Salah satu contoh perbedaannya adalah bahwa meskipun keduanya punya kegiatan pengajian, namun kelompok pertama sering menyewa catering makanan untuk disajikan dalam pengajiannya sementara kelompok kedua lebih mengandalkan apapun panganan ringan seperti kue kering, kacang atau gorengan yang dibawa secara sukarela oleh para anggotanya. Contoh lainnya adalah kegiatan arisan yang iurannya jauh berbeda antar kedua kelompok. Nah...perbedaan-perbedaan mencolok seprti inilah yang kemudian merusak hubungan pertemanan antar anggota kedua kelompok ini. Ini yang aku sebut di atas "tidak sehat". Awalnya mungkin tidak terlalu bermasalah karena (buat aku) kasus semacam ini kerap terjadi di antara wanita, namun lama kelamaan efeknya mulai terasa di antara anak-anaknya. Parahnya, ada beberapa anak yang kemudian mulai tidak menghormati ibu-ibu, sebut saja para emak dari kelompok kedua yang kebetulan punya masalah dengan ibunya.
Kondisi ini makin meruncing ketika anak-anak mereka duduk di kelas enam. Hal ini disebabkan karena makin banyaknya kegiatan yang perlu dilakukan oleh para emak dalam rangka mempersiapkan berakhirnya masa sekolah anak-anak seperti acara pelepasan siswa, perpisahan, pembuatan buku tahunan, dll. Kegiatan-kegiatan yang layaknya dilakukan oleh semua orangtua murid secara terpadu cenderung jadi tersendat-sendat karena adanya faktor saling menghambat. Berbagai perbedaan prinsip tak mudah diselesaikan karena mereka tidak saling mengalah. Belum lagi tugas-tugas yang dengan sengaja tidak diselesaikan hanya karena ketidaksukaan satu sama lain. Sementara itu, pihak sekolah tidak kuasa untuk menengahi ketika urusannya menyangkut dana, karena larangan dari Pemerintah Daerah bagi semua sekolah negeri. .
Akhirnya semua permasalahan ini memuncak dengan rencana diterbitkannya Buku Tahunan di acara Pelepasan Siswa yang saat ini sudah naik cetak. Ada tujuh emak dari kelompok pertama yang tidak membayar iuran yang diperlukan. Padahal mereka sudah berkali-kali diingatkan baik secara verbal maupun tulisan lewat surat edaran orangtua siswa kelas enam dan di grup Whatsapp. Kemarin, lewat salah satu emak yang mewakili enam orang lainnya, mereka berniat melakukan pembayaran agar anak-anak juga kebagian Buku Tahunan tersebut. Sayangnya...upaya mereka ini tidak berbuah hasil seperti yang mereka harapkan. Kecuali mereka mau membayar lebih berlipat-lipat, proses pencetakan ini tak mungkin lagi diinterupsi. Aku paham sekali kondisi ini mengingat aku juga dulu pernah menjalani usaha percetakan. Banyak faktor yang mencekal upaya penambahan segelintir oplaag cetakan jika proses pembuatan buku sudah melampaui tahap pencetakan.
Yang aku sayangkan adalah segala aksi pembelotan dari ketujuh emak ini melulu didasari ego pribadi semata tanpa menimbangkan anak-anaknya. Aku bisa membayangkan betapa kecewanya ketujuh anak ini kelak ketika mereka tidak punya kumpulan dokumentasi perjalanan studi mereka di sekolah dasar selama enam tahun. Di buku itu, tentunya ada foto dan nama mereka...hanya saja mereka tidak memilikinya sebagai kenang-kenangna untuk disimpan. Kalau sudah begini, para emak itu akan bicara apa? Saat ini mungkin anak-anak itu manut saja dengan para emak-nya. Tapi kelak belum tentu mereka bisa memaklumi aksi para emaknya. Jangan lupa bahwa masa-masa di sekolah dasar merupakan masa-masa transisi dari anak menjadi remaja. Biasanya masa-masa itu sulit terlupakan.
Lalu, layakkah masa-masa itu dikorbankan demi ego para emaknya? Renungkanlah....