Jum'at kemarin, karena aku punya banyak waktu luang, aku menjadwalkan untuk menjemput putraku dari sekolah. Agar ia tak terlalu lama menungguku seusai shalat Jum'atan nya di sekolah, aku berencana melakukan shalat Jum'at di sekitar sekolahnya.
Dari beberapa yang ada, aku memilih sebuah masjid yang lumayan besar namun tidak terlalu menyolok keberadaannya karena posisinya yang terletak di sebuah jalan kecil di tengah-tengah pemukiman warga yang padat yang lumayan jauh dari jalan raya.
Sudah lama memang, aku berniat sekali menyambangi masjid ini karena meski tak terlihat dari jalan raya namun menara tunggalnya cukup tinggi dan memiliki desain yang menarik perhatian, menyeruak di balik padatnya rumah-rumah hunian yang mengelilinginya rapat. Putraku, yang pernah mengunjunginya, mengatakan bahwa masjid itu cukup populer di lingkungannya karena ketika ia melakukan saat shalat Dhuhur berjamaah di hari biasapun jemaatnya cukup banyak.
Ketika aku tiba disana sekitar 10 menit sebelum adzan berkumandang, hampir 70 persen ruangan masjid yang cukup luas ini sudah terisi, sementara jemaat terus berdatangan hingga akhirnya melimpah sampai ke teras dan halaman masjid.
Tak seperti di beberapa masjid lain, adzan dikumandangkan hanya sekali setelah sang khatib naik ke atas mimbar dan memberi salam. Dan setelah itu khatib langsung berkhutbah. Saat itu aku bertanya-tanya pada diri sendiri topik apakah yang akan menjadi materi khutbahnya, mengingat yang sedang menjadi trending topik adalah masalah penistaan agama Islam.
Sayangnya, aku tak pernah tau jawabannya...
Aku sempat heran dengan pembukaan khutbah berisikan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta shalawat kepada Rasulullah SAW, yang selalu dalam bahasa Arab, yang bagaikan tak kunjung selesai. Namun yang membuat aku kaget adalah bahwa ketika aku masih menunggu bagian khutbah berbahasa Indonesia, sang khatib mengambil posisi duduk beristirahat sebelum memulai khutbah bagian kedua. Rupanya, khutbah bagian pertama telah lengkap dan selesai disampaikannya melulu dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan bagian kedua yang tak diisi sedikitpun dengan bahasa Indonesia. Maklumlah...sebagai seorang yang ilmunya cetek, aku tak dapat membedakan mana bahasa Arab yang do'a, mana yang kutipan ayat Al-Qur'an dan mana yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-harinya.
Ada hal lain juga yang aku temui (sejauh ini) hanya di masjid tersebut. Tak lama setelah shalat Jum'at usai, sebagian kecil jemaat (nampaknya) melakukan shalat sunnah berjamaah. Aku yang hanya bisa menebak-nebak shalat apa yang mereka lakukan, memutuskan untuk meninggalkan masjid saja bersama sebagian besar jemaat yang langsung membubarkan diri ketimbang melakukan shalat sunnah sendirian yang bisa-bisa dianggap salah. Hasilnya, total waktu yang digunakan untuk khutbah dan shalat Jum'at
menjadi relatif lebih pendek dari yang biasanya aku temui di
tempat-tempat lain. Karena itulah dalam perjalanan menuju sekolah putraku, aku melewati
beberapa masjid yang prosesi shalat Jum'at nya masih berlangsung, bahkan
di masjid sekolah putraku, sang khatib masih tengah berkhutbah.
Entah apa yang menjadi patokan bagi para pengurus dan pihak manajemen masjid tersebut, namun buatku perbedaan seperti ini hanya merupakan suatu keanekaragaman yang ada dalam agama Islam di negeri ini.
Dan alhamdulillah hingga kini, tak pernah ada masalah bagi semua jemaat yang beribadah disana.
Suatu pengalaman baru lagi yang unik buatku. Memang jadinya aku tak mengerti apa yang disuarakan oleh sang khatib...tp itung-itung, pengalaman ini cukup mengingatkan aku pada kunjunganku ke tanah suci. :)
Disadari atau tidak, rezeki itu selalu datang pada kita. Logikanya, tidak disadarinya karena jauh lebih kecil atau sedikit dibanding yang kita harapkan. Apalagi jika efeknya tidak signifikan dengan kondisi yang sedang kita alami. Misalnya kita lagi betul-betul butuh biaya besar untuk memenuhi hal-hal yang positif seperti untuk pengobatan, atau membayar tagihan bulanan yang sudah menunggak segian lama sehingga jika tidak dibayar tepat waktu bisa berdampak tragis, namun rezeki yang kita dapatkan (hanya) cukup untuk membeli sedikit lauk nan sangat sederhana untuk sekali makan. Bisa jadi sambil makan dengan lauk tersebut kita terus mempertanyakan mengapa rezeki tak kunjung datang. Padahal...kesempatan untuk terbangun di awal hari dan bernafas seharian saja merupakan suatu rezeki yang tidak semua orang mendapatkannya.
Sudah sejak tigaperempat tahun aku berusaha menjalani keseharianku dengan mengandalkan sebuah motor yang telah kumiliki selama lebih dari enam tahun, dan sebuah lagi motor pinjaman dari kakakku. Pinjaman ini aku dapatkan setelah motorku yang sebuah lagi ditarik oleh pihak leasing company karena tunggakan cicilan yang akhirnya tak mungkin aku bayar pada waktunya. Apesnya, sekitar tiga bulan yang lalu motorku akhirnya menampakkan gejala-gejala permasalahan yang tak mungkin diabaikan, sehingga harus aku biarkan terparkir setiap hari di dalam garasi hanya karena aku tak ingin dapat masalah yang lebih serius di tengah jalan ketika aku nekat mengendarainya. Karena itulah sebulan yang lalu, aku harus rela menjualnya dengan harga yang murah ke seorang teman yang siap menguras koceknya untuk memperbaikinya.
Jadi sejak itu, hanya motor kakakku lah yang dapat aku andalkan untuk menopang segala aktifitasku sekeluarga.
Hari Kamis kemarin, kakakku tiba-tiba memintaku mengembalikan motornya mengingat saat inipun ia jadi membutuhkannya setelah kondisi finansialnya juga tak kunjung membaik.
Awalnya terasa berat sekali buatku untuk memenuhi permintaannya meskipun itu sepenuhnya adalah haknya. Betapa tidak? Otomatis tak akan ada lagi alat transportasi yang dapat kuandalkan untuk melakukan aktifitas. Namun biar bagaimanapun pentingnya arti motor kakakku bagi keseharianku, aku tak berhak menahannya jika memang telah diminta kembali. Dan keikhlasanku melepaskannya membuat perjalanan panjangku kemarin ke rumah kakakku terasa ringan saja. Yang aku rasakan selama perjalanan hanyalah kelegaan atas keberhasilanku merawat motor itu dengan sebaik mungkin sehingga dapat kukembalikan dalam keadaan yang baik tanpa kekurangan apapun.
Kakakku juga telah menegaskan tentang seringnya ada kesalahan persepsi pada manusia yang mengharapkan "bayaran" dalam hidupnya di dunia atas segala amal ibadahnya, sementara harusnya semua perbuatan baiknya itu dilakukan demi imbalannya di akhirat nanti. Tapi, memang benar seperti kata seorang teman baikku lewat whatsapp semalam sesampainya aku kembali di rumah, bahwa sebagai manusia kita tidak mudah mengesampingkan faktor-faktor keduniawian. Keamanan dan kenyamanan hidupnya di dunia menjadi prioritas sehingga kita selalu merasa kurang. Kurang untuk memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri lah, keluarga lah atau bahkan niat baik untuk masyarakat banyak. Manusiawi sekali, bukan? Tpi disitulah keimanan dan kesabaran kita diuji.
Mungkin saja hari-hari di depanku akan terasa lebih berat dengan tidak
adanya kendaraan yang dapat aku gunakan, namun aku yakin Allah sudah
mengatur semuanya sehingga apapun yang terjadi bisa aku hadapi dengan
kemudahan.In shaa Allah...