Tak ada yang bisa memungkiri bahwa saat ini masyarakat kita tengah berada di suatu posisi yang teramat sulit. Belum selesai orang mempertanyakan tentang hasil kepemimpinan presiden Jokowi yang dianggap tidak mencapai target janjinya (bagi mereka), muncul lagi topik baru yang singgahnya pada sosok yang erat hubungannya dengan presiden ke 7 ini.
Ahok, yang menjabat sebagai pengganti Jokowi di tahta kepimpinan kota Jakarta, sedang menjadi primadona pemberitaan dimana-mana, terutama di media internet yang memberi kebebasan bersuara pada setiap orang. Gaya bicaranya yang terkenal tegas, ceplas ceplos, berani dan kadang cenderung kasar memberikan berbagai alasan kepada orang untuk menanggapinya. Beberapa waktu yang lalu ia sempat melontarkan kata-kata yang dinilai tidak etis diucapkan seorang pejabat. Tidak berhenti disitu, ia bahkan melakukan pembelaan disana sini tanpa pilih kasih pada siapapun yang menudingnya. Suatu keberaniannya yang telah ditunjukkannya sejak ketika ia masih menjadi wakil gubernur. Hanya saja dulu, sebagai orang kedua pemegang tampuk kepemimpinan, tindak tanduknya itu tidak terlalu digubris karena (mungkin) gaya kekaleman Jokowi dianggap bisa mengimbanginya.
Nah, ketika pada saat yang sama kepemimpinan negara dan kepemimpinan ibukota sedang dipertanyakan, lagi-lagi terjadi perang debat antara pro dan kontra-nya. Meski ini bukan kali pertama rakyat menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja (atau ahlak) orang-orang nomor satu di negeri ini, namun sepertinya baru kali ini ada suara sumbang yang mengisyaratkan penyesalan telah menjatuhkan pilihannya di ajang Pilpres maupun Pilkada yang lalu. Dan dengan terdengungnya suara-suara itulah lalu muncul mereka-mereka yang mencuatkan kekhawatiran akan ambruknya kondisi kesejahteraan rakyat sambil mengajakan untuk ikut berjuang memperbaiki nasib bangsa.
Ironisnya, ajakan ini diiringi dengan ketakutan yang (bagiku) terlalu dramatis. Dengan menghadirkan lagi quote-quote yang bernafaskan perjuangan atau sosial dari orang-orang terkenal terdahulu seperti Chairil Anwar atau Tan Malaka atau Soekarno, bahkan yang bersifat religius dari sosok yang mendunia seperti Ummar bin Khatab, ajakan itu jadi lebih terasa bersifat menakut-nakuti. Takut kalau negeri ini morat-marit lah. Takut kalau peristiwa 1988 terulang lagi lah. Takut kalau keamanan negeri terancam seperti tahun 1965 lah, dan lain-lain. Padahal, mereka yang melakukan aksi pendramatisan ini rata-rata masih terbilang muda untuk dianggap terkena dampak bahkan dari peristiwa tahun 1988. Lalu mereka tau apa? Apakah kegentingan yang mereka gambarkan itu terbentuk berbasis apa yang mereka baca dari internet? Yang bisa ditulis oleh siapapun tanpa kenal batasan dan tak perlu lolos sensor pihak berwenang? Otentikkah?
Kita harusnya ingat apa saja yang kemudian terjadi setelah peristiwa-peristiwa nasional itu. Ada hari baru dengan harapan baru setelah malam yang buruk berlalu. Ada perjuangan yang mengawali perubahan yang kemudian (bisa) membawa negeri ini ke fase yang lebih baik, meskipun hanya sesaat bila kemenangan yang (diduga) telah kita raih itu ternyata hanya semu atau sebuah langkah yang salah. Dulu banyak yang menganggap pemaksaan Soeharto untuk lengser ternyata tidak pada tempatnya. Sekarang terjadi lagi tentang pemilihan para pemimpin. Harusnya ketimbang meratapi kesalahan itu, kita bisa bersikap legowo dengan apapun yang akan terjadi tanpa perlu berspekulasi ini itu. Kalau saja nantinya negeri kita tercinta ini harus menghadapi masa-masa kritis, biarlah itu dilalui dengan penuh kebijaksanaan diri tanpa melakukan aksi-aksi anarkis yang (ternyata) bisa saja jadi salah langkah (lagi). Karena suatu kesuksesan dari hasil perjuangan kesabaran yang hebat akan punya aroma yang lebih harum daripada yang didapat dengan mudah.
Bagai semut yang bekerja keras mengumpulkan stok pangan menghadapi musim dingin, harusnya kita juga mempersiapkan diri menghadapi masa paceklik yang mungkin terjadi kelak.
Berhentilah bicara yang tak penting dan mulailah membekali diri....!!
Monday, March 30, 2015
R.E.S.P.E.C.T
Most people say that money isn't everything, but I'm pretty sure there are some other believe otherwise. Take my friend for instance. He once said to me (and I'm sure to others too), that people who say money can't buy everything are those who don't know where to shop. He believes that people, religion and even God can be bought. He proved it when he was actually treated as if he was so powerful to some of his followers. At that time, he was like a God to them that whatever he said would be marked as something they had to believe. As for love and happiness, they are like affordable materials.
I never agree with his believe about money since I know whatever bought with money would only worth as much as the amount of the money and last that long (or short). We would lose it soon as we lose the money, as simple as that. And that goes the same for respect. Happiness in your society can be created when you get respect from people. And you would only get respect when you give it as well. That's how you earn it, not by buying them.
And while my friend keeps spending money to keep himself happy, I would rather save my money and go the hard way, trying to show respect to those who may make my life miserable. It may take a lot to swallow my pride but I'm going for the true happiness that would come along the way.
I don't care if you only respect me when you can get some money out of me because if that's what it takes, respect from you may not be one of the keys to my happiness. You may think it would make people assume you have power to control my life that they would respect you for it, but you would never get it from me for you may be among those who don't determine my happiness as I to yours. I believe I have a path to go through in life. And when I believe the path isn't going to take me to where to go or I may be taking the wrong ride, I would let the bus stop and take another or even take a walk if that would be my option. I'm not planning to do some spending for something that is actually free or worthless and meaningless to my happiness.
I never agree with his believe about money since I know whatever bought with money would only worth as much as the amount of the money and last that long (or short). We would lose it soon as we lose the money, as simple as that. And that goes the same for respect. Happiness in your society can be created when you get respect from people. And you would only get respect when you give it as well. That's how you earn it, not by buying them.
And while my friend keeps spending money to keep himself happy, I would rather save my money and go the hard way, trying to show respect to those who may make my life miserable. It may take a lot to swallow my pride but I'm going for the true happiness that would come along the way.
I don't care if you only respect me when you can get some money out of me because if that's what it takes, respect from you may not be one of the keys to my happiness. You may think it would make people assume you have power to control my life that they would respect you for it, but you would never get it from me for you may be among those who don't determine my happiness as I to yours. I believe I have a path to go through in life. And when I believe the path isn't going to take me to where to go or I may be taking the wrong ride, I would let the bus stop and take another or even take a walk if that would be my option. I'm not planning to do some spending for something that is actually free or worthless and meaningless to my happiness.
Monday, March 23, 2015
Salah Alamat
Kemarin pagi aku sibuk berkomen ria di beberapa grup Whatsapp yang aku ikuti. Mungkin karena memang di hari libur seperti itu banyak orang yang sedang santai sehingga punya banyak waktu untuk berinteraksi aktif seperti aku. Salah satu grup-nya hanya beranggota kakak dan adik kandungku saja, dan kali ini topik pembicaraan kami bersifat khusus untuk lelaki dewasa dengan pengikutsertaan beberapa foto-foto yang vulgar. Tentu saja ini adalah hal yang fun bagi kami yang memang punya hubungan persaudaraan yang kental sejak kami kecil.
Sialnya, ketika salah satu foto itu hendak aku kirim ke seorang temanku, juga lewat Whatsapp, aku justru mengirimkannya ke grup Whatsapp lainnya yang terdiri dari sekian banyak peserta yang setengahnya adalah wanita. Pasalnya, kamu Hawa disitu kebanyakan lebih cenderung akan menilainya sebagai tindakan yang tidak etis. Belum lagi kalau kemudian diikuti dengan penghakiman atau bahkan penuduhan yang bukan-bukan.
Aku sempat kelimpungan mencari cara untuk "nge-les" sebagai antisipasi dari protes yang bisa kapan saja segera dilemparkan. Untungnya, foto yang salah alamat itu bukan bersifat vulgar meskipun bisa membentuk sebuah penganggapan di benak siapapun yang melihatnya bahwa akulah pembuat foto tersebut yang mengartikan bahwa aku termasuk lelaki yang "nakal". Sempat aku berniat untuk meminta moderator grup untuk mencabut foto itu mengingat hanya ia yang punya wewenang atas hal itu. Namun aku urungkan niatku karena moderatornya pun seorang wanita. Kemungkinan besar ia akan dengan senang hati melakukannya jika memang ia menganggap foto itu tak layak bertengger disitu, hanya saja aku belum mampu untuk menanggung malu dalam memintanya.
Yang lebih menguntungkan adalah bahwa ada beberapa teman lelaki yang mengendus kesalahanku itu dan segera saling bersautan secara marathon sambil perlahan memanuverkan topik pembahasan. Alhasil, interaksi kami, sesama peserta lelaki, berakhir di pembahasan pembentukan bisnis baru di dunia kulineri, yang memang belakangan tengah diminati sejumlah teman wanita di grup ini yang kemudian juga "turun gunung" untuk ikut membahasnya.
Sementara setelah lebih kurang satu jam sejak kesalahan yang aku lakukan, foto itu dicabut oleh moderator.
Phew...sebuah polemik yang mungkin bisa selalu terjadi jika kita tidak berhati-hati ketika tengah aktif berinteraksi aktif dengan banyak pihak secara bersamaan. Yang penting diingat adalah bahwa kita harus siap dengan respon yang cerdik saat kita sedang terpojok.
Sialnya, ketika salah satu foto itu hendak aku kirim ke seorang temanku, juga lewat Whatsapp, aku justru mengirimkannya ke grup Whatsapp lainnya yang terdiri dari sekian banyak peserta yang setengahnya adalah wanita. Pasalnya, kamu Hawa disitu kebanyakan lebih cenderung akan menilainya sebagai tindakan yang tidak etis. Belum lagi kalau kemudian diikuti dengan penghakiman atau bahkan penuduhan yang bukan-bukan.
Aku sempat kelimpungan mencari cara untuk "nge-les" sebagai antisipasi dari protes yang bisa kapan saja segera dilemparkan. Untungnya, foto yang salah alamat itu bukan bersifat vulgar meskipun bisa membentuk sebuah penganggapan di benak siapapun yang melihatnya bahwa akulah pembuat foto tersebut yang mengartikan bahwa aku termasuk lelaki yang "nakal". Sempat aku berniat untuk meminta moderator grup untuk mencabut foto itu mengingat hanya ia yang punya wewenang atas hal itu. Namun aku urungkan niatku karena moderatornya pun seorang wanita. Kemungkinan besar ia akan dengan senang hati melakukannya jika memang ia menganggap foto itu tak layak bertengger disitu, hanya saja aku belum mampu untuk menanggung malu dalam memintanya.
Yang lebih menguntungkan adalah bahwa ada beberapa teman lelaki yang mengendus kesalahanku itu dan segera saling bersautan secara marathon sambil perlahan memanuverkan topik pembahasan. Alhasil, interaksi kami, sesama peserta lelaki, berakhir di pembahasan pembentukan bisnis baru di dunia kulineri, yang memang belakangan tengah diminati sejumlah teman wanita di grup ini yang kemudian juga "turun gunung" untuk ikut membahasnya.
Sementara setelah lebih kurang satu jam sejak kesalahan yang aku lakukan, foto itu dicabut oleh moderator.
Phew...sebuah polemik yang mungkin bisa selalu terjadi jika kita tidak berhati-hati ketika tengah aktif berinteraksi aktif dengan banyak pihak secara bersamaan. Yang penting diingat adalah bahwa kita harus siap dengan respon yang cerdik saat kita sedang terpojok.
Subscribe to:
Posts (Atom)