Awalnya, tekadku untuk banting tulang, melacur dalam hal bekerja disana sini, utamanya adalah untuk membiayai pendidikan sekolah anak. Aku sudah beberapa kali merasakan bagaimana dana simpanan yang terkumpul dengan cepat bisa tersedot hingga tipis saat anak-anakku memulai sekolahnya. Uang sekolah yang dikenakan mungkin tidaklah seberapa, namun uang pendaftaran sebagai murid baru bukan hal yang murah. Apalagi ada begitu banyak buku yang harus dibeli setiap tahun ajaran baru. Ada juga pungutan untuk ini dan itu yang tidak sedikit selama tahun ajaran berjalan. Dari pengadaan perangkat komputer, yang hingga kini masih saja terbilang sedikit, sampai sumbangan pembangunan musholla yang nilainya ditentukan oleh pihak sekolah.
Di saat pihak pemerintah berupaya untuk "memperbaiki" kurikulum pendidikan dengan salah satu cara ramai-ramai melakukan kunjungan resmi ke beberapa negara untuk "studi banding" menggunakan uang kas negara, masih banyak terlihat pemandangan yang mengenaskan akan nasib anak-anak di berbagai daerah terpencil di negeri ini dalam menjalani prosesi belajar di sekolahnya. Bagaimana sulit dan jauhnya perjalanan yang harus mereka tempuh ke dan dari sekolah, rapuhnya gedung-gedung sekolah mereka, ruang kelas yang harus dibagi karena keterbatasan yang ada, guru yang harus mengajar lebih dari satu kelas di waktu yang sama atau bangku dan meja yang jumlahnya tidak sebanyak muridnya.
Sementara itu, ketika masih banyak anak tidak mampu yang belum dapat kesempatan untuk mengecap pendidikan di sekolah, sejumlah pelajar justru lebih suka membolos dan menghabiskan waktu sekolahnya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat di tempat-tempat lain di luar rumah. Mereka lebih memilih ikut tawuran ketimbang menghindarinya. Beberapa kasus sex bebas, pelecehan oleh guru terhadap muridnya dan penggunaan narkoba pun masih sering terjadi, seolah akhlak kini sudah menjadi hal yang langka di lingkungan sekolah.
Pendidikan sekolah itu tidak murah. Kita bisa saja rela bekerja keras membanting tulang mencari nafkah demi pendidikan sekolah anak, tapi biaya yang kita keluarkan belum tentu setaraf dengan apa yang mereka dapatkan di sekolah. Apakah yang mereka pelajari di sekolah akan berguna bagi masa depan mereka? Apakah mereka masih perlu sekolah tinggi-tinggi di saat peluang kerja mereka nanti kian menipis? Akan mubazirlah semua dana, usaha dan waktu yang telah dikeluarkan selama ini jika nantinya yg mereka temukan hanyalah pengangguran atau pekerjaan yang tidak sepadan dengan ilmu yang mereka kuasai.
Aku percaya bahwa lebih banyak ilmu yang bisa didapatkan dari pendidikan non-formal. Artinya, kita seharusnya bisa mendapatkan banyak ilmu yang lebih bermanfaat di luar sekolah. Seorang teman pernah berkata bahwa anak-anaknya hanya perlu disekolahkan untuk belajar membaca, menulis dan menghitung. Dalam hal ini, menghitung tidak termasuk penggunaan ilmu matematika tingkat tinggi. Hanya cukup untuk tidak dikelabui orang ketika mereka sudah bekerja nantinya. Sisanya, bisa mereka dapatkan dari kehidupan di luar sekolah. Aku setuju dengan pendapat ini, mengingat di negeri ini urusan pekerjaan tidak lagi menuntut orang untuk berilmu tinggi.
Aku kemudian bertanya pada diri sendiri, masih perlukah aku habiskan dana yang hingga kini terus menerus aku dapatkan dengan susah payah untuk membiayai sekolah anak-anakku? Kalau aku lihat dari pengalaman sejumlah teman yang sukses dalam bisnisnya, kebanyakan dari mereka tidak memulainya dari nol. Mereka mendapat hibahan usaha yang telah dirintis orang tuanya. Kesuksesan orang tua mereka dalam berbisnis kemudian tinggal dilanjutkan oleh mereka yang tentunya didukung kemapanan dari orang tuanya di pelbagai hal. Mereka hanya perlu belajar tentang bisnis yang dilakoni orang tuanya sebelum akhirnya mereka dianggap mampu meneruskan bisnis tersebut.
Pertanyaan berikutnya, kalau memang aku kemudian menerapkan konsep di atas, apakah bisnis apapun yang aku hibahkan nanti akan punya peluang yang sama untuk berkembang? Apakah anak-anakku akan mampu membangkitkan minatnya dalam menggeluti bisnis yang diharapkan dapat menafkahi hidup mereka? Aku sangat prihatin dengan beban yang kian memberat yang harus mereka tanggung selama mereka sekolah. Beratnya beban itu disebabkan oleh banyaknya ilmu yang belum tentu mereka butuhkan di kemudian hari. Jika aku berniat untuk sesegera mungkin membebaskan mereka dari keharusan belajar akan ilmu yang tidak mereka minati, tentunya bukanlah hal yang tepat untuk kemudian memaksa mereka menaruh minat pada apa yang aku minati.
Lalu aku mencoba mengamati apa yang mereka sukai dan minati. Aku mencoba mengenali sejak dini apa yang mungkin akan selalu memberi ketertarikan pada mereka. Tentunya akan lebih efisien jika mereka terjun ke dalam usaha yang berkaitan dengan apa yang mereka sukai. Sehingga yang aku butuhkan adalah mempelajari apa yang mereka minati dan menjalani usaha itu dari sekarang untuk di kemudian hari dilanjutkan oleh mereka. Bisa saja hal itu dianggap sebagai tindakan yang memanjakan anak dimana anak menjadi tidak perlu belajar bersusah payah nantinya, namun aku tidak mungkin pernah bisa menebak apa saja yang harus mereka hadapi kelak. Jadi, aku perlu membukakan jalan untuk mereka dan mempersiapkan masa depan yang baik untuk anak-anakku.
Jika kerja keras merupakan syarat yang harus dipenuhi, biarlah itu menjadi bagian penting dari tugasku sebagai orang tua.