Thursday, July 10, 2014

Pesta Kita dan Air Mata Mereka

Berita serangan brutal Israel terhadap rakyat Palestina di jalur Gaza itu tiba-tiba tersiar saat pesta demokrasi sedang berlangsung di negeri kita. Sekali lagi, (harusnya) kita terpana dan sedih lalu mengecam aksi biadab Israel yang keliatannya tidak akan pernah ada ujungnya. Namun apa yang terjadi disini justru mungkin lebih tragis dari segala kesuraman yang harus dihadapi warga Palestina selama sepekan terakhir ini. Seolah tidak ada yang lebih penting dari pemilihan presiden, sebagian besar dari masyarakat kita sibuk berkampanye, bertukar cerita tentang pengalamannya dalam mengikuti proses pemungutan suara hingga membahas tentang penghitungannya. Rasa kemanusiaan terasa telah dikandaskan oleh celotehan tentang pasangan mana yang berhak mendapat suara lebih banyak dari pasangan lainnya. Sementara perdebatan tentang hal-hal negatif dari masing-masing kandidat masih juga menjadi menu utama aktifitas mereka yang merasa pintar dan layak bicara.

Rakyat negara yang belum lagi berusia 70 tahun ini terlalu terlena dengan sistem pemilihan pemimpin negara yang belum lama mulai diterapkan. Persis seperti sejarah perkembangan telekomunikasi via telpon seluler sejak pertengahan tahun 90an, mental masyarakat kita ibarat badan kerempeng yang dicekoki supplemen steroid dalam dosis yang tinggi sehingga perkembangannya dipacu dengan paksa. Bukan mustahil jika di negeri ini, Nokia sempat mampu merilis sebuah tipe telpon seluler baru tiap minggunya sementara di Amerika, produk baru Nokia muncul tiap dua bulan sekali. Gambaran tentang kecanggihan hidup yang terbentuk di benak manusia Indonesia telah melumpuhkan kemampuannya untuk lebih banyak menggunakan logika. Akibatnya, hingga saat inipun gadget-gadget yang merupakan pengembangan dari telpon selular kini menjadi sesuatu yang sifatnya prioritas bagi hampir setiap orang hingga kita mampu mengesampingkan hal-hal lain yang harusnya lebih penting.

Kebanyakan dari kita tak henti-hentinya mebahas tentang PilPres yang telah berlangsung kemarin. Sebelumnya, kita sibuk ikut berkampanye secara freelance membela kandidat jagoan, dan kalau perlu menjelek-jelekan lawannya. Usainya proses PilPres kemarin tidak membuat kita merasa cukup tentunya sebelum kita tau pasti siapa pemenangnya yang akan diumumkan oleh KPU tanggal 22 Juli mendatang. Aku sangsi jika setelah itu kita bisa dan akan berhenti berbicara tentang PilPres. Asumsiku, semoga aku salah, yang terjadi justru hilangnya penghormatan terhadap yang menang, pengakuan dari yang kalah, keikhlasan dalam menerima keputusan dan pemeliharaan perdamaian. Pemraktekan sistem demokrasi yang masih belia ini telah melenakan dan membutakan masyarakat kita sehinga kita sangat tidak peka dengan hal-hal lain yang terjadi di luar lingkup itu.

Tentara Israel kemarin tertawa lagi di atas penderitaan rakyat Palestina yang kembali menangis. Foto-foto yang mengenaskan tentang hasil kesadisan Israel beredar lagi dimedia nyata maupun maya. Namun topik pembicaraan yang dipilih sebagian besar rakyat kita masih soal pesta demokrasi. Apa yang terjadi di Gaza memang tidak menyangkut agama-agama yang diakui di Indonesia, tidak juga berpautan dengan demokrasi kita yang akan dibentuk oleh masing-masing kandidat PilPres, atau bahan pangan kita yang katanya hasil importan, atau kandungan bumi yang banyak dikuasai pihak asing atau apapun yang telah menjadi bagian dari keramaian kampanye PilPres kali ini, tapi tentang kemanusiaan. Air mata rakyat Palestina menuntut solidaritas kita sebagai sesama umat manusia yang menghargai hidup, sebagai orang tua yang berusaha menciptakan masa depan yang baik untuk anaknya, dan sebagai anak yang butuh orang tua untuk melindunginya.

Dan ketika apa yang mereka miliki terdzalimi begitu saja, masihkah juga kita bicara tentang pesta demokrasi melebihi porsinya?