Tuesday, November 25, 2014

Drama

So it begins to show who are still getting tied up with disappointment over the new government, and who are getting fed up with their attitudes toward it.

Looks like it's gonna be a long lasting drama...
 


Wednesday, November 19, 2014

Never Give Up

Tepat pukul 00:00 kemarin, akhirnya harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi; Premium dan Solar dinaikkan oleh pemerintahan baru yang dimulai sejak akhir bulan lalu. Memang dilihat sepintas, kenaikan harga BBM ini terasa janggal mengingat saat ini harga minyak dunia justru sedang menurun. Apalagi partai yang kemarin mengusung capres Jokowi kerap menyuarakan ketidaksetujuannya pada rencana kenaikan BBM yang terhembus di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Belum lagi jenis BBM yang harganya dinaikkan hanya yang menjadi konsumsi mayoritas penduduk negeri ini yang tingkat kehidupannya di bawah level "sangat kecukupan".

Alhasil, tidak hanya mereka yang dulu memihak Prabowo, tapi juga para pendukung Jokowi kini mengeluh atas kebijakan ini. Di luar itu, kebanyakan dari pendukung Prabowo mencibir bahkan mensukurin mereka yang dulu memilih Jokowi untuk menjadi presiden. Sementara pendukung Jokowi kini lebih memilih tidak memberikan pembelaan atas keputusan presiden pilihannya seolah memang tidak ada hal apapun yang dirasa mampu membenarkannya.
Sebenarnya seperti apakah sikap yang harus dimiliki oleh baik pendukung Jokowi maupun Prabowo dalam menghadapi  situasi seperti ini?

Kenaikan harga BBM itu bukan hal yang baru bagi negeri ini. Di setiap era kepemimpinan para presiden yang hebat (karena tidak semua presiden kita orang yang hebat), hal itu pasti terjadi. Kalau hanya dipatok dari harga minyak dunia, tentunya kita seolah tidak punya masalah lain di negeri ini. Tapi buktinya, kita punya begitu banyak urusan yang harus dibenahi sehingga pembenahannya bisa, mau tidak mau, melibatkan berbagai sektor. Bisa jadi saat ini, dinaikannya harga BBM itu bermaksud untuk mengatasi satu atau lebih masalah yang sedang kita hadapi. Bahwa kali ini, yang jadi tumbal bukan termasuk kalangan "mewah", ya tidak selalu mereka harus jadi bagian juga. Mungkin suatu hari nanti, akan ada kebijakan yang melulu hanya berdampak buruk pada mereka yang punya harta berlimpah.

Segala hal yang terjadi di seputar kenaikan BBM selalu sama dari masa ke masa. Berburu bensin hingga rela mengantri sekian lama di SPBU, aksi menentang dari berbagai kalangan, protes menuntut diturunkannya kembali harga yang telah terlanjur dinaikkan, ikut naiknya harga kebutuhan rumah tangga dan tarif angkutan umum, dll. Dengan terjadinya semua itu, hanya sesekali saja ada kebijakan susulan yang menetralisir kegundahan rakyat. Sisanya, harga BBM tetap pada pakemnya karena dirasa sebagai hal yang paling tepat untuk dijalankan oleh pemerintah. Dan akhirnya toch masyarakat luas mau dan mampu menerima dan mengatasi dampaknya.

Sudah untuk sekian lama dunia menganggap perekonomian negara kita ini ringkih dan tidak stabil. Dan kebanyakan dari kitapun sudah mengakuinya. Tapi bahwa hingga saat ini kita masih eksis, itu menandakan bahwa untuk sekian lama pula usaha kita untuk bangkit tidak menemui jalan buntu, dengan siapapun kita dipimpin. Jika kita dianggap terpuruk, kita bukanlah negara satu-satunya, apalagi masih ada negara lain yang kondisi perekonomiannya lebih buruk. Sejak awal, kita sudah memulai bangkit tanpa topangan negara-negara kapitalis. Boleh saja Malaysia, Filipina, Singapura atau Hong Kong menempati posisi di atas kita dalam hal kemakmuran, namun sejarah menunjukkan negara besar mana saja yang pernah ada di belakang mereka di awal kedaulatannya sebagai sebuah negara merdeka. Kemerdekaan yang kita raih 69 tahun yang lalu itu merupakan kemerdekaan yang murni dari keterlibatan negara kapitalis.

Kita baru memulai era baru dengan pemimpin negara dan jajaran alat pemerintahan yang baru. Seperti halnya yang sudah lalu, selayaknyalah kita memberi kesempatan kepada mereka dan diri kita sendiri untuk membangun negeri ini. Beri kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan yang mungkin sudah terlalu lama kita alami. Beri kesempatan untuk menjadi dewasa dan bijaksana dalam berjuang mendapatkan hidup yang lebih baik tanpa harus saling mencibir, mensukurin, mengejek atau mengecam. Bagaimanapun, kita adalah bangsa yang punya leluhur yang dari awal tidak pernah menyerah memperjuangkan kemuliaan bagi negeri ini.
Be humble and never give up!



Thursday, November 13, 2014

Bukan Seniman

Kedua putra ku memang punya tabiat menunda pekerjaan yang tidak diminatinya. Hal ini adalah sesuatu yang aku maklumi karena hingga sekarangpun aku terkadang masih melakukannya saat aku merasa sedang melakukan hal lain yang aku anggap tidak mungkin ditinggalkan. Namun makin lama kebiasaan mereka makin parah karena seringkali penundaah itu disebabkan oleh acara televisi atau permainan video game. Padahal apa yang sering mereka tunda hanyalah pekerjaan yang sangat ringan seperti mengambil benda yang jatuh ke lantai. Dan aku sudah sering mengomel sanbil mengancam memberikan sanksi seperti pelarangan menonton televisi atau bermain video game untuk periode yang (bagi mereka) cukup panjang jika mereka tidak segera melakukan apa yang harus mereka prioritaskan terlebih dahulu.

Mungkin penundaan seperti ini bisa dianggap masalah sepele kalau saja mereka nantinya tidak lalu lupa untuk melakukannya. Faktanya, kadang mereka baru ingat setelah terlambat atau waktu yang tersisa tinggal sedikit. Misalnya penyiapan buku pelajaran atau pembuatan pe-er yang selalu aku minta untuk dilakukan begitu mereka tiba di rumah sepulangnya dari sekolah. Alhasil karena penundaan itu, sering kali mereka baru menyadari jika ada hal yang harus dibeli saat toko-toko telah tutup. Pengingatan mereka juga acap terjadi setelah ada teman yang menanyakannya. Begitu pula dengan seragam sekolah yang harus dikenakan namun ternyata masih harus disetrika bahkan belum dicuci.

Sejauh ini aku selalu mencoba bersabar dengan hanya mengingatkan bahwa suatu hari nanti penundaan seperti itu akan berdampak vital dalam hidup mereka. Aku pun sering harus membantu mereka keluar dari permasalahannya hingga larut malam saat mereka sudah tertidur pulas hanya karena aku tak ingin mereka mendapatkan hukuman dari gurunya. Terdengar memanjakan memang, namun selama aku menganggap masih ada harapan buat mereka untuk berubah, aku tidak keberatan untuk membantu melepaskan mereka dari ancaman dapat nilai rendah di sekolah.

Hari Minggu kemarin, aku memaksa anak sulungku untuk mengerjakan pe-er prakarya yang seharusnya telah dimulainya seminggu yang lalu. Suatu proyek panjang yang layaknya dicicil mengingat proses pengerjaan yang tidak mudah. Tugas utamanya adalah mengepang 3 batang kertas koran hingga membentuk sebuah tali yang panjangnya tidak boleh kurang dari 10 meter bahkan dianjurkan hingga 20 meter. Makin panjang makin baik. Namun untuk mendapatkan batangan kertas itu, ia harus sebelumnya memotong kertas koran selebar 6 cm, yang kemudian dilipat sebanyak 4 kali hingga membentuk sebatang kertas. Dan dengan setiap 3 batang yang dikepang itu dihasilkan seuntai tali sepanjang lebih kurang 30 centimeter. Jika untuk mendapatkan tali sepanjang 3 meter dibutuhkan 30 potongan kertas koran, maka bisa dibayangkan beban kerjaan yang dimilikinya untuk mendapatkan tali sepanjang 10 meter.
Untuk mempercepat waktu pekerjaan sekaligus mengurangi beban kerjanya, aku turun tangan dalam memotong dan melipat kertas korannya sehingga siap dikepang olehnya. Maka kami pun mengerjakannya selama seharian hingga ia berhasil mendapatkan untaian tali sepanjang 8 meter di penghujung hari yang akan ia bawa ke sekolah.

Dan di malam hari berikutnya, sepulangku dari bekerja, aku menanyakannya tentang apa yang terjadi di sekolah dengan hasil kerjanya. Ia lalu menceritakan dengan singkat bahwa disamping mendapat pujian, ia dianjurkan untuk melanjutkan tugasnya hingga panjang tali mencapai minimum 10 meter. Ia juga mengatakan bahwa masih banyak temannya yang bahkan belum mengerjakannya hingga sepanjang 5 meter. Hal itu membuatku lega karena nyatanya ia telah mengerjakan lebih banyak dari kebanyakan temannya.
Namun di pagi keesokan harinya, ketika aku melihatnya tengah menyiapkan tas sekolah yang seharusnya dilakukan di malam sebelumnya, aku tidak melihatnya mengeluarkan tali tersebut. Aku menanyakan dimana tali itu disimpan dan aku mulai curiga ketika ia mulai mencari sambil mengaduk-aduk isi tasnya. Bahwa kemudian ia ingat tali tersebut tertinggal di laci bangku sekolahnya, aku menjadi geram. Buatku, "kelupaan" itu harusnya telah terpikirkan olehnya ketika semalam ia bercerita padaku.

Kegeramanku berdasar pada kelalaiannya dalam menyimpan suatu barang berkarya yang telah dilakukannya seharian. Sementara hasil kerjanya itu merupakan barang yang mungkin saja sangat berharga bagi teman yang menemukannya mengingat semua siswa setingkatnya punya kewajiban membuat tugas yang sama. Hasil kerjanya itu tidak terindikasi sebagai miliknya karena tidak bernama sehingga dengan mudah diakui orang lain sebagai miliknya sementara tidak mungkin anakku bisa membuktikan jika barang itu memang miliknya.

Sebenarnya aku sudah seringkali hanya menceramahinya kalau ia melupakan suatu barang yang ia dapatkan secara gratis seperti barang-barang yang didapatkannya sebagai hadiah atau pemberian. Namun kali ini aku sangat kesal melihat begitu cerobohnya ia dalam menjaga suatu barang yang merupakan hasil jerih payahnya. Bagaimana pula orang lain akan menghargai hasil kerjanya jika ia sendiri tidak dapat menghargainya?
Alhasil, aku tidak hanya mengomel panjang lebar pagi itu, namun juga mengantarnya ke sekolah lebih awal untuk mencarinya . Beruntung baginya barang itu masih ada di tempat ia meninggalkannya kemarin. Tidak terbayang betapa akan tidak bersemangatnya ia untuk memulainya lagi dari nol.
Ia memang bukan (baca: belum jadi) seniman yang layaknya menghargai hasil seni yang dibuatnya, tapi ia tetap harus bertanggung jawab atas tugas-tugasnya sebagai seorang murid. Dan ia juga tetap harus menerima sanksi yang lebih berat dari yang pernah ia terimanya.
Semoga itu membuatnya jera dan menjadikannya orang yang lebih menghargai kewajibannya...



Kesabaran Dan Konsekuensinya


Pasti kita sering dengar "Batas Kesabaran" diungkapkan orang. Biasanya oleh mereka yang ingin menjadikannya sebagai alasan untuk berhenti bersabar setelah (menurutnya) ia sudah lama bersabar. Apa yang kemudian terjadi selepas batas kesabaran itu lebih bersifat negatif atau minimal merugikan suatu pihak atau lebih. Misalnya dengan melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan seseorang hanya karena kesabaran sudah melewati batas yang ia tentukan.

Jika seseorang yang pesabar menjadi marah karena merasa didzalimi secara berlebihan, bisa jadi ia akan mengatakan bahwa pendzaliman itu sudah melampaui batas kesabarannya. Kemarahan ini paling tidak merupakan hal yang negatif bagi dirinya sendiri. Belum lagi buat pihak yang menerima amarahnya. Mari tidak kita bahas sampai sejauh mana efek negatif dari kemarahan itu bila pihak yang dimarahinya tidak terima.

Orang lain sering menghakimi kita dengan menyebut batas kesabaran yang kita tentukan itu terlalu rendah, tapi berpatokan pada apa penghakiman itu dibuat? Apakah memang kesabaran itu ada batasnya? Kembali lagi pada salah satu hadist terpendek yang pernah aku baca, bahwa iman itu terbagi dua. Separuh dalam sabar, separuh lagi dalam syukur. Buatku, tarfsiran hadist ini adalah ketika hanya kesabaran dan rasa syukur yang ada dalam diri kita dan mereka berimbang, saat itulah kita beriman. Tidak hanya ketika kita lupa untuk bersyukur, tapi juga ketika kesabaran kita pupus, tentunya kita sedang kehilangan keimanan kita.

Jujur saja, kesabaranku juga kerap kali menguap di saat aku lupa atas apa yang telah aku terima dan melulu hanya memikirkan apa yang aku harapkan tapi belum aku dapatkan. Tapi, aku cenderung hanya merugikan diriku sendiri tanpa sedetikpun mencoba menyalahkan orang lain karena sederhananya aku tidak merasa hal itu akan berpengaruh pada kondisi yang aku hadapi. Kehilangan kesabaran yang berujung pada kekesalan atau kemarahan itu aku lampiaskan pada diriku saja agar dampaknya tidak merembet kemana-mana, meskipun aku sadar bahwa pelampiasan seperti itu tetap saja tidak pada tempatnya.
Tentunya, pada situasi yang nyaman, aku sering menganggap bahwa kesabaran itu harusnya tak pernah aku batasi selama aku ingin keimananku tidak sirna. Tapi aku juga terus menerus mengingatkan diri sendiri agar di saat yang tidak menguntungkan, aku seharusnya tidak mencari kambing hitam atas kesialanku.

Kesabaran itu erat sekali hubungannya dengan menunggu, karena menunggu membutuhkan kesabaran. Sangat mungkin menunggu itu ada batas waktunya, namun bukan berarti di ujung batas penantian kesabaran kita dianggap habis karena dari awal kita sudah men-set kesabaran itu pada batas menunggu. Selama kita sabar menunggu hingga batas waktu yang telah ditentukan, kita telah mengemban tugas bersabar dengan baik. Jika apa yang ditunggu memang tidak muncul, akan ada lagi bentuk kesabaran yang terbentuk yang harus kita jalani sampai batas waktu yang berbeda.

Lain halnya dengan kesabaran yang terhenti sebelum batas waktu menunggu itu tercapai. Kalau itu adalah mobil, misalnya, yang tak kunjung hadir padahal sudah dijanjikan dikirim oleh dealer pada waktu tertentu, bisa saja kita kesal karena kesabaran kita sudah kita sinkronisasikan dengan waktu pengiriman itu. Tapi bila kita berhenti bersabar karena kekayaan yang belum juga dimiliki sementara tidak seorangpun berjanji akan melimpahkannya, itu aku anggap tidak benar. Dalam hal ini, satu-satunya yang bisa menjanjikan rezeki seperti itu hanya Allah, dan dilakukanNya tanpa sepengetahuan kita. Ya kalau memang dijanjikan (tanpa batas waktu), tapi kalau ternyata memang tidak menjadi milik kita?

Jadi soal menunggu untuk berkah dan rezeki, waktunya tidak terbatas. Bahwa kita mau menunggu dan untuk berapa lamanya, itu keputusan kita. Yang jelas, aku tidak mau berhenti berharap dan berhenti menunggu untuk yang satu ini. Bisa jadi aku justru menunggu untuk sesuatu yang tidak akan aku dapati. Tapi apapun yang nantinya terjadi, jika memang aku berhenti bersabar dengan cara mengakhiri kesabaranku, aku tidak ingin kemudian kesal pada orang lain. Satu-satunya pihak kepada siapa aku bisa melempari kekesalanku hanyalah Allah, dan itu tidak selayaknya dilakukan sehingga akan menjadi beban dosa yang berat sekali. Dengan dosa yang mungkin tidak seberapa, tetap saja aku tak ingin menjadikan orang lain sebagai target kekesalanku.

Jadi....
Jika kita memutuskan untuk menunggu rezeki, berarti kita berkomit pada kesabaran yang amat sangat tinggi. Sesukses apapun usaha penantian kita, hanya Allah swt lah yang tau persis bagaimana menghargainya. Sedangkan disaat kita mengakhiri kesabaran kita sebelum waktu penantian itu berakhir, hargailah keputusan itu dengan baik tanpa mencari pihak untuk disalahkan. Karena keputusan yang kita pilih itu juga menjadi urusan hanya antara kita dan Allah swt, tanpa melibatkan orang lain. After all, segala konsekuensinya khan kita saja yang menanggungnya...bukan orang lain.



Monday, November 10, 2014

Bodoh Mungkin, Tapi Yang Penting Benar.

Mungkin memang bukanlah hal yang mudah untuk menjalankan amanah. Pesan seseorang yang kita terima dan lalu kita jadikan sebagai sebuah janji untuk dilaksanakan saja sering begitu mudahnya terbengkalai dengan alasan klasik yang (menurut pendapat banyak orang) mau tidak mau harus diterima: lupa.
Jujur saja, aku bahkan sering menganggap ringan janji yang pernah aku ucapkan bila keadaan yang aku hadapi aku anggap sebagai suatu halangan yang cukup untuk dijadikan alasan.

Namun amanah dari mendiang ayahku yang satu ini tidak seperti hal-hal lain yang pernah aku jadikan sebagai janji untuk siapapun. Meskipun aku tidak pernah secara langsung berjanji akan melanjutkan niat baiknya dalam menyantuni begitu banyak mantan pegawai perusahaan yang pernah dipimpinnya, tapi penyampaian tentang niatnya ini kepadaku sekitar 3 bulan sebelum kepergiannya aku jadikan sebagai sebuah amanah tidak langsung darinya yang layak aku jalankan sebagai ahli warisnya.

Yang mengherankan justru mengapa dalam situasi yang rumit seperti sekarang ini, dimana wadah yang diciptakan oleh ayahku untuk dijadikan kendaraan dalam memperjuangkan niatnya ini praktis mogok dan harus dilepas dengan kompensasi yang jauh di bawah nilainya, ada saja pihak-pihak yang lalu berharap lain tanpa peduli dengan nasib mereka yang pernah diperjuangkan oleh ayahku semasa hidupnya? Parahnya, harapan lain itu justru tercetus demi kepentingan pribadi.

Anggap saja ayahku meninggalkan sebuah mobil mewah yang rencananya dipakai sebagai alat transportasi bagi sejumlah orang. Bahwasanya saat ini, mobil itu mogok sedangkan aku tidak mungkin mampu membayar biaya perbaikan dan pemeliharaan yang mahal itu, aku dengan mudah dapat menjualnya sebagai mobil rusak yang nilainya jauh lebih rendah. Dari hasil penjualan itu, aku lalu membeli sebuah mobil lain yang murah , tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti halnya sebuah mobil mewah namun tetap bisa digunakan sebagai alat transportasi.

Pertanyaannya, sementara aku sendiri bukanlah termasuk orang yang hidup berkecukupan, apa iya aku lebih memilih menggunakan hasil penjualan mobil rusak itu untuk mencukupi kebutuhanku ketimbang mewujudkan niat ayahku? Apakah itu hal yang benar untuk dilakukan jika aku beranggapan bahwa ayahku tentu akan senang melihatku hidup berkecukupan? Apakah semua yang aku terima dari ayahku selama hidupnya masih begitu kurang sehingga aku perlu memprioritaskan kepentinganku di atas kepentingan orang lain?
Jawabanku: sama sekali tidak.

Kenyataannya, ada saja yang merasa hal itu layak dilakukan dengan berbagai macam dalih, termasuk demi pemenuhan rukun terakhir Islam. Tak hanya saudara sekandung, namun mereka yang bukan anak ayahku tiba-tiba merasa punya hak mutlak atas kompensasi yang buatku juga menjadi hak para mantan pegawai ayahku, sekecil apapun jumlahnya dan seberapa kecukupanpun hidup mereka. Intinya, aku lebih suka tidak mendapatkan sepeserpun selama niat baik ayahku terpenuhi. Apalagi jika dikemudian hari usahaku untuk mewujudkan niatnya memenuhi kegagalan. Tak terbayangkan bagaimana aku hidup berkecukupan sementara amanah ayahku sama sekali tidak aku bela.

Aku sudah berkali-kali mencoba menerima dengan ikhlas apa yang aku dapatkan (dan yang tidak aku dapatkan). Meski bukan hal yang mudah, aku sering mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa perjuangan yang aku lakukan dalam hidupku ini didasari kepentingan Ukhrawi, dan bukan Duniawi. Dari situ aku belajar berikhlas, tidak hanya untuk kebaikanku saja tapi juga untuk kebaikan para penerusku di akhir zaman. Jika memang apa yang aku perjuangkan dianggap sebagai suatu hal yang bodoh karena tidak membuat hidupku sendiri di dunia ini lebih baik, paling tidak ada niat mulia yang mendasarinya. Dan buatku, kebenaranlah yang lebih penting bagiNya. In shaa Allah...




Wednesday, November 5, 2014

Pelajaran Dari Ayahku, Prabowo dan Jokowi

Setelah bergulat mati-matian (aku tidak berlebihan dalam hal ini) memperjuangkan amanah yang ditinggalkan mendiang ayahku untuk memperbaiki hidup ratusan mantan perusahaan yang pernah dipimpinnya, bahkan dengan menceburkan diri kedalamnya, akhirnya aku harus rela melepaskan hasil jerih payahnya dengan kompensasi yang buatku jauh di bawah harapan. Menyakitkan memang, terlebih ketika perjuanganku dilandasi komitmen yang begitu besar pada amanah beliau yang disampaikannya padaku sekitar 3 bulan sebelum kepergiannya. Namun aku harus ikhlas menerima "kegagalan" yang bukan merupakan suatu "kekalahan" di segala hal. Kalau ada yang mengingatkan aku bahwa "kegagalan adalah sukses yang tertunda", aku akan menyambutnya dengan "in shaa Allah". Kenapa tidak? Toch aku memang belum tau apa yang akan terjadi di depan nanti setelah kegagalan ini aku alami, dan kesuksesan tentunya merupakan pengharapanku.

Sama halnya dengan kegagalan Prabowo dalam memenangkan kursi kepresidenan yang dipertarungkan kemarin. Tapi apakah kegagalannya itu pantas disebut sebagai kekalahan? Dalam perebutan kursi mungkin bisa, tapi mungkin saja suatu hari nanti kegagalan ini justru memberikannya kemenangan dalam hal lain. Prabowo pun telah menunjukkan sikap karismatik dan legowonya dengan memberikan salam hormat pada Jokowi sesaat sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden terpilih, sementara Jokowi sendiri dengan kesederhanaannya membungkuk di hadapannya. Sikap-sikap kepemimpinan yang sportif yang layaknya patut ditiru oleh para pendukungnya.

Lalu bagaimana dengan para pendukung Prabowo sendiri?
Aku selalu ingat perkataan kakakku dahulu kala sesaat sebelum pertarungan tinju antara Muhammad Ali dan Joe Frazier dimulai. Ia mengoreksi ucapanku yang mengisyaratkan harapan agar Frazier kalah dengan anjuran agar aku mendoakan Ali menang. Dengan begitu, meskipun artinya sama, namun sebaiknya doa yang terucap dari mulutku merupakankan suatu hal yang bersifat kebaikan dan bukan keburukan.
Selayaknya para pendukung ini mengharapkan posisi Prabowo yang bukan sebagai presiden justru memberikan hal yang positif bagi dirinya. Bukan mengharapkan Jokowi akan menemui banyak masalah dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden.

Sejak awal dimulainya pertarungan perebutan kursi kepemimpinan negara ini aku lebih memilih tidak ikutan berkampanye. Aku justru lebih menyimak teman dan kerabat yang kerap berdebat dan saling menyerang demi membela jagoannya, terutama di jejaring sosial. Yang mengherankan, mengapa setelah semua harusnya berakhir saat pemenang pertarungan diumumkan, perdebatan itu masih berlangsung? Tak hanya itu, meskipun ada kalanya perdebatan bisa dihindari, namun ahlak buruk pendukung masing-masing kubu tetap dipertahankan seolah keikhlasan menerima kenyataan itu masih belum ada. Dari mulai cibiran, keluhan atau sarkasme yang terlontarkan dalam postingan atau komen, sampai drastisnya penurunan jumlah orang yang "mau" berpartisipasi di postingan "teman" yang kebetulan berseberangan kubu. Sampai segitunya "sakit hati" yang tersisa rupanya...ckckck...

Sama halnya dengan pendukung Jokowi yang telah mencurahkan segenap dukungan moril dan materilnya, seharusnya siap menerima keadaan apapun yang terbentuk setelah Jokowi menjadi presiden. Kenyataannya, banyak dari mereka yang kini kecewa karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan sebelumnya. Rupanya ada konsep "pamrihan" di belakang aksi dukungan yang diberikan selama kampanye sehingga kemenangan yang didapat Jokowi dirasa sebagai sesuatu yang mengandung imbalan "pribadi" untuk pendukungnya, bukan untuk negara secara keseluruhan. Aku melihat betapa meredamnya dukungan mereka pasca pemerintahan baru mulai berjalan. Bahkan tidak sedikit yang justru mulai mengicaukan kekecewaannya karena merasa kebijakan Jokowi tidak sejalan lagi dengan harapannya.

Jika aku sekarang mencoba berusaha melakukan manuver dalam mencari jalan lain yang sekiranya tetap bisa mewujudkan amanah mendiang ayahku, mengapa tidak para pendukung Jokowi dan Prabowo juga melakukan hal yang sama? Aku mencoba membayangkan apa yang kira-kira akan ayahku lakukan di posisiku? Aku yakin beliau tidak akan lalu "mutung" bahkan mencoba menggagalkan siapapun yang akhirnya meneruskan usaha yang telah dirintisnya. Beliau yang memang bukan seorang pendendam, mungkin akan mencoba menggunakan situasi ini untuk mewujudkan impiannya dengan cara yang tidak merugikan siapapun. Begitu pula harusnya yang dilakukan pendukung Prabowo dalam menjalani hari-harinya sebagai warga negara yang dipimpin oleh seorang Jokowi. Karena biar bagaimanapun, siapapun yang jadi presidennya, hidup tenang, makmur dan sentosa di negara ini tentunya adalah hal yang diinginkan semua orang. Bagaimana mungkin hidup tenang jika kita sendiri tidak ikhlas menerima apa yang sudah digariskanNya?

MOVE ON, PEOPLE...

 .