Thursday, November 13, 2014

Kesabaran Dan Konsekuensinya


Pasti kita sering dengar "Batas Kesabaran" diungkapkan orang. Biasanya oleh mereka yang ingin menjadikannya sebagai alasan untuk berhenti bersabar setelah (menurutnya) ia sudah lama bersabar. Apa yang kemudian terjadi selepas batas kesabaran itu lebih bersifat negatif atau minimal merugikan suatu pihak atau lebih. Misalnya dengan melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan seseorang hanya karena kesabaran sudah melewati batas yang ia tentukan.

Jika seseorang yang pesabar menjadi marah karena merasa didzalimi secara berlebihan, bisa jadi ia akan mengatakan bahwa pendzaliman itu sudah melampaui batas kesabarannya. Kemarahan ini paling tidak merupakan hal yang negatif bagi dirinya sendiri. Belum lagi buat pihak yang menerima amarahnya. Mari tidak kita bahas sampai sejauh mana efek negatif dari kemarahan itu bila pihak yang dimarahinya tidak terima.

Orang lain sering menghakimi kita dengan menyebut batas kesabaran yang kita tentukan itu terlalu rendah, tapi berpatokan pada apa penghakiman itu dibuat? Apakah memang kesabaran itu ada batasnya? Kembali lagi pada salah satu hadist terpendek yang pernah aku baca, bahwa iman itu terbagi dua. Separuh dalam sabar, separuh lagi dalam syukur. Buatku, tarfsiran hadist ini adalah ketika hanya kesabaran dan rasa syukur yang ada dalam diri kita dan mereka berimbang, saat itulah kita beriman. Tidak hanya ketika kita lupa untuk bersyukur, tapi juga ketika kesabaran kita pupus, tentunya kita sedang kehilangan keimanan kita.

Jujur saja, kesabaranku juga kerap kali menguap di saat aku lupa atas apa yang telah aku terima dan melulu hanya memikirkan apa yang aku harapkan tapi belum aku dapatkan. Tapi, aku cenderung hanya merugikan diriku sendiri tanpa sedetikpun mencoba menyalahkan orang lain karena sederhananya aku tidak merasa hal itu akan berpengaruh pada kondisi yang aku hadapi. Kehilangan kesabaran yang berujung pada kekesalan atau kemarahan itu aku lampiaskan pada diriku saja agar dampaknya tidak merembet kemana-mana, meskipun aku sadar bahwa pelampiasan seperti itu tetap saja tidak pada tempatnya.
Tentunya, pada situasi yang nyaman, aku sering menganggap bahwa kesabaran itu harusnya tak pernah aku batasi selama aku ingin keimananku tidak sirna. Tapi aku juga terus menerus mengingatkan diri sendiri agar di saat yang tidak menguntungkan, aku seharusnya tidak mencari kambing hitam atas kesialanku.

Kesabaran itu erat sekali hubungannya dengan menunggu, karena menunggu membutuhkan kesabaran. Sangat mungkin menunggu itu ada batas waktunya, namun bukan berarti di ujung batas penantian kesabaran kita dianggap habis karena dari awal kita sudah men-set kesabaran itu pada batas menunggu. Selama kita sabar menunggu hingga batas waktu yang telah ditentukan, kita telah mengemban tugas bersabar dengan baik. Jika apa yang ditunggu memang tidak muncul, akan ada lagi bentuk kesabaran yang terbentuk yang harus kita jalani sampai batas waktu yang berbeda.

Lain halnya dengan kesabaran yang terhenti sebelum batas waktu menunggu itu tercapai. Kalau itu adalah mobil, misalnya, yang tak kunjung hadir padahal sudah dijanjikan dikirim oleh dealer pada waktu tertentu, bisa saja kita kesal karena kesabaran kita sudah kita sinkronisasikan dengan waktu pengiriman itu. Tapi bila kita berhenti bersabar karena kekayaan yang belum juga dimiliki sementara tidak seorangpun berjanji akan melimpahkannya, itu aku anggap tidak benar. Dalam hal ini, satu-satunya yang bisa menjanjikan rezeki seperti itu hanya Allah, dan dilakukanNya tanpa sepengetahuan kita. Ya kalau memang dijanjikan (tanpa batas waktu), tapi kalau ternyata memang tidak menjadi milik kita?

Jadi soal menunggu untuk berkah dan rezeki, waktunya tidak terbatas. Bahwa kita mau menunggu dan untuk berapa lamanya, itu keputusan kita. Yang jelas, aku tidak mau berhenti berharap dan berhenti menunggu untuk yang satu ini. Bisa jadi aku justru menunggu untuk sesuatu yang tidak akan aku dapati. Tapi apapun yang nantinya terjadi, jika memang aku berhenti bersabar dengan cara mengakhiri kesabaranku, aku tidak ingin kemudian kesal pada orang lain. Satu-satunya pihak kepada siapa aku bisa melempari kekesalanku hanyalah Allah, dan itu tidak selayaknya dilakukan sehingga akan menjadi beban dosa yang berat sekali. Dengan dosa yang mungkin tidak seberapa, tetap saja aku tak ingin menjadikan orang lain sebagai target kekesalanku.

Jadi....
Jika kita memutuskan untuk menunggu rezeki, berarti kita berkomit pada kesabaran yang amat sangat tinggi. Sesukses apapun usaha penantian kita, hanya Allah swt lah yang tau persis bagaimana menghargainya. Sedangkan disaat kita mengakhiri kesabaran kita sebelum waktu penantian itu berakhir, hargailah keputusan itu dengan baik tanpa mencari pihak untuk disalahkan. Karena keputusan yang kita pilih itu juga menjadi urusan hanya antara kita dan Allah swt, tanpa melibatkan orang lain. After all, segala konsekuensinya khan kita saja yang menanggungnya...bukan orang lain.