin Allah sudah mengatur semuanya sehingga apapun yang terjadi bisa aku hadapi dengan kemudahan.In shaa Allah...