Thursday, November 14, 2013

Broadcast

Lagi-lagi aku menulis postingan soal agama. Suatu hal yang sering aku hindari karena aku bukanlah ahli agama dan juga tidak suka menuai masalah. Tapi kali ini aku dibuat terkagum-kagum oleh hal yang dilakukan kakakku dua hari yang lalu.


#Puasa dibulan Muharram,pada Taasu'a(9 Muharram) dan hari ‘Asyura (10 Muharram)#

Bismillah,

Insya Allah Ta’alaa Puasa

9 Muharram jatuh tanggal 13-11-2013 (hari Rabu)
10 Muharram jatuh tanggal 14-11-2013 (hari Kamis)

Dianjurkan berpuasa pada tanggal sembilan muharram,berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata: tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka (para shahabat) berkata:wahai Rasulullah,itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara. Maka bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam : jika tiba tahun yang berikutnya,insya Allah kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.” (HR.Muslim:1134)

Hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura,maka beliau menjawab:


يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ


“menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR.Muslim:1162).



Begitulah tepatnya isi broadcast yang ia terima di hape-nya. Sengaja aku copy/paste-kan lengkap dengan tulisan aksara Arab-nya agar aku tidak salah tulis atau dianggap meng-edit konteksnya.
Maka beginilah ia merespon broadcast tersebut:


Menyimak cerita diatas:
Nabi Muhamad SAW bersabda: insya Allah (yg berarti atas ijin Allah) kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.
Yang menjadikan bahwa Allah tidak mengijinkan beliau dan para sahabatnya untuk berpuasa bersama-sama pada hari kesembilan tsb.


Yang aku kagumi darinya adalah bahasa halus dan sopan yang digunakan dalam mengungkapkan apa yang ia percaya benar tapi bisa dikatakan penentangan terhadap pesan yang terkandung dalam broadcast tersebut. Begitu santunnya hingga tentangan itu bisa jadi mencegah keinginan si pengirim broadcast untuk mendebatkannya jika bukan karena memang respon kakakku sangat masuk akal.

Aku menemukan banyak kesamaan prinsip beragama dengan kakakku yang satu ini. Mungkin karena kami pernah menjalani masa muda yang serupa dengan segala perjuangan terhadap tantangan hidup yang serupa pula. Sehingga kami sama-sama menilai banyak hal dengan logika yang menjadikan kami anti-fanatisme dalam beragama. Kami masih sering tukar pendapat tentang agama dan meskipun sesekali kami punya pengartian yang berbeda, dengan mudahnya kami menyudahinya secara damai dan ikhlas tanpa perlu saling berusaha untuk menjadi yang lebih benar.

2 hari belakangan ini adalah hari-hari ke 9 dan 10 bulan Muharram, yang dianggap banyak orang sebagai hari mustajab yang jika diisi dengan berpuasa niscaya puasanya akan memberikan imbalan yang berlipat-lipat. Ada yang mengatakan imbalannya puasa setahun, ada juga yang bilang pengampunan dosa selama setahun, dan lain sebagainya. Mengapa ada anggapan seperti itu? Sederhananya karena itulah yang tersebut dalam hadits di atas.
Aku tidak menentang puasa tersebut, namun yang tidak aku suka adalah mereka yang memperlakukannya sedemikian rupa sehingga terkesan sebagai suatu keharusan. Dari yang kesal jika himbauannya untuk menjalankan puasa tersebut tidak diindahkan, hingga yang berani menghakimi orang sebagai pendosa jika tidak menjalankannya.

Bedanya dengan kakakku, aku berulang kali berdiam menahan keinginan berkomentar dalam menghadapi kaum yang suka memberikan rupa mengerikan pada agama atau bahkan pada Tuhan dengan cara mengumbar ancaman hukuman yang berat bagi siapapun yang dinilainya berdosa. Ironisnya, hal tersebut sudah merembet ke hal-hal yang hanya formatnya sunnah, bukan wajib. Aku menahan diri karena aku memang bukan (lagi) seorang pendebat yang umumnya punya ideologi harus memenangkan setiap perdebatan. Aku justru menghindar dan menarik diri sebelum aku terjebak dalam arena perdebatan yang sangat mungkin mempertemukan aku dengan lawan yang memaksaku untuk percaya pada fahamnya yang dianggap paling benar.

Semua insan manusia punya hak untuk berpendapat dan aku hargai pendapat mereka. Perbedaan faham itu adalah variasi hidup yang dianugerahkan dariNya sehingga harusnya dimengerti dan diterima dengan baik oleh semua orang. Harusnya orang dengan mudah bisa menerima perbedaan tanpa harus merubahnya jika tidak dirasa perlu. Pada akhirnyapun, kelak di hadapanNya semua kembali pada individu masing-masing dimana segala keduniawian akan ditanggung sendiri-sendiri. Bak saat umat Islam berada di tanah suci, harusnya tak seorangpun yang punya waktu untuk mengurus orang lain yang punya faham berbeda agama dalam menjalani hari-harinya sebagai tamu Allah swt.


Insya Allah mereka, baik yang berpuasa sunnah maupun yang tidak, sama-sama berlimpah berkah dariNya. Aamiin.