Aku bukan tipe orang yang suka membaca. Ada beberapa faktor yang harus terpenuhi hingga aku mau membaca sesuatu terlebih bacaan yang panjang. Misalnya saja bacaan yang aku anggap sangat menarik, genre bacaannya, quantitas materinya dan mood ku sendiri. Seringkali aku berminat membaca karena memang aku sedang mencari sesuatu yang aku harapkan bisa didapat dari bacaan itu.
Berkenaan dengan hal menimba ilmupun begitu. Aku lebih suka mendengarkan pengajaran lisan dari seseorang, atau yang kini lebih mudah didapatkan adalah dengan menonton video tutorial di dunia maya. Aku merasa lebih mudah dan cepat mengerti materi yang aku dengarkan daripada yang aku baca. Mungkin karena itulah dahulu aku lebih suka mendengarkan guru atau doseku mengajar ketimbang membaca buku pelajaran yang digunakan sebagai text book. Hingga saat inipun aku lebih suka menonton berita di televisi atau mendengarkannya di radio dari pada membacanya di surat kabar.
Sudah sekitar 5 tahun belakangan ini aku cukup terlibat dalam beberapa media sosial di internet dan aku merasa sedikit lebih terangkat minat bacaku karena banyak tulisan yang aku temui terbilang ringan dan lebih mudah dipahami mengingat penulisnya bukanlah kaum jurnalis yang umumnya menggunakan kata-kata rumit yang kemudian terangkum dalam kalimat bahkan paragraf yang "njelimet". Seperti halnya aku sendiri, para penulis di media sosial ini cenderung menggunakan bahasa keseharian yang ringan (mungkin) dengan harapan agar makna tulisannya mudah ditangkap pembaca.
Namun setelah lebih kurang dua tahun belakangan ini, aku menyadari bahwa ada satu faktor lagi yang dapat mengurangi minat bacaku. Tak hanya itu, faktor itu justru dapat membuatku mengurungkan niatku dalam menyelesaikan bacaan yang sudah aku mulai. Di saat penulis bermaksud menguatkan materi penulisannya dengan mengikut sertakan unsur-unsur religi di dalamnya, aku justru menganggap bacaan itu tiba-tiba menjadi berat. Terlebih bila unsur religi itu lalu ditekankan sebagai sesuatu yang harus dipatuhi.
Aku memang tidak hobby membaca. Mungkin menulispun aku lakukan karena aku ingin menuangkan apa yang ada dalam benakku ke dalam tulisan. Di beberapa media sosial pembaca memang diperkenankan (baca: diharapkan) untuk memberikan komentar. Dan ada saatnya aku sangat terdorong untuk memberi komentar, baik itu pujian atau sekedar penguatan dari apa yang aku baca. Yang jelas, aku menghindari komentar yang bersifat penentangan atas tulisan yang bersangkutan atau apapun yang cenderung mengarah ke perdebatan. Aku tidak akan mengkomentari bacaan yang menurutku bertentangan dengan pendapatku...sesederhana itulah. Tentunya, jika memang ada komentator lain yang keberatan dengan komentarku, lalu memberikan berkomentar atasnya, tidak akan aku tanggapi karena itu hak mereka untuk berpendapat.
Nah, jika aku sampai memberikan komentar tentunya aku juga berminat membaca komentar dari pembaca lainnya. Kalau hanya sekedar perbedaan pendapat antar pembaca yang dituangkan dalam komentar, aku masih terus memantau perkembangannya, meskipun mungkin aku tidak lagi terlibat di dalmnya. Namun, hal itu, sekali lagi, bisa pupus jika kemudian ada komentar yang dibumbui unsur-unsur religi. Otomatis aku akan berhenti membaca komentar-komentar yang menyusulnya.
Banyak sudah pembelajaran yang aku dapatkan dalam usahaku bersosialisasi di dunia maya. Aku sudah melihat sendiri bagaimana orang mencoba "unjuk gigi" dengan ilmu agamanya atau ilmu lainnya yang diposisikan di tempat atau/dan waktu yang kurang tepat. Yang sering terjadi adalah perdebatan atau lebih cocok dikatakan sebagai adu ilmu. Perdebatan atau pembahasan suatu bacaan atau komentar cenderung menjadi panjang, yang akhirnya (biasanya) tidak berakhir dengan konklusi yang bijaksana. Dan yang kemudian aku temui adalah begitu banyaknya orang yang lebih bersikap munafik tanpa mereka sadari.
Yang berilmu menjadi arogan. Yang setengah berilmu menjadi sok tau. Sementara yang tidak berilmu menjadi galak. Di ujung-ujungnya semuanya menjadi jahat dan terlihat bodoh.
Entah mengapa begitu sulitnya bagi mereka untuk menjadi bijaksana. Entah apa yang menghalangi mereka untuk menyimak sambil berdiam diri. Bisa jadi itu merupakan panggilan nurani untuk memperlihatkan pada yang lain bahwa mereka atau komentarnya layak dihargai. Atau mereka butuh sejumlah orang untuk mendukung prinsipnya agar dirinya bisa merasa (lebih) hebat? Mungkin saja. Yang jelas, selama konsep ini masih mereka terapkan, selama itu pulalah tidak akan ada pembelajaran. Dan selama istilah diam itu emas belum bisa sukses diterapkan, negeri ini akan terus begini.
Oh...whatever!