Tuesday, November 5, 2013

Jinx

Seorang teman bercerita tentang perkara yang baru ia alami akhir minggu kemarin. Mobilnya yang tengah dalam posisi terparkir di sisi jalan diserempet mobil lain sehingga dudukan kaca spionnya patah terhantam kaca spion mobil lainnya itu. beruntung temanku itu memang sedang berada di dalam mobilnya sehingga ia lalu dapat mengejar dan menghentikan mobil yang menyerempetnya. Maka setelah melalui negosiasi dan tawar menawar biaya dan upaya penggantian kerusakan yang ada kedua belah pihak mencapai kesepakatan secara damai.
Ceritanya lumayan seru karena ia juga menceritakannya dengan penuh semangat mengingat ia sempat khawatir jika urusan ini jadi bertele-tele dan mungkin berujung pada pertikaian yang buntu. Namun aku justru tertarik pada fakta yang bisa mengukuhkan pola pemikiranku yang selama ini ditentang banyak orang yang notabene kuanggap religius.

Aku selalu kesal dengan mereka yang menanggapi suatu musibah dengan nasehat atau himbauan agar kita seharusnya membaca doa-doa tertentu agar terhindar dari musibah. Pendek kata, seolah dengan membaca doa-doa tertentu kita akan (pasti) terhindar dari petaka. Lalu ketika kita telah membaca doa tertentu tapi masih mengalami musibah, berarti doa yang kita panjatkan belum lengkap atau bahkan salah.
Kejadian yang dialami temanku kemarin itu telah membuktikan bahwa musibah tetap saja menghampirinya bahkan ketika ia tidak sedang mengemudi dan mobilnya diparkir di posisi yang pada tempatnya. Sama halnya dengan orang yang memutuskan untuk tidak keluar rumah agar ia tidak mengalami kecelakaan tidak berarti ia akan terhindar dari kecelakaan. Umpamakan saja ia tengah bersantai dududk di atas sofa yang nyaman menikmati cemilan sambil menonton tv tiba-tiba diseruduk sebuah truk tronton yang rem-nya blog, kehilangan kendali dan menerobos tembok rumahnya.

Bagiku seburuk-buruknya musibah adalah perkara yang sudah disuratkan pada siapapun yang mengalaminya, baik itu dicoba dihindarinya atau tidak. Bukan berarti Tuhan tidak adil dengan menuliskan sesuatu yang buruk untuk terjadi pada manusia, namun aku yakin bahwa justru hal buruk yang dialami manusia merupakan pengimbang dari kebaikan yang kesemuanya hanya menunjukkan betapa adilnya Tuhan. Hanya saja manusia cenderung picik untuk bisa melihatnya. Sangatlah manusiawi jika di kala sedang ketiban sial, seseorang tidak ingat akan segala kebaikan yang pernah diterima sebelumnya. Aku tidak menganggap pemanjatan doa adalah hal yang sia-sia, namun aku tidak juga menganggapnya sebagai tiket jaminan untuk mendapatkan segala kebaikan atau untuk menolak bala. Aku meminta dalam doa keselamatan dan segala kebaikan dengan catatan aku juga harus ikhlas menerima ketentuanNya yang wujudnya justru bertolak belakang dari yang jadi pengharapkanku. Disitulah aku menjadi lebih realistis dalam berharap dari apa yang kuminta dari Tuhan.

Jadi...cukup lah kita mengutarakan rasa keprihatinan kita pada orang yang sedang atau telah menerima sebuah musibah tanpa kita harus mencoba mengajarkan orang teori ilmu yang bisa saja kelak akan membuatnya tambah kecewa jika terbukti tidak manjur buatnya.