Monday, April 8, 2013

Dialog Bapak dan Anak

Bapak:
Ada dua hal penting yang perlu kau ingat dalam menjalani hidupmu. Pertama, lakukan apa yang kau anggap baik untuk hidupmu selama itu tidak mencelakai orang lain. Meskipun orang lain menganggap sebaliknya. Jangan pernah mendahulukan pendapat orang lain ketika kau benar-benar yakin atas apa yang kau yakini.
Kedua, Jangan mencoba mengharapkan orang lain melakukan apa yang kau kehendaki bila mereka merasa tidak nyaman untuk melakukannya, meskipun kau yakin hal itu adalah sesuatu yang baik bagi mereka. Biarkan mereka menentukan sendiri pilihannya seperti halnya kau bebas menentukan pilihanmu.

Anak:
Tp bagaimana jika ternyata pilihanku salah sedangkan aku sebelumnya telah diberi kesempatan memilih yang benar?

Bapak:
Ya akibatnya hanya kau yang menanggungnya. Seperti juga akibat salah pilih dari mereka yang telah kau sodorkan pilihan yang benar menurutmu tapi tidak memilihnya.

Anak:
Lalu aku hanya bisa menyesal?

Bapak:
Jangan menyesal karena kau telah menjatuhkan pilihan pada apa yang kau anggap baik untukmu meskipun ternyata kau salah. Kau boleh menganggap itu suatu pelajaran berharga untukmu sehingga di lain waktu kau dapat memilih yang lebih benar. Disitulah kau harusnya belajar tentang dirimu dan hidupmu sendiri. Dengan cara itulah kau dapat mengenali dirimu lebih dalam dan tau apa yang lebih baik untukmu.

Anak:
Lalu, jika aku tau ada orang yang akan mengambil keputusan yang tidak baik untuknya namun aku hanya berdiam diri, bukankah itu suatu hal yang bisa dikatakan membiarkan orang terjerumus ke dalam lubang? Mungkin saja orang itu tidak tau keberadaan lubang itu dan butuh orang lain untuk memberitaunya. Bukankah kita wajib untuk menolong sesama?

Bapak:
Kau boleh mengingatkannya dan itu menjadi kewajibanmu terutama jika kau peduli dengannya. Namun hanya itu yang butuh kau lakukan. Selebihnya, semua menjadi keputusannya.

Anak:
Jika suatu ketika, aku melihat orang tidak beribadah seperti yang seharusnya ia lakukan. Lalu aku ingatkan dia untuk beribadah tapi pengingatan itu tidak ia indahkan, apakah aku tidak seharusnya terus mengingatkannya?

Bapak:
Bukan tugasmu untuk mengembalikannya ke jalan yang benar. Ketika kau mengingatkannya, kau telah melaksanakan tugasmu. Apa yang kemudian ia lakukan dengan segala akibatnya menjadi tanggung jawabnya.
Ketika kau tau seseorang telah melanggar hukum negara, selama kau bukanlah abdi negara yang berwenang, kau tidak pula berwenang untuk menghakimi dan menghukumnya. Boleh saja kau laporkan tindakan itu dan biarkan pihak yang berwenang yang berhak menentukan apa yang perlu dilakukan atasnya. Begitu pula dengan orang yang melanggar hukum agama. Dan hanya kepada Tuhanlah kau boleh melapor

Anak:
Lalu siapa yang boleh menghakimi mereka yang menyalahi hukum agama?

Bapak:
Tidak satupun manusia yang punya hak menghakimi dan menghukum tindak kriminal dalam beragama, karena tidak seorang pun mendapat hak seperti itu dari Tuhan. Segala bentuk tindakan dalam beragama urusannya langsung dengan Tuhan. Manusia terlalu kerdil untuk memegang hak untuk menghukum manusia lainnya yang melanggar hukum agama.

Anak:
Jadi jika aku dianggap menyalahi agama sedangkan aku sendiri yakin aku benar, aku tidak layak dihukum oleh manusia?

Bapak:
Setiap insan manusia punya hak untuk berpendapat. Seperti halnya kau punya hak berpendapat melakukan hal yang benar dalam beragama, orang lain juga punya hak berpendapat bahwa apa yang kau lakukan tidak benar. Tapi seberapa besar ketidak benaran tindakanmu bagi mereka, mereka tidak berhak menghukummu. Pada saat Tuhan menghakimimu, tidak satupun orang yang berhak menuntutmu dan hanya kaulah yang berhak bertanggung jawab dan membela dirimu sendiri.

Anak:
Kalau sampai aku dihukum oleh manusia dalam hal beragama, bagaimana?

Bapak:
Maka akibat dari tindakan mereka itu harus mereka tanggung sendiri di hadapan Tuhan nantinya. Sedangkan jika saat itu kau merasa dirugikan sementara kau tidak melakukan hal yang salah di mata Tuhan, niscaya Tuhan akan mengganti kerugianmu kelak. Kesengsaraan yang kau dapati atas ulah manusia pada dirimu tidaklah seberapa dibanding kemuliaan yang kelak akan kau dapatkan dariNya.

Anak:
Jadi, apakah artinya kita hidup di dunia ini hanya untuk mengurus diri sendiri? Bukankah itu egois?

Bapak:
Hidup di tengah masyarakat sewajarnya mengajarkanmu untuk peduli terhadap sesama. Namun, tidak satupun mahluk ciptaan Tuhan yang sebenarnya punya cukup waktu untuk mengurus hidup orang lain lebih banyak dari waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Apalah manfaatnya mencoba membuat hidup orang lain menjadi lebih baik jika hidupmu sendiri belum baik?

Anak:
Misalnya aku melihat orang melakukan ibadah dengan cara yang salah, apakah aku tidak perlu mencoba memperbaikinya?

Bapak:
Bagaimana kau bisa memperbaiki apa yang kau anggap salah namun belum tentu salah? Keyakinanmu atas kebenaran yang kau miliki tidak dapat dibuktikan siapapun. Begitu pula jika orang lain mencoba untuk memperbaiki apa yang kau anggap sudah baik atau membetulkan apa yang kau anggap sudah benar. Semua yang benar dan salah dalam agama akan kau ketahui nanti di hadapan Tuhan.

Anak:
Bagaimana jika aku menganggap orang lain salah karena aku merasa didukung oleh ajaran agama yang aku peroleh dari kitab suci?

Bapak:
Kau dan setiap orang lainnya berhak mengartikan dengan caranya sendiri apa yang tertulis dalam kitab suci. Apa yang kau simpulkan belum tentu sama dengan kesimpulan orang lain. Makna yang kau dapatkan selayaknya kau jadikan pedoman hidupmu, bukan hidup orang lain. Tidaklah bermanfaat bila kau mencoba menjadikannya bahan perdebatan dengan maksud memaksakan orang lain melakukan apa yang kau lakukan.

Anak:
Jadi aku lebih baik diam?

Bapak:
Apapun ilmu yang kau miliki, pastikan bermanfaat untuk kebaikan hidupmu sendiri, dan biarkan ilmu yang orang lain miliki bermanfaat untuk kebaikan hidupnya. Jika itu berarti kau harus berdiam, maka berdiamlah kau dalam kebahagiaan hidupmu.





Wednesday, April 3, 2013

Masa Depan Anak

Awalnya, tekadku untuk banting tulang, melacur dalam hal bekerja disana sini, utamanya adalah untuk membiayai pendidikan sekolah anak. Aku sudah beberapa kali merasakan bagaimana dana simpanan yang terkumpul dengan cepat bisa tersedot hingga tipis saat anak-anakku memulai sekolahnya. Uang sekolah yang dikenakan mungkin tidaklah seberapa, namun uang pendaftaran sebagai murid baru bukan hal yang murah. Apalagi ada begitu banyak buku yang harus dibeli setiap tahun ajaran baru. Ada juga pungutan untuk ini dan itu yang tidak sedikit selama tahun ajaran berjalan. Dari pengadaan perangkat komputer, yang hingga kini masih saja terbilang sedikit, sampai sumbangan pembangunan musholla yang nilainya ditentukan oleh pihak sekolah.

Di saat pihak pemerintah berupaya untuk "memperbaiki" kurikulum pendidikan dengan salah satu cara ramai-ramai melakukan kunjungan resmi ke beberapa negara untuk "studi banding" menggunakan uang kas negara, masih banyak terlihat pemandangan yang mengenaskan akan nasib anak-anak di berbagai daerah terpencil di negeri ini dalam menjalani prosesi belajar di sekolahnya. Bagaimana sulit dan jauhnya perjalanan yang harus mereka tempuh ke dan dari sekolah, rapuhnya gedung-gedung sekolah mereka, ruang kelas yang harus dibagi karena keterbatasan yang ada, guru yang harus mengajar lebih dari satu kelas di waktu yang sama atau bangku dan meja yang jumlahnya tidak sebanyak muridnya.

Sementara itu, ketika masih banyak anak tidak mampu yang belum dapat kesempatan untuk mengecap pendidikan di sekolah, sejumlah pelajar justru lebih suka membolos dan menghabiskan waktu sekolahnya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat di tempat-tempat lain di luar rumah. Mereka lebih memilih ikut tawuran ketimbang menghindarinya. Beberapa kasus sex bebas, pelecehan oleh guru terhadap muridnya dan penggunaan narkoba pun masih sering terjadi, seolah akhlak kini sudah menjadi hal yang langka di lingkungan sekolah.

Pendidikan sekolah itu tidak murah. Kita bisa saja rela bekerja keras membanting tulang mencari nafkah demi pendidikan sekolah anak, tapi biaya yang kita keluarkan belum tentu setaraf dengan apa yang mereka dapatkan di sekolah. Apakah yang mereka pelajari di sekolah akan berguna bagi masa depan mereka? Apakah mereka masih perlu sekolah tinggi-tinggi di saat peluang kerja mereka nanti kian menipis? Akan mubazirlah semua dana, usaha dan waktu yang telah dikeluarkan selama ini jika nantinya yg mereka temukan hanyalah pengangguran atau pekerjaan yang tidak sepadan dengan ilmu yang mereka kuasai.

Aku percaya bahwa lebih banyak ilmu yang bisa didapatkan dari pendidikan non-formal. Artinya, kita seharusnya bisa mendapatkan banyak ilmu yang lebih bermanfaat di luar sekolah. Seorang teman pernah berkata bahwa anak-anaknya hanya perlu disekolahkan untuk belajar membaca, menulis dan menghitung. Dalam hal ini, menghitung tidak termasuk penggunaan ilmu matematika tingkat tinggi. Hanya cukup untuk tidak dikelabui orang ketika mereka sudah bekerja nantinya. Sisanya, bisa mereka dapatkan dari kehidupan di luar sekolah. Aku setuju dengan pendapat ini, mengingat di negeri ini urusan pekerjaan tidak lagi menuntut orang untuk berilmu tinggi.

Aku kemudian bertanya pada diri sendiri, masih perlukah aku habiskan dana yang hingga kini terus menerus aku dapatkan dengan susah payah untuk membiayai sekolah anak-anakku? Kalau aku lihat dari pengalaman sejumlah teman yang sukses dalam bisnisnya, kebanyakan dari mereka tidak memulainya dari nol. Mereka mendapat hibahan usaha yang telah dirintis orang tuanya. Kesuksesan orang tua mereka dalam berbisnis kemudian tinggal dilanjutkan oleh mereka yang tentunya didukung kemapanan dari orang tuanya di pelbagai hal. Mereka hanya perlu belajar tentang bisnis yang dilakoni orang tuanya sebelum akhirnya mereka dianggap mampu meneruskan bisnis tersebut.

Pertanyaan berikutnya, kalau memang aku kemudian menerapkan konsep di atas, apakah bisnis apapun yang aku hibahkan nanti akan punya peluang yang sama untuk berkembang? Apakah anak-anakku akan mampu membangkitkan minatnya dalam menggeluti bisnis yang diharapkan dapat menafkahi hidup mereka? Aku sangat prihatin dengan beban yang kian memberat yang harus mereka tanggung selama mereka sekolah. Beratnya beban itu disebabkan oleh banyaknya ilmu yang belum tentu mereka butuhkan di kemudian hari. Jika aku berniat untuk sesegera mungkin membebaskan mereka dari keharusan belajar akan ilmu yang tidak mereka minati, tentunya bukanlah hal yang tepat untuk kemudian memaksa mereka menaruh minat pada apa yang aku minati.

Lalu aku mencoba mengamati apa yang mereka sukai dan minati. Aku mencoba mengenali sejak dini apa yang mungkin akan selalu memberi ketertarikan pada mereka. Tentunya akan lebih efisien jika mereka terjun ke dalam usaha yang berkaitan dengan apa yang mereka sukai. Sehingga yang aku butuhkan adalah mempelajari apa yang mereka minati dan menjalani usaha itu dari sekarang untuk di kemudian hari dilanjutkan oleh mereka. Bisa saja hal itu dianggap sebagai tindakan yang memanjakan anak dimana anak menjadi tidak perlu belajar bersusah payah nantinya, namun aku tidak mungkin pernah bisa menebak apa saja yang harus mereka hadapi kelak. Jadi, aku perlu membukakan jalan untuk mereka dan mempersiapkan masa depan yang baik untuk anak-anakku.
Jika kerja keras merupakan syarat yang harus dipenuhi, biarlah itu menjadi bagian penting dari tugasku sebagai orang tua.