Semalam adalah malam ke dua puluh tiga bulan Ramadhan yang mana sudah menjadi bagian dari malam-malam dimana aku berencana untuk melaksanakan shalat Tarawih seperti halnya di tahun-tahun sebelumnya dengan harapan dapat Lailatul Qadr-nya. Bersama kedua putraku aku pergi ke masjid dengan sukacita meskipun aku tau putra bungsuku tak terlalu excited karena sempat terlelap tidur untuk beberapa menit sebelum kemudian terpaksa harus bangun. Kehadiran dua teman dekatnya, yang sama-sama baru saja lulus dari sekolah dasarnya, tak juga merubah mood-nya yang masih cranky dan tak membuatnya bergabung dengan mereka yang duduk di shaf lebih depan.
Ia pun berdampingan denganku dan kakaknya melaksanakan shalat Isya dan duduk mendengarkan khatbah malam itu. Ketika shalat Tarawih akan dimulai, aku mendapatkan kekosongan tempat di shaf di depanku yang cukup untuk kami bertiga. Maka dengan sigap aku segera melangkah maju untuk mengisi tempat tersebut diikuti oleh putra sulungku. Sedangkan putra bungsuku yang cenderung ogah-ogahan tak mungkin berdampingan dengan kami karena tempat yang tersisa keburu diisi jemaat lain yang lebih sigap darinya. "Biarlah", aku pikir....toch aku tak ingin merusak suasana hatiku ataupun mengganggu suasana hatinya.
Namun apa yang terjadi kemudian dengannya membuat kenyamanan hatiku terusik. Dengan majunya aku dan putra sulungku, maka tercipta tempat kosong antara putra bungsuku dengan seorang pria berumur sekitar enampuluhan tahun yang sebelumnya berdiri di sebelahku. Dan karena lumrahnya di sepuluh malam terakhir tak banyak jemaat yang hadir untuk bertarawih, shaf keempat tempatnya berada menjadi shaf terakhir, sehingga tak ada jemaat di belakangnya untuk mengisi tempat kosong tersebut. Pria tadi lalu menarik lengan baju anak bungsuku supaya ia merapatkan diri ke sebelahnya.
Aku terkejut melihatnya...tapi sebelum aku bisa mengambil keputusan apa yang sepantasnya aku lakukan untuk merespon kejadian itu, pria tadi keburu mengucapkan takbir dan memulai shalatnya. Tak ayal lagi, akupun melaksankan shalatku sambil terus kepikiran tentang apa yang baru saja dialami putraku itu. Shalatku terlaksana tanpa kekhusyukan karena aku sibuk mengatur strategi bagaimana aku perlu meluruskan hal ini dengan pria itu. Aku berada dalam posisi untuk memilih antara memperpanjang urusan ini dengannya seusai shalat atau mengabaikannya mengingat ini bulan Ramadhan dan kami berada di dalam masjid untuk beribadah.
Kegalauanku terus berlanjut hingga tuntasnya shalat dua rakaat berikutnya sambil beberapa kali menoleh ke pria tersebut saat interval di antara shalat. Tanpa sepatah kata apapun aku meyakinkan dirinya bahwa aku menatapnya dengan ekspresi ketidaksukaan di wajahku, sekedar hanya supaya ia setidaknya bertanya-tanya pada diri sendiri apa penyebabnya jika memang ia tak merasa bersalah. Dan sesaat sebelum shalat berikutnya dimulai, aku teringat khatbah khatib yang baru selesai aku simak tentang sabar dan syukur. Ini yang kemudian membuatku sadar bahwa baiknya aku biarkan insiden ini berlalu tanpa aku tindaklanjuti. Ini yang kemudian membuatku kembali fokus dan khuysuk dalam rangkaian shalat-shalat yang tersisa.
Aku memang tidak pernah suka dengan orang-orang yang menganggap remeh anak-anak terutama dalam beribadah apalagi ketika di masjid. Seperti halnya kasus yang pernah dialami kedua putraku beberapa tahun silam di sebuah masjid ketika mereka dipaksa pindah ke shaf terbelakang hanya karena mereka masih anak-anak dan dianggap tak pantas berdiri di shaf terdepan. Huh...sehebat apa sih orang-orang ini sehingga mereka bisa beranggapan seperti itu? Tau apa mereka tentang putra-putraku...atau anak-anak lainnya yang bisa jadi lebih mulia di mata Allah swt? Siapa sih mereka sehingga bisa memperlakukan anak-anak dengan seenaknya? Kedua putraku (seperti halnya aku) memang bukan tipe orang yang harus berbaju koko atau bersarung atau berkopiah saat melaksanakan shalat di masjid, tapi apakah itu bisa jadi alasan untuk mendiskreditkan mereka?
Aku mencintai Islam sebagai agamaku dan Allah swt sebagai Tuhanku. Aku mencintai Rasulullah dan mencoba menerapkan pada kedua putraku segala ilmu yang diajarkannya. Dan dalam cara yang sederhana aku mencoba menanamkan pemahaman pada mereka bahwa Islam adalah agama yang ramah dan bersahabat. Namun tindakan dan perlakuan seperti ini oleh mereka yang mengaku berilmu tinggi dalam agama seolah menunjukkan sebaliknya . Hanya karena mereka berpenampilan bak ulama atau terlihat (lebih) tua lalu mereka merasa layak berlaku semena-mena? Sama sekali tidak mengisyaratkan kebijaksanaan dan kearifan mereka.
Putraku, yang semalam (ternyata) juga merasa dilecehkan, buatku lebih bijaksana dengan menerimanya secara ikhlas tanpa mengadu atau mengeluh kepadaku. Lucunya, ketika dalam perjalanan pulang aku mengutarakan kegundahanku dan memberi tau padanya mengapa aku sering menengok ke belakang untuk menatap pria itu, putraku berujar, "oooh...aku kira karena papa juga terganggu dengan bau badannya". Ucapan lugunya ini membuatku tersenyum dan merasa lega aku telah memutuskan untuk tidak memanjang lebarkan urusan dengan pria itu karena rupanya pria itu sudah punya masalah lain yang harus ditanganinya. Alhamdulillah...Allah memang Maha Adil.
Pertama kali aku mengenalnya ketika aku bergabung di Gugus Depan (Gudep) 005 yang bermarkas di sekolah menengah yang setahun kemudian menjadi sekolahku. Waktu itu aku masih kelas enam, sedangkan ia sudah duduk di bangku SMP kelas dua. Mas Nugroho, atau yang lebih dikenal dengan nama Manug ini seorang tokoh yang ramah, baik dan mengayomi. Ia juga sangat periang dan punya bakat seni yang sangat tinggi. Tak heran bila ia selalu ambil bagian dalam acara-acara seni di lingkungan sekolah dan kepramukaan. Aktifnya ia dalam kepramukaan itulah yang membuatnya dekat dengan kedua kakak tertuaku yang juga super aktif. Mereka sering mengikuti kegiatan kepramukaan yang berskala nasional seperti Jambore dan Raimuna. Jadi ia termasuk sosok yang cukup dikenal oleh keluargaku juga.
Aku tak pernah lagi bertemu dengannya sejak ia lulus SMA karena saat itu aku juga tak lagi aktif sebagai seorang pramuka. Belum lagi kemudian aku sempat melanjutkan kuliahku di negeri seberang untuk waktu yang lama. Baru November tahun yang lalu aku kembali bertemu dengannya saat kami sama-sama ambil bagian dalam acara musik yang diselenggarakan oleh ikatan musisi alumni SMP/SMA kami. Dan akhirnya, pada bulan April kemarin aku diajak bergabung oleh adikku yang berencana tampil dalam acara enam bulanan ini dalam grup band yang dibentuknya bersama mas Manug. Ajakan ini tak mungkin aku tolak karena kegiatan yang terakhir kali aku lakukan bersama mas Manug adalah ketika kami masih di Gudep 005 lebih dari 30 tahun yang silam.
Perjalanan yang aku lalui sejak mulai bergabung dengan grup band ini hingga pementasan kami terbilang pendek karena kami dan anggota lainnya sama-sama punya kesibukan masing-masing sehingga tidak mudah bagi kami untuk sering bertemu dan latihan. Namun diluar hasil yang cukup memuaskan, pementasan kami ini memberi kenangan yang tak terhingga buatku. Setidaknya aku bisa sempat berkolaborasi dengan tokoh yang ternyata sudah wara-wiri di dunia musik termasuk peran pentingnya membina kelompok paduan suara di Institut Teknologi Bandung selama 12 periode.
Dan kemarin dini hari ketika aku hendak sahur, adikku memberitakan bahwa mas Manug telah berpulang ke Sang Khalik. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa ia akan pergi secepat ini karena tak terlihat sedikitpun ada gejala ke arah itu. Aku dan anggota grup band yang lainnya bahkan sebelumnya sempat berencana untuk tampil kembali di ajang berikutnya November mendatang.
SuratanNya berkata lain. Kepergiannya sangat dini bahkan sebelum rencana kami bisa dibahas lebih lanjut...namun kami ikhlas menerimanya. Apa yang telah kami, khususnya aku, alami bersamanya dalam waktu yang pendek hingga pementasan kami bulan lalu kini menjadi suatu kenangan yang luar biasa indahnya.
Selamat jalan, mas Manug. Adalah suatu kehormatan bagiku bisa tampil di pentas musik bersama mas di hari-hari terakhir mas. Terima kasih atas kenangan indah yang telah mas share bersamaku. You'll always be remembered...
Ramadhan ini kali aku terbilang cukup malas dalam menjalani ritual ibadahku. Padahal seharusnya aku justru melipat gandakannya demi pahala yang berlipat juga. Jangankan mengaji...mengkaji & mengasup ilmu agama yang biasanya rajin aku lakukan lewat membaca berbagai artikel di dunia maya pun sangat jarang aku lakukan. Entah kenapa begitu...mungkin urusan duniawi yang sudah berbulan-bulan menteror keseharianku itu telah membuatku lebih mengikuti ajakan iblis untuk bermalas-malasan, termasuk pergi ke masjid untuk tarawihan berjamaah.
Memang aku lebih suka melakukan tarawihan di masjid di sepuluh hari terakhir (sambil ngincer malam Lailatul Qadar 😁). Tapi bukan berarti aku jarang ke masjid di malam-malam sebelumnya. Aku suka mendengarkan khatbah tarawih sambil memilah-milah dengan harapan yang bagus bisa bermanfaat buatku. Aku juga sebelumnya sering bersafari menjajal berbeda-beda masjid hanya sekedar agar bevariasi dan tidak monoton saja tempatnya. Bisa dibilang dalam seminggu aku bisa tiga atau empat kali menyempatkan diri ke masjid. Kadang bahkan aku menyengajakan berbuka puasa di masjid agar bisa ikutan shalat Maghrib berjamaah disitu.
Seminggu sudah Ramadhan bergulir dan aku hanya sekali saja melakukan shalat Tarawih di masjid. Hujan yang acapkali turun ikut menjadi alasan buat aku ngeles tidak ke masjid...sementara di tahun kemarin, aku sering berjalan berpayungan meuju masjid di bawah guyuran hujan.
Nah...semalam aku (kebetulan) sedang waras dan berniat ke masjid. Niatan ini sudah timbul di pagi harinya sehingga aku sudah menyiapkan diri untuk pergi selepas buka puasa dan shalat Maghrib. Sementara itu kedua putraku punya pilihan yang berbeda satu sama lain. Yang bungsu semangat sekali untuk ikut aku, sedangkan yang sulung memilih tinggal di rumah bersama ibunda-nya yang sedang sakit kepala.
Aku sempat wondering mengapa si bungsu begitu semangat sementara kakak & ibunda-nya tidak ikutan. Biasanya ia lebih memilih ngekor ibunda-nya, meskipun, sama halnya ketika beribadah shalat Jum'at atau Ied, ia cenderung cepat bosan, mengantuk dan akhirnya jadi moody, sehingga ujung-ujungnya aku yang menjadi tempat penampungan keluhannya saat khatbah berlangsung. Tapi aku segera mendapat jawabannya begitu kami sampai di masjid ketika ia bertemu dengan beberapa temannya sekolahnya yang memang semua sedang menyandang status pengangguran hingga mereka memulai studinya lagi di bangku SMP bulan depan. Aku bisa melihat betapa ia dan juga teman-temannya nampak gembira mengobrol entah tentang apa saja hingga khatbah sang khatib pun tak dihiraukan. Tak terdeteksi sekalipun bahwa anakku merasa bosan atau moody.
Lalu aku berpikir...memang mereka mungkin tak menyimak isi khatbah malam itu, tapi setidaknya, kalau memang kemungkinan bertemu dengan teman-teman seperti itu adalah faktor penyebab kenapa mereka jadi antusias ke masjid, setidaknya datang ke masjid sudah membuahkan pahala buat mereka. Belum lagi ibadah shalat-shalatnya yang notabene dilakukan secara berjamaah...dengan kegembiraan hati pula. In shaa Allah mereka diganjar pahala & berkah yang berlimpah atas itu semua...aamiin.
Bagaimana dengan aku sendiri? Yaah...mungkin kelak suatu hari ada teaser yang juga bisa memacu aku seperti itu di saat aku lagi diserang virus malas. Saat ini...belum ada yang mampu 😜
Satu dari tiga grup WA yang aku ikuti adalah grup alumni SMP ku. Mungkin grup inilah yang paling seru untuk diikuti mengingat sekitar enampuluhan anggotanya yang seumur dan pria semua (SMP ku hingga sekarang adalah sekolah pria). Jadi kami begitu bebasnya berinteraksi tanpa harus membatasi topik pembahasan yang (bisa) menyinggung kaum hawa dan/atau anak-anak. Dari topik ringan dan guyonan yang sering nyelekit dimana kami saling meledek dengan sadis, sampai ke hal-hal yang sangat serius tentang politik, ekonomi dan sosial, bahkan subyek yang vulgar.
Meski sudah sering diingatkan untuk tidak menayangkan postingan yang berbau kampanye politik atau mengumbar nafsu syahwat, namun tak jarang ada saja yang melanggarnya. Konsekuensinya ya ditegur anggota lainnya yang akhirnya kembali ke kebijaksanaan para pelakunya sendiri dalam menanggapi teguran-tegurannya.
Yang aku hargai dari admin-nya adalah bahwa ia tak suka dengan para anggota yang tau-tau meninggalkan grup ini tanpa pemberitauan terlebih dahulu. Kesannya jadi seperti tidak tau etika kesopanan karena pergi tanpa pamit. Aku yang juga pernah ingin sekali left group karena sudah tak tahan membaca postingan kampanye politik yang sempat santer membombardir grup ini. Pasalnya, postingan-postingan itu sifatnya sudah black campaign dan sama sekali tidak bermanfaat untuk dibaca. Namun saat itu, sang admin memintaku untuk bersabar sementara ia mencoba untuk memberi peringatan pada pemosting lewat japri demi menghindari perdebatan dalam grup. Maka akupun left group selama seminggu dengan alasan sedang menservis hp ku...hanya untuk menenangkan diri sementara.
Sejak kembalinya aku ke dalam grup itu, aku lebih suka melulu menyimak tanpa berkomentar. Kalaupun berkomentar, itu karena ada hal yang perlu aku luruskan atau ada info penting yang aku rasa perlu dibagi. Aksi seperti ini juga dilakukan oleh beberapa teman yang punya penilaian sama terhadap grup ini tapi tetap bertahan dengan harapan bisa mendapatkan info atau ilmu yang bermanfaat. Sementara itu, hingga saat ini mungkin sudah ada sepuluh anggota yang hengkang dengan alasan tidak mampu lagi menikmati konten dari grup ini. "Isinya dan bahasanya sudah kayak stensilan aja. Malu lah gue kalo sampe kebaca anak, bini gue", ujar seorang teman yang telah left grup beberapa bulan yang silam.
Malam ini, selepas waktu maghrib hari pertama Ramadhan, ada sebuah postingan gambar seorang wanita yang tengah memotret, dengan mengenakan rok tanpa dalaman, dalam posisi yang sedemikian rupa sehingga kemaluannya terekspos. Gambar ini tak separah gambar-gambar vulgar yang pernah dipasang dan menuai kecaman dari sebagian kecil anggota grup, namun aku cukup kaget melihatnya. Memang jam postingannya sudah lewat waktu berbuka puasa, tapi aku atau teman-teman Muslim lainnya bisa saja baru melihatnya esok hari ketika kami tengah berpuasa. Meski sebelumnya sudah diingatkan agar tidak ada postingan semacam ini selama bulan puasa, bahwa pemostingan ini tetap terjadi membuatku merasa tidak dihargai.
Dan akhirnya...setelah bertahan selama dua bulan sejak left group yang seminggu itu, dalam sebuah kalimat pendek, aku berpamitan pada semua anggota untuk meliburkan diri dari keikutsertaanku dalam grup ini selama bulan Ramadhan. Aku hanya menyebutkan alasannya lewat japri ke sang admin dengan harapan ia bisa mengerti prinsipku. Entah aku akan diizinkan bergabung lagi atau tidak pasca Lebaran, semua aku serahkan pada kebijakan sang admin. Yang pasti, paling tidak aku ingin berusaha menghindari diri dari hal-hal yang bisa membuat ujian Ramadhan-ku jadi lebih berat lagi.