Sudah seminggu terakhir ini kondisi finansialku benar-benar mengenaskan gara-gara ada saja hal-hal tak terduga yang terjadi yang memaksaku memeras kocek. Belum lagi memang di akhir tahun seperti sekarang, job bisa dibilang sepi. Beberapa proyek yang telah aku rintis penggarapannya sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu tak kunjung bisa dimulai karena para bohirnya menemui berbagai masalah administrasi.
Aku punya banyak alasan untuk menjadi "moody" dan sensitif jika ada hal-hal yang bersinggungan dengan kebutuhan dana, baik itu di rumah maupun di tempat kerja. Namun aku juga sadar bahwa tindakan negatif apapun yang bisa aku lakukan tidak akan mengubah kondisi keuanganku. Maka tidak ada hal lain yang aku lakukan selain bersabar dan menunggu suatu mukjizat yang dapat melepaskanku dari keterpurukan ini.
Dua hari yang lalu adikku, yang menjadi mitra bisnis merchandiseku, lewat pesan singkat menanyakan nasib produk kami yang aku titipkan di toko merchandise sekolah almamaterku beberapa bulan sebelumnya.
Aah...aku memang lupa akan produk-produk itu. Bahkan aku sempat harus mencari-cari lagi nomor handphone contact person yang bertanggung jawab atas kerjasama ini. Dan kemarin aku sudah berhasil menghubunginya lalu membuat janji untuk menemuinya pagi ini.
Bapak ini sempat memberi info adanya beberapa butir produk yang terjual namun aku tidak menanyakan rincian jumlahnya karena aku pikir toh kami akan bertemu dan membahasnya. Sebutlah aku "jaim", namun aku memang tidak ingin memberi kesan "amatiran" dalam berurusan dengan pihak sekolah yang punya arti besar dalam perjalanan sejarah pendidikanku. Lagipula, aku berasumsi kalaupun terjadi transaksi pembayaran tunai, tentunya tidak signifikan jumlahnya.
Namun aku harus menelan kekecewaan ketika bapak ini ternyata tidak ada di tempat sesampainya aku disana. Padahal kemarin ia menyatakan akan stand by di tempat sejak pukul 7 pagi. Handphonenya yang tertinggal di sekolah karena kepergiannya yang mendadak itu membuatnya mustahil untuk dihubungi, sehingga aku memutuskan untuk pergi dan kembali lagi esok hari. Aku tidak mungkin marah padanya karena aku ingin bersikap luwes dan memberi respek tinggi terhadap segala kebijakan dan aturan main yang mereka terapkan.
Sebelum aku benar benar menjauh dari lingkungan sekolahku itu, aku sempatkan diri mampir ke masjid terdekat yang di pelataran parkirnya tersedia banyak tukang jajanan, membeli makan siang yang dibungkus untuk kusantap di tempat kerjaku nanti. Dan pada ketika aku siap meninggalkan tempat jajanan itulah aku dihubungi oleh bapak dari sekolahku itu, yang memberitau bahwa ia telah berada kembali di sekolah. Aku pikir, keinginanku untuk jajan itu merupakan mukjizat yang telah membuat perjalanan jauhku tidak sia-sia.
Tidak hanya itu, bapak itu ternyata menawarkan penyelesaian yang tak pernah kami duga sebelumnya mungkin terjadi. Pasalnya, agar tidak merepotkan dalam hal penyetoran hasil jualan, pihak sekolah berniat membeli putus semua stok barang yang dititipkan. Suatu deal yang tanpa perlu dibahas dulu dengan adikku langsung aku terima. Apalagi hasil pembelian putus ini langsung diselesaikan saat itu juga. Tentu saja adikku menyambut baik kabar ini. Bagaimana tidak? Kami mendapatkan sampai 10 kali lipat dari apa yang ketika terbangun pagi tadi aku duga akan kuterima.
Sepanjang perjalanan kembali ke tempat kerja, aku terus mensyukuri berkah ini sambil mengingat kembali bagaimana aku terus menerus menolak untuk menyerah kalah pada kegentingan kondisi finansial yang seolah sempat mendorongku ke posisi tidak sabar. Posisi yang memperbolehkanku melakukan semua sikap negatif dalam merespon keadaan. Dan untungnya, aku juga terus menerus memanuverkan fokusku dari hal-hal yang belum menjadi miliku ke semua hal positif yang telah aku terima hingga selama dalam masa keprihatinanku....secuil apapun itu. Alhamdulillah...