Wajahnya kusam meski aku yakin putri tunggalnya telah mendandaninya sebaik mungkin agar terlihat tetap tampil anggun buat siapapun yang datang menjenguknya. Tatapannya kosong seolah menembus apapun yang ada di depan. Rupanya sangat mirip dengan mendiang ibuku di hari-hari terakhirnya ketika beliau hanya dapat terbaring tanpa daya. Tanteku ini memang kakak kandung mendiang ibuku yang beberapa hari lalu mengalami stroke yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tidak seperti sebelumnya saat masih sehat, ia kini terlihat setua umurnya yang sudah delapan puluhan. Dengan infus dan selang oksigen yang terkait di tubuhnya, kondisinya yang tak mampu melakukan gerakan apapun pada anggota tubuhnya bahkan mulutnya sekedar hanya untuk berbicara membuatnya tampak sangat mengenaskan.
Namun aku tau pasti bahwa ia tetap mengetahui kehadiranku dan saudara-saudaraku karena air matanya berlinang segera setelah kami menyapanya perlahan lewat bisikan lembut di kupingnya. Kehadiran kami yang datang jauh dari Jakarta memang tidak diketahui oleh baik suaminya, putrinya dan cucu tunggalnya. Putrinya juga tak henti-hentinya menangis sejak menyambut kemunculan kami. Ia sempat mengutarakan bagaimana sepinya ia, ayahnya dan anaknya harus menghadapi ini semua. Dan hal itulah yang justru membuat kami berharap kedatangan kami bisa membantu memulihkan kesehatan tanteku.
Saat kondisi kesehatan mendiang ibuku kian memburuk, beliau sering menceritakan banyak hal yang selama puluhan tahun sebelumnya tak pernah diceritakannya padaku maupun kakak-kakak dan adik-adikku. Salah satunya adalah bagaimana beliau menjalani masa lajangnya sebagai seorang bungsu di antara 6 bersaudara perempuannya. Tiga kakak tertuanya acapkali membully beliau dan kedua kakak lainnya. Hal ini dilakukan sejak masa kecil hingga remajanya sampai akhirnya terbentuklah persekongkolan dua kubu yang awet hingga bahkan setelah mereka berkeluarga. Tak jarang para anggota kubu lawan meminta bantuan dana dari mendiang ibuku untuk mensupport keluarganya. Kadang mereka tega melemparkan tuduhan "pelit" di saat beliau tidak dapat memberikan apa yang mereka butuhkan.
Cerita-cerita seperti inilah yang kemudian seolah menjadi amanahnya buat kami, khususnya aku, untuk menjaga hubungan baik dengan tanteku ini yang dahulu termasuk dalam kubu mendiang ibuku. Hal ini pulalah yang kemudian menciptakan jarak antara aku dan anak-anak dari mereka yang berada di kubu seberangnya.
Kedua kakak mendiang ibuku masing-masing hanya memiliki anak tunggal
yang keduanya punya jalinan persaudaraan yang kental dengan kami. Dan
bersama putra tunggal dari salah satu kakak beliau itulah aku
datang menjenguk tanteku ini.
Keharuan dana sukacita yang aku saksikan saat jengukan ini sekali lagi membukakan mata dan akal pikiranku lebar-lebar. Ini suatu pembelajaran penting yang seharusnya bisa kami serap dalam menciptakan masa depan anak-anak kami semua. Pembentukan dua kubu yang ada di dalam persaudaraan kami harusnya tidak perlu terjadi dan harus segera diakhiri. Terlebih jika semua itu didasari oleh harta yang sifatnya duniawi. Aku juga sempat membayangkan bagaimana ego kami bisa membuat masa depan anak-anak kami menjadi sepi bila kami tidak segera memperbaiki kondisi yang berlaku saat ini. Sungguh suatu ketidakadilan bagi mereka.
Lalu sampai kapankah perang dingin antara pihak kami dengan pihak yang berseberangan berlanjut? Sulit untuk menentukan prediksi waktunya. Mungkin saja hal itu terjadi setelah apa yang masing-masing kubu perjuangkan tiba-tiba lenyap begitu saja tak berbekas. Namun aku lebih khawatir jika terjadinya justru setelah ada dari kami yang kemudian pergi selamanya sebelum pernah mencicipi kemenangan ataupun kekalahannya. Semoga saja tidak sampai begitu....