Saat masih melanjutkan studi di negeri seberang, saya sempat tinggal serumah dengan 3 orang Indonesia lainnya yang semua pria. Salah satunya, Bambang, memang gemar memasak, sedangkan seorang lagi, Wahyu jadi tertarik pada urusan masak memasak setelah ia menyukai hampir semua hasil masakan Bambang. Wahyupun kemudian sering nongkrong di dapur sambil belajar masak dari Bambang. Lucunya, Wahyu ini senang sekali bereksperimen dalam memasak sehingga masakan yang dibuatnya seringkali terasa berbeda dari biasanya. Sesekali saat mulai makan, kami mempertanyakan rasa yang aneh dan Bambangpun menanyakan Wahyu apa saja yang telah digunakannya selama memasak. Selidik punya selidik Wahyu sempat mencampurkan sebuah bahan yang ia sendiri tidak mengerti kegunaannya, yang ternyata adalah bahan untuk membuat kue.
Rumah tempat kami menetap itu berada di ujung jalan di sebuat bukit dan suasananya sangat nyaman untuk setiap saat dijadikan tempat nongkrong beberapa teman dari Indonesia lainnya. Maka tidak jarang jika masakan yg disiapkan Bambang melebihi jatah untuk 4 orang namun cukup hingga untuk 8-10 orang sehingga sering juga ada lauk yang tersisa jika kebetulan kami tidak kedatangan tamu sebanyak itu.
Suatu ketika, teman kami seorang wanita, yang saat itu menetap di kota lain, datang berkunjung bersama adik perempuan dan ibunya untuk diperkenalkan kepada kami, karena adiknya ini baru saja datang dari Indonesia dan bermaksud melanjutkan studinya di kota kami. Rupanya, sang ibunda memang ingin sekali mengenal kami yang rencananya akan diserahi tugas untuk ikut menjaga anak perempuannya ini kelak.
Kedatangan mereka ini bukanlah sesuatu yang mendadak karena kami memang telah diberitau jauh-jauh hari sebelumnya sehingga kami semua dapat memastikan diri agar dapat hadir dalam formasi yang komplit.
Yang mengejutkan, begitu sang ibu menginjakkan kakinya di rumah kami, ia tidak kemudian duduk dan mengobrol dengan kami seperti yg kami harapkan, namun ia justru langsung keliling rumah. Kamar-kamar tidur yang telah kami tutup rapatpun dibukanya dan sidak ini meliputi hingga kamar mandi pribadi yang ada dalam kamar tidur kami. Sepertinya ia ingin menilai dengan seksama seperti apa kami ini dalam pengaturan hidup bersama di bawah satu atap yang jauh di rantau. Dan selama sidak berlangsung, ia hanya ditemani anak-anaknya, sementara kami sendiri hanya bisa terpaku di ruang tamu sambil menanti sidak berakhir.
Sekembalinya dari sidak, sang ibu menghampiri kami seraya bertanya, "Siapa yang suka masak?".
Kami menunjuk Bambang tanpa bermaksud melemparkan kesalahan padanya karena kami tidak tau apa yang mendasari pertanyaan itu.
"Wah, jago masak ya Bambang? Itu serundengnya enak sekali. Mungkin serundeng paling enak yang tante pernah makan."
"Ah, tante bisa aja. Terima kasih lho tante. Biasa aja koq tante, saya khan sambil belajar juga."
Kemudian kami semua duduk di ruang tamu sambil beramah tamah dengan tamu kami.
Ketika mereka berpamitan, si ibu berpesan kepada kami, "Tolong jagaain Ayu ya, biar nggak main melulu dan sekolahnya cepet selesai. Bikinin masakan yang enak-enak juga tuh biar dia gemukan."
Begitu mereka pergi, Bambang langsung bertanya pada Wahyu,
"Loe masak serundeng yu?"
"Nggak...mana gue bisa masak serundeng? Gue pikir malah loe yang masak."
"Kapan gue masaknya? Emang kalian ada yang makan serundeng kemaren-kemaren?"
Lalu kami semua bergegas ke dapur untuk mencari tau apa yang dimakan si ibu tadi. Di dapur hanya satu lauk yang kami temukan dan bukalah serundeng. Rupanya si ibu tadi mencicipi sisa bihun goreng di wajan yang tidak tertutup sejak kemarin sehingga wujudnya telah mengering dan menyusut menyerupai serundeng. Soal rasa, memang beda, karena ternyata Wahyu juga telah melakukan eksperimen lagi saat membantu Bambang memasak bihun tersebut....hanya saja ia lupa apa yang telah dicampurkannya. Jadi serundeng dengan rasa yang diakui paling enak oleh si ibu tadi, sepertinya tidak akan pernah mungkin dibuat lagi.
Rumah tempat kami menetap itu berada di ujung jalan di sebuat bukit dan suasananya sangat nyaman untuk setiap saat dijadikan tempat nongkrong beberapa teman dari Indonesia lainnya. Maka tidak jarang jika masakan yg disiapkan Bambang melebihi jatah untuk 4 orang namun cukup hingga untuk 8-10 orang sehingga sering juga ada lauk yang tersisa jika kebetulan kami tidak kedatangan tamu sebanyak itu.
Suatu ketika, teman kami seorang wanita, yang saat itu menetap di kota lain, datang berkunjung bersama adik perempuan dan ibunya untuk diperkenalkan kepada kami, karena adiknya ini baru saja datang dari Indonesia dan bermaksud melanjutkan studinya di kota kami. Rupanya, sang ibunda memang ingin sekali mengenal kami yang rencananya akan diserahi tugas untuk ikut menjaga anak perempuannya ini kelak.
Kedatangan mereka ini bukanlah sesuatu yang mendadak karena kami memang telah diberitau jauh-jauh hari sebelumnya sehingga kami semua dapat memastikan diri agar dapat hadir dalam formasi yang komplit.
Yang mengejutkan, begitu sang ibu menginjakkan kakinya di rumah kami, ia tidak kemudian duduk dan mengobrol dengan kami seperti yg kami harapkan, namun ia justru langsung keliling rumah. Kamar-kamar tidur yang telah kami tutup rapatpun dibukanya dan sidak ini meliputi hingga kamar mandi pribadi yang ada dalam kamar tidur kami. Sepertinya ia ingin menilai dengan seksama seperti apa kami ini dalam pengaturan hidup bersama di bawah satu atap yang jauh di rantau. Dan selama sidak berlangsung, ia hanya ditemani anak-anaknya, sementara kami sendiri hanya bisa terpaku di ruang tamu sambil menanti sidak berakhir.
Sekembalinya dari sidak, sang ibu menghampiri kami seraya bertanya, "Siapa yang suka masak?".
Kami menunjuk Bambang tanpa bermaksud melemparkan kesalahan padanya karena kami tidak tau apa yang mendasari pertanyaan itu.
"Wah, jago masak ya Bambang? Itu serundengnya enak sekali. Mungkin serundeng paling enak yang tante pernah makan."
"Ah, tante bisa aja. Terima kasih lho tante. Biasa aja koq tante, saya khan sambil belajar juga."
Kemudian kami semua duduk di ruang tamu sambil beramah tamah dengan tamu kami.
Ketika mereka berpamitan, si ibu berpesan kepada kami, "Tolong jagaain Ayu ya, biar nggak main melulu dan sekolahnya cepet selesai. Bikinin masakan yang enak-enak juga tuh biar dia gemukan."
Begitu mereka pergi, Bambang langsung bertanya pada Wahyu,
"Loe masak serundeng yu?"
"Nggak...mana gue bisa masak serundeng? Gue pikir malah loe yang masak."
"Kapan gue masaknya? Emang kalian ada yang makan serundeng kemaren-kemaren?"
Lalu kami semua bergegas ke dapur untuk mencari tau apa yang dimakan si ibu tadi. Di dapur hanya satu lauk yang kami temukan dan bukalah serundeng. Rupanya si ibu tadi mencicipi sisa bihun goreng di wajan yang tidak tertutup sejak kemarin sehingga wujudnya telah mengering dan menyusut menyerupai serundeng. Soal rasa, memang beda, karena ternyata Wahyu juga telah melakukan eksperimen lagi saat membantu Bambang memasak bihun tersebut....hanya saja ia lupa apa yang telah dicampurkannya. Jadi serundeng dengan rasa yang diakui paling enak oleh si ibu tadi, sepertinya tidak akan pernah mungkin dibuat lagi.