Kemarin aku menonton sebuah film lama yang dibintangi Benyamin dan Hamid Arif. Seperti pada kebanyakan film mereka, karakter Hamid Arif sangat membenci karakter Benyamin hingga ia sempat menyebutnya sebagai Dajjal.
Lalu aku teringat obrolanku sekitar satu dekade lalu dengan seorang mantan housemate ku semasa aku di rantau. Pada masa-masa itu, kami memang seringkali harus melalui banyak kondisi yang memaksa kami mengambil jalan pintas demi bisa lolos dari segala kesulitan hidup. Dan jalan pintas ini memang bukanlah hal terpuji yang pantas ditiru meskipun kami selalu berdalih bahwa apapun yang kami lakukan tidaklah merugikan bangsa dan negara kami.
Temanku yang memang punya banyak teori yang sering sulit diterima oleh orang semacam aku, yang bisa dibilang sudah banyak merasakan pahit dan manisnya hidup, menceritakan bahwa Dajjal itu awalnya hanyalah manusia biasa yang mengikatlan diri pada kontrak dengan Allah swt untuk menjalani hidupnya sebagai mahluk terjahat sejagat raya selama 1000 tahun. Dengan status seperti ini, ia mendapatkan kekuatan yang hebat untuk melakukan segala kejahatan terhadap umat manusia. Dikatakannya bahwa meski masih jauh di bawah kehebatan Allah swt, namun kedahsyatan kemampuannya dalam merusak iman manusia menempatkannya di peringkat kedua. Artinya, di dunia kegelapan, dialah pemegang tampuk tertinggi.
Nah, temanku ini berkata bahwa saat itu adalah tahun ke 1000 dari masa kontrak yang dijalani Dajjal, sehingga sudah saatnya ada yang menggantikan kedudukannya dengan kontrak baru untuk 1000 tahun ke depan. Ia lalu bertanya apakah aku berminat untuk posisi tersebut dengan dalih aku bisa mempunyai kemampuan yang tak terdandingi selain oleh Allah swt. Ia sendiri tidak berminat karena menganggap aku lebih qualified mengingat saat itu aku memang lebih banyak punya kenekadan dalam urusan bermain api.
Aku tersenyum sejenak yang membuatnya bertanya-tanya. Kukatakan padanya bahwa tanpa menjadi Dajjal pun aku sudah pernah berada di sisi tergelap kehidupan...dan aku sukses melewatinya. Buatku, aku tidak perlu menjadi yang terburuk bagi umat manusia karena aku sudah cukup buruk dengan menjadi Dajjal bagi diriku sendiri. Dan temanku tertawa setelah teringat akan apa saja yang pernah aku perbuat dahulu.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kelemahan mereka sebetulnya ada dalam diri mereka sendiri. Bisa saja Dajjal menjadi sosok jahat yang punya kekuatan hebat, namun bukan berarti kekuatannya tak tertandingi jika memang kita membiarkan Allah swt membantu kita dalam melawannya. Yang namanya buruk hingga ke tulang yang terdalam itu tentunya juga karena buruk ringan yang dibiarkan memberat. Kalau memang benar teori temanku itu, berarti bahkan Dajjal pun menjadi yang terburuk karena seperti itulah pilihan hidupnya. Dan tanpa harus menandatangani kontrak 1000 tahun, setiap orang mampu menjadi yang Dajjal bagi dirinya sendiri.
.
Mungkin masih banyak dari kita yang belum tau mengapa hari ini diperingati sebagai Hari Ibu Nasional.
Alangkah
baiknya sementara kita dengan tulus mengucapkan selamat hari ibu, kita
juga mengetaui latar belakang penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari
ibu nasional...
Penetapan Hari Ibu di Indonesia berawal dari bertemunya para pejuang wanita yang menggelar Kongres Perempuan Indonesia I
pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Tak kurang dari 30 organisasi
perempuan dari 12 kota di pulau Jawa dan Sumatera hadir dalam kesempatan
itu.
Salah satu hasil kongres adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tujuan utama organisasi ini adalah berjuang menuju Indonesia merdeka dan perbaikan nasib perempuan.
Berbagai
isu yang diangkat di antaranya adalah persatuan perempuan Nusantara,
pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, dan pelibatan
perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa.
Isu lainnya yang
juga diperjuangkan adalah memerangi perdagangan anak-anak dan kaum
perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta
menentang pernikahan usia dini bagi perempuan.
Pada 1938, ketika Kongres Perempuan Indonesia III digelar ditetapkanlah 22 Desember sebagai Hari Ibu, yang penetapannya diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Meutia, R.A. Kartini, Walanda
Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Hajjah Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Setelah Indonesia merdeka, melalui Dekrit Presiden no. 316 tahun 1959, presiden Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional.
Selamat Hari Ibu
Sudah seminggu terakhir ini kondisi finansialku benar-benar mengenaskan gara-gara ada saja hal-hal tak terduga yang terjadi yang memaksaku memeras kocek. Belum lagi memang di akhir tahun seperti sekarang, job bisa dibilang sepi. Beberapa proyek yang telah aku rintis penggarapannya sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu tak kunjung bisa dimulai karena para bohirnya menemui berbagai masalah administrasi.
Aku punya banyak alasan untuk menjadi "moody" dan sensitif jika ada hal-hal yang bersinggungan dengan kebutuhan dana, baik itu di rumah maupun di tempat kerja. Namun aku juga sadar bahwa tindakan negatif apapun yang bisa aku lakukan tidak akan mengubah kondisi keuanganku. Maka tidak ada hal lain yang aku lakukan selain bersabar dan menunggu suatu mukjizat yang dapat melepaskanku dari keterpurukan ini.
Dua hari yang lalu adikku, yang menjadi mitra bisnis merchandiseku, lewat pesan singkat menanyakan nasib produk kami yang aku titipkan di toko merchandise sekolah almamaterku beberapa bulan sebelumnya.
Aah...aku memang lupa akan produk-produk itu. Bahkan aku sempat harus mencari-cari lagi nomor handphone contact person yang bertanggung jawab atas kerjasama ini. Dan kemarin aku sudah berhasil menghubunginya lalu membuat janji untuk menemuinya pagi ini.
Bapak ini sempat memberi info adanya beberapa butir produk yang terjual namun aku tidak menanyakan rincian jumlahnya karena aku pikir toh kami akan bertemu dan membahasnya. Sebutlah aku "jaim", namun aku memang tidak ingin memberi kesan "amatiran" dalam berurusan dengan pihak sekolah yang punya arti besar dalam perjalanan sejarah pendidikanku. Lagipula, aku berasumsi kalaupun terjadi transaksi pembayaran tunai, tentunya tidak signifikan jumlahnya.
Namun aku harus menelan kekecewaan ketika bapak ini ternyata tidak ada di tempat sesampainya aku disana. Padahal kemarin ia menyatakan akan stand by di tempat sejak pukul 7 pagi. Handphonenya yang tertinggal di sekolah karena kepergiannya yang mendadak itu membuatnya mustahil untuk dihubungi, sehingga aku memutuskan untuk pergi dan kembali lagi esok hari. Aku tidak mungkin marah padanya karena aku ingin bersikap luwes dan memberi respek tinggi terhadap segala kebijakan dan aturan main yang mereka terapkan.
Sebelum aku benar benar menjauh dari lingkungan sekolahku itu, aku sempatkan diri mampir ke masjid terdekat yang di pelataran parkirnya tersedia banyak tukang jajanan, membeli makan siang yang dibungkus untuk kusantap di tempat kerjaku nanti. Dan pada ketika aku siap meninggalkan tempat jajanan itulah aku dihubungi oleh bapak dari sekolahku itu, yang memberitau bahwa ia telah berada kembali di sekolah. Aku pikir, keinginanku untuk jajan itu merupakan mukjizat yang telah membuat perjalanan jauhku tidak sia-sia.
Tidak hanya itu, bapak itu ternyata menawarkan penyelesaian yang tak pernah kami duga sebelumnya mungkin terjadi. Pasalnya, agar tidak merepotkan dalam hal penyetoran hasil jualan, pihak sekolah berniat membeli putus semua stok barang yang dititipkan. Suatu deal yang tanpa perlu dibahas dulu dengan adikku langsung aku terima. Apalagi hasil pembelian putus ini langsung diselesaikan saat itu juga. Tentu saja adikku menyambut baik kabar ini. Bagaimana tidak? Kami mendapatkan sampai 10 kali lipat dari apa yang ketika terbangun pagi tadi aku duga akan kuterima.
Sepanjang perjalanan kembali ke tempat kerja, aku terus mensyukuri berkah ini sambil mengingat kembali bagaimana aku terus menerus menolak untuk menyerah kalah pada kegentingan kondisi finansial yang seolah sempat mendorongku ke posisi tidak sabar. Posisi yang memperbolehkanku melakukan semua sikap negatif dalam merespon keadaan. Dan untungnya, aku juga terus menerus memanuverkan fokusku dari hal-hal yang belum menjadi miliku ke semua hal positif yang telah aku terima hingga selama dalam masa keprihatinanku....secuil apapun itu. Alhamdulillah...
"Kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina."
Begitulah pepatah terkenal yang maknanya mengingatkan bahwa begitu banyak ilmu yang bisa didapatkan dimana saja di segala penjuru muka bumi ini hingga di luar angkasa.
Selayaknyalahpun orang bisa menerima dan memberikan ilmu tanpa mengenal batasan umur.
Mungkin pepatah inilah yang mendasari banyak orang untuk terus menggali dan mencari ilmu agama seperti yang dilakukan beberapa kenalanku.
Sebutlah A, yang ingin sekali menjadi manusia Islam yang baik dan benar. Tak segan-segannya ia mendengarkan khotbah dan tausiah dari banyak ustadz/ustadzah lokal yang makin hari makin banyak jumlahnya. Lalu, tanpa mengkaji lebih jauh apa yang ia dapatkan, diterapkannya ajaran-ajaran baru itu dalam hidupnya. Tak hanya itu, ia dengan rajin membagi-bagikannya tidak hanya kepada kerabat dan teman-teman dekatnya namun juga kepada umum lewat jejaring sosial yang juga menjadi salah satu sumber darimana ilmu itu ia dapatkan. Ia juga sering tertarik untuk hadir dalam acara-acara dzikir bersama atau tabligh akbar yang terbuka untuk umum yang dirasanya sebagai tempat menimba ilmu baru.
Sedikit berbeda dengan B, yang lebih menyeleksi nara sumbernya dengan menetapkan beberapa penceramah asing yang secara rutin ia tonton lewat internet. B ini lebih filosofis sehingga ia lebih mudah tertarik pada ilmu yang dikemas secara intelektual. Namun, meskipun yang ini lebih selektif dalam menyaring ajaran-ajaran yang didengarkannya, namun ia punya kesamaan dengan A dalam mencari ilmu baru yang diharapkan bisa membuatnya mengarahkannya ke pola hidup Islami yang baik dan benar. Dan seperti halnya A, ia juga rajin sekali membagi ilmu-ilmu barunya itu secara umum melalui jejaring sosial.
Aku memang bukan seperti mereka.
Mungkin aku lebih suka mempertahankan ilmu yang telah aku miliki ketimbang menggantinya dengan yang baru. Dalam hal ini, aku bicara lebih ke perubahan besar, karena akupun sadar bahwa tidaklah benar jika aku menganggap ilmu yang kumiliki sudah sempurna. Sehingga aku tau bahwa alterasi terhadap ilmu yang kuanggap benar itu kadang perlu dilakukan dalam skala kecil karena aku yakin segala ilmu yang kupraktekan selama ini tidak mungkin mutlak salah. Apalagi aku mendeteksi makin ramainya orang mencoba menunjukkan kalau dirinya berilmu, dan hal ini membuat apa yang beredar di kalangan umum merupakan campuran ilmu yang benar dan salah.
Aku menolak bahkan untuk mendengarkan ocehan orang-orang yang terlihat ingin terkenal seperti halnya banyak ustadz/ustadzah seleb. Atau orang yang memaparkan ilmu agamanya tanpa menyadari bahwa ia menjalani hari-harinya dengan melakukan hal-hal yang justru diharamkan oleh agamanya. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa Islam adalah agama yang mudah yang harusnya membuat penganutnya punya kesederhanaan hidup. Bahwa Al-Qur'an merupakan kitab suci yang gunanya menuntun penganut Islam ke jalan yang benar tanpa harus menyiksa kehidupannya. Dan aku sudah melihat bagaimana seorang kerabat dekatpun menghancurkan hidupnya dan keluarganya setelah mencoba menemukan arti sesungguhnya dibalik ajaran Al-Qur'an untuknya.
Buatku, Islam adalah agama yang menyejukkan. Dan hal itulah yang harusnya selalu kurasakan. Bukan agama yang njelimet yang justru membuat penganutnya terbebani dalam mendapatkan kebaikan dalam beragama. Dengan menggunakan ajaran Al-Qur'an dan "contoh-contoh" dari Rasulullah sebagai pedoman hidup, harusnya setiap insan Muslim mampu menikmati dan mensyukuri hidup yang dihadiahkan oleh Allah swt.
Apa yang terjadi padaku hingga saat ini adalah apa yang sudah menjadi suratanku. Seburuk-buruknya itu, aku tidak berpikir ada cara "khusus" untuk merubahnya selain apa yang telah aku lakukan selama ini.
Aku lebih suka mengkaji cara mempraktekkan ajaran-ajaran dasar agamaku terlebih dahulu sebelum mencari-cari ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya lebih mendetil. Jika memang aku masih belum bisa memberikan komitmen yang sepenuhnya pada pengamalan ajaran dasarnya, bagaimana mungkin aku pantas memikirkan ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya mendetil?
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan ilmu dari negeri Cina jika perahu layar sederhana sebagai kendaraan yang seharusnya membawanya kesanapun masih belum bertiang sedangkan niat untuk mendirikannya masih belum dimilikinya?
Niatkanlah dulu untuk membenahi segala yang sederhana...