Sudah berulang kali aku menganggap, setelah menyaksikan apa yang terjadi padaku, seharusnya orang lain mulai berpikir jika aku bukanlah seperti yang mereka kenal selama ini. Bahwa sudah saatnya mereka merubah persepsi mereka tentang seperti apa sebenarnya aku ini. Bahwa mereka harusnya sadar aku ini mungkin saja punya sifat dan cara berpikir yang sangat bertolak belakang dengan yang mereka tau sejauh ini. Aku berulang mencoba mencari pembenaran atas setiap tindakanku sebagai suatu hal yang mewakili diriku yang sebenarnya. Dan jika ada yang menganggap bahwa apa yang aku lakukan itu justru menandakan perubahan dalam diriku, maka kalaupun aku harus terpaksa mengakui adanya perubahan itu tentunya aku anggap itu adalah perubahan yang pantas terjadi karena mengarah ke kebaikan dan kesempurnaan.
Namun tidak jarang pula aku dikucilkan oleh suasana hati dan pikiranku yang membuatku bertanya-tanya sendiri, apakah aku masih bisa menjalani hidupku yang seolah kian tak menentu? Apakah aku sanggup menerima tantangan hidup yang tak bertambah ringan tapi justru sebaliknya? Mampukah aku menerjang segala rintangan yang menghalangi langkahku dan tantangan yang mencoba menghentikan irama hidupku? Masih bisakah aku berjalan tegap dan menuai senyum kemenangan di ujung perjuanganku ini? Cukup terlatihkah akau sehingga cukup kuat untuk menerima semua konsekuensi yang terpapar di depanku?
Setelah menjalani tiga tahun hidupku belakangan ini, aku menyaksikan sendiri bagaimana aku bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok yang aku sendiri tak pernah jumpai sebelumnya. Aku bisa menjadi sosok yang seratus lima puluh satu derajat berbeda dari sebelumnya dan menyisakan hanya dua puluh sembilan derajat sebagai kewarasan untuk tidak mengakhiri hidupku. Aku dengan mudahnya kehilangan "coolness" yang dahulu sering dianggap orang lain sangat signifikan denganku. Senyum yang kata ibuku menjadi satu ciri khas-ku juga tidak lagi mudah terlihat. Bahkan musik yang dulu begitu akrabnya denganku kini mengalami kesulitan dalam menetralisir mood-ku yang secara acak seringkali bisa tersaji dalam kesedihan, ketololan, kebencian, kemarahan, dengki, iri, cemburu, putus asa dan lain sebagainya, baik secara individu maupun kompilasi.
Di suatu saat aku bisa saja memaksa orang lain untuk mengerti aku apa adanya sekarang. Namun di lain waktu aku begitu menyadari bahwa aku sendiri sering belum bisa mengerti dan menerima apa yang terjadi padaku. Aku lebih sering menganggap bahwa aku bukan sosok yang berbeda. Aku tetap seseorang dengan pembawaan yang mungkin tidak terlalu tertarik pada banyak hal namun kritikal pada hal yang menjadi perhatianku. Aku bukan orang yang pandai bahkan suka bersosialisasi namun ketenanganku tidak pernah menyesatkan aku di saat aku memilih untuk menyendiri. Senyum dan gurauanku mengakrabkan kehadiranku yang langka dan mungkin hanya sesaat. Dan ketika aku menyadari hilangnya sifat-sifatku yang dulu itu, aku lalu menganggapnya sebagai hal yang sifatnya sementara.
Tapi apakah memang hanya untuk sementara waktu?
Mungkin....mungkin sekali. Satu hal yang aku percaya adalah bahwa penempaan yang telah aku alami puluhan tahun lamanya itu begitu kerasnya sehingga apa yang sempat dianggap sebagai karakterku sudah sangat melekat dalam diri dan tidak mudah sirna begitu saja karena satu atau dua kondisi seperti susu yang terteteskan nila atau panas setahun yang terbasuh hujan sehari. Tapi mungkin juga, segala sifat yang belakangan ini baru terlihat sebenarnya sudah lama ada, hanya saja terkubur dalam-dalam dan akhirnya menampakkan diri setelah aku ditempatkan di posisi yang jauh lebih sulit dari sebelumnya. Artinya, sifat-sifat itu bisa hadir untuk kemudian menetap selamanya atau suatu hari kembali terkubur bersama perubahan situasi yang aku hadapi. Dan hilangnya sifat itu pun bisa berarti aku menjadi kembali seperti dulu atau justru kehilangan akal sehatku.
Aku makin menyadari bagaimana kondisi di sekitarku punya peranan penting dalam memainkan emosiku. Terlebih setelah aku memutuskan untuk mempersempit ruang gerakku bulan ini, yang berarti lebih menggentingkan kondisi itu. Belum lagi hantaman-hantaman yang tiba-tiba datang tak terduga sehingga dapat dengan mudah menumbangkanku dan apa yang aku coba tegakkan. Pada saat seperti inilah aku benar-benar merasa perlu belajar lebih jauh tentang diriku sendiri. Mungkin sekali aku memang belum mengenali diriku yang sebenarnya. Aku mungkin hanya percaya pada apa yang aku ingin percaya tanpa mencoba menerima fakta bahwa aku punya lebih dari yang aku ingin tau...baik itu lebih bagus atau lebih jelek.
Bulan ini bulan pelatihan. Segala yang terjadi adalah bagian dari penempaan diri untuk menghadapi hal yang lebih berat. Sedahsyat dan seberat apapun yang terjadi di bulan ini bisa dianggap hanyalah simulasi dari apa yang akan terjadi nantinya. Aku pikir sudah menjadi keputusan yang tepat jika aku membiarkan diriku diombang-ambingkan gelombang ujian di bulan ini, sehingga nantinya apa yang tersisa dalam diriku adalah hal-hal yang memang layak dipertahankan. Aku perlu berkaca diri dan mengenali lebih baik siapa sebenarnya aku ini agar nantinya aku bisa memulai semuanya dari nol lagi, baik seperti bayi yang baru pertama kali dilahirkan atau seperti bayi yang terlahir sebagai buntut dari sebuah reinkarnasi..
Namun tidak jarang pula aku dikucilkan oleh suasana hati dan pikiranku yang membuatku bertanya-tanya sendiri, apakah aku masih bisa menjalani hidupku yang seolah kian tak menentu? Apakah aku sanggup menerima tantangan hidup yang tak bertambah ringan tapi justru sebaliknya? Mampukah aku menerjang segala rintangan yang menghalangi langkahku dan tantangan yang mencoba menghentikan irama hidupku? Masih bisakah aku berjalan tegap dan menuai senyum kemenangan di ujung perjuanganku ini? Cukup terlatihkah akau sehingga cukup kuat untuk menerima semua konsekuensi yang terpapar di depanku?
Setelah menjalani tiga tahun hidupku belakangan ini, aku menyaksikan sendiri bagaimana aku bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok yang aku sendiri tak pernah jumpai sebelumnya. Aku bisa menjadi sosok yang seratus lima puluh satu derajat berbeda dari sebelumnya dan menyisakan hanya dua puluh sembilan derajat sebagai kewarasan untuk tidak mengakhiri hidupku. Aku dengan mudahnya kehilangan "coolness" yang dahulu sering dianggap orang lain sangat signifikan denganku. Senyum yang kata ibuku menjadi satu ciri khas-ku juga tidak lagi mudah terlihat. Bahkan musik yang dulu begitu akrabnya denganku kini mengalami kesulitan dalam menetralisir mood-ku yang secara acak seringkali bisa tersaji dalam kesedihan, ketololan, kebencian, kemarahan, dengki, iri, cemburu, putus asa dan lain sebagainya, baik secara individu maupun kompilasi.
Di suatu saat aku bisa saja memaksa orang lain untuk mengerti aku apa adanya sekarang. Namun di lain waktu aku begitu menyadari bahwa aku sendiri sering belum bisa mengerti dan menerima apa yang terjadi padaku. Aku lebih sering menganggap bahwa aku bukan sosok yang berbeda. Aku tetap seseorang dengan pembawaan yang mungkin tidak terlalu tertarik pada banyak hal namun kritikal pada hal yang menjadi perhatianku. Aku bukan orang yang pandai bahkan suka bersosialisasi namun ketenanganku tidak pernah menyesatkan aku di saat aku memilih untuk menyendiri. Senyum dan gurauanku mengakrabkan kehadiranku yang langka dan mungkin hanya sesaat. Dan ketika aku menyadari hilangnya sifat-sifatku yang dulu itu, aku lalu menganggapnya sebagai hal yang sifatnya sementara.
Tapi apakah memang hanya untuk sementara waktu?
Mungkin....mungkin sekali. Satu hal yang aku percaya adalah bahwa penempaan yang telah aku alami puluhan tahun lamanya itu begitu kerasnya sehingga apa yang sempat dianggap sebagai karakterku sudah sangat melekat dalam diri dan tidak mudah sirna begitu saja karena satu atau dua kondisi seperti susu yang terteteskan nila atau panas setahun yang terbasuh hujan sehari. Tapi mungkin juga, segala sifat yang belakangan ini baru terlihat sebenarnya sudah lama ada, hanya saja terkubur dalam-dalam dan akhirnya menampakkan diri setelah aku ditempatkan di posisi yang jauh lebih sulit dari sebelumnya. Artinya, sifat-sifat itu bisa hadir untuk kemudian menetap selamanya atau suatu hari kembali terkubur bersama perubahan situasi yang aku hadapi. Dan hilangnya sifat itu pun bisa berarti aku menjadi kembali seperti dulu atau justru kehilangan akal sehatku.
Aku makin menyadari bagaimana kondisi di sekitarku punya peranan penting dalam memainkan emosiku. Terlebih setelah aku memutuskan untuk mempersempit ruang gerakku bulan ini, yang berarti lebih menggentingkan kondisi itu. Belum lagi hantaman-hantaman yang tiba-tiba datang tak terduga sehingga dapat dengan mudah menumbangkanku dan apa yang aku coba tegakkan. Pada saat seperti inilah aku benar-benar merasa perlu belajar lebih jauh tentang diriku sendiri. Mungkin sekali aku memang belum mengenali diriku yang sebenarnya. Aku mungkin hanya percaya pada apa yang aku ingin percaya tanpa mencoba menerima fakta bahwa aku punya lebih dari yang aku ingin tau...baik itu lebih bagus atau lebih jelek.
Bulan ini bulan pelatihan. Segala yang terjadi adalah bagian dari penempaan diri untuk menghadapi hal yang lebih berat. Sedahsyat dan seberat apapun yang terjadi di bulan ini bisa dianggap hanyalah simulasi dari apa yang akan terjadi nantinya. Aku pikir sudah menjadi keputusan yang tepat jika aku membiarkan diriku diombang-ambingkan gelombang ujian di bulan ini, sehingga nantinya apa yang tersisa dalam diriku adalah hal-hal yang memang layak dipertahankan. Aku perlu berkaca diri dan mengenali lebih baik siapa sebenarnya aku ini agar nantinya aku bisa memulai semuanya dari nol lagi, baik seperti bayi yang baru pertama kali dilahirkan atau seperti bayi yang terlahir sebagai buntut dari sebuah reinkarnasi..