Dari beberapa yang ada, aku memilih sebuah masjid yang lumayan besar namun tidak terlalu menyolok keberadaannya karena posisinya yang terletak di sebuah jalan kecil di tengah-tengah pemukiman warga yang padat yang lumayan jauh dari jalan raya.
Sudah lama memang, aku berniat sekali menyambangi masjid ini karena meski tak terlihat dari jalan raya namun menara tunggalnya cukup tinggi dan memiliki desain yang menarik perhatian, menyeruak di balik padatnya rumah-rumah hunian yang mengelilinginya rapat. Putraku, yang pernah mengunjunginya, mengatakan bahwa masjid itu cukup populer di lingkungannya karena ketika ia melakukan saat shalat Dhuhur berjamaah di hari biasapun jemaatnya cukup banyak.
Ketika aku tiba disana sekitar 10 menit sebelum adzan berkumandang, hampir 70 persen ruangan masjid yang cukup luas ini sudah terisi, sementara jemaat terus berdatangan hingga akhirnya melimpah sampai ke teras dan halaman masjid.
Tak seperti di beberapa masjid lain, adzan dikumandangkan hanya sekali setelah sang khatib naik ke atas mimbar dan memberi salam. Dan setelah itu khatib langsung berkhutbah. Saat itu aku bertanya-tanya pada diri sendiri topik apakah yang akan menjadi materi khutbahnya, mengingat yang sedang menjadi trending topik adalah masalah penistaan agama Islam.
Sayangnya, aku tak pernah tau jawabannya...
Aku sempat heran dengan pembukaan khutbah berisikan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta shalawat kepada Rasulullah SAW, yang selalu dalam bahasa Arab, yang bagaikan tak kunjung selesai. Namun yang membuat aku kaget adalah bahwa ketika aku masih menunggu bagian khutbah berbahasa Indonesia, sang khatib mengambil posisi duduk beristirahat sebelum memulai khutbah bagian kedua. Rupanya, khutbah bagian pertama telah lengkap dan selesai disampaikannya melulu dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan bagian kedua yang tak diisi sedikitpun dengan bahasa Indonesia. Maklumlah...sebagai seorang yang ilmunya cetek, aku tak dapat membedakan mana bahasa Arab yang do'a, mana yang kutipan ayat Al-Qur'an dan mana yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-harinya.
Ada hal lain juga yang aku temui (sejauh ini) hanya di masjid tersebut. Tak lama setelah shalat Jum'at usai, sebagian kecil jemaat (nampaknya) melakukan shalat sunnah berjamaah. Aku yang hanya bisa menebak-nebak shalat apa yang mereka lakukan, memutuskan untuk meninggalkan masjid saja bersama sebagian besar jemaat yang langsung membubarkan diri ketimbang melakukan shalat sunnah sendirian yang bisa-bisa dianggap salah. Hasilnya, total waktu yang digunakan untuk khutbah dan shalat Jum'at menjadi relatif lebih pendek dari yang biasanya aku temui di tempat-tempat lain. Karena itulah dalam perjalanan menuju sekolah putraku, aku melewati beberapa masjid yang prosesi shalat Jum'at nya masih berlangsung, bahkan di masjid sekolah putraku, sang khatib masih tengah berkhutbah.
Entah apa yang menjadi patokan bagi para pengurus dan pihak manajemen masjid tersebut, namun buatku perbedaan seperti ini hanya merupakan suatu keanekaragaman yang ada dalam agama Islam di negeri ini.
Dan alhamdulillah hingga kini, tak pernah ada masalah bagi semua jemaat yang beribadah disana.
Suatu pengalaman baru lagi yang unik buatku. Memang jadinya aku tak mengerti apa yang disuarakan oleh sang khatib...tp itung-itung, pengalaman ini cukup mengingatkan aku pada kunjunganku ke tanah suci. :)