Thursday, November 13, 2014

Bukan Seniman

Kedua putra ku memang punya tabiat menunda pekerjaan yang tidak diminatinya. Hal ini adalah sesuatu yang aku maklumi karena hingga sekarangpun aku terkadang masih melakukannya saat aku merasa sedang melakukan hal lain yang aku anggap tidak mungkin ditinggalkan. Namun makin lama kebiasaan mereka makin parah karena seringkali penundaah itu disebabkan oleh acara televisi atau permainan video game. Padahal apa yang sering mereka tunda hanyalah pekerjaan yang sangat ringan seperti mengambil benda yang jatuh ke lantai. Dan aku sudah sering mengomel sanbil mengancam memberikan sanksi seperti pelarangan menonton televisi atau bermain video game untuk periode yang (bagi mereka) cukup panjang jika mereka tidak segera melakukan apa yang harus mereka prioritaskan terlebih dahulu.

Mungkin penundaan seperti ini bisa dianggap masalah sepele kalau saja mereka nantinya tidak lalu lupa untuk melakukannya. Faktanya, kadang mereka baru ingat setelah terlambat atau waktu yang tersisa tinggal sedikit. Misalnya penyiapan buku pelajaran atau pembuatan pe-er yang selalu aku minta untuk dilakukan begitu mereka tiba di rumah sepulangnya dari sekolah. Alhasil karena penundaan itu, sering kali mereka baru menyadari jika ada hal yang harus dibeli saat toko-toko telah tutup. Pengingatan mereka juga acap terjadi setelah ada teman yang menanyakannya. Begitu pula dengan seragam sekolah yang harus dikenakan namun ternyata masih harus disetrika bahkan belum dicuci.

Sejauh ini aku selalu mencoba bersabar dengan hanya mengingatkan bahwa suatu hari nanti penundaan seperti itu akan berdampak vital dalam hidup mereka. Aku pun sering harus membantu mereka keluar dari permasalahannya hingga larut malam saat mereka sudah tertidur pulas hanya karena aku tak ingin mereka mendapatkan hukuman dari gurunya. Terdengar memanjakan memang, namun selama aku menganggap masih ada harapan buat mereka untuk berubah, aku tidak keberatan untuk membantu melepaskan mereka dari ancaman dapat nilai rendah di sekolah.

Hari Minggu kemarin, aku memaksa anak sulungku untuk mengerjakan pe-er prakarya yang seharusnya telah dimulainya seminggu yang lalu. Suatu proyek panjang yang layaknya dicicil mengingat proses pengerjaan yang tidak mudah. Tugas utamanya adalah mengepang 3 batang kertas koran hingga membentuk sebuah tali yang panjangnya tidak boleh kurang dari 10 meter bahkan dianjurkan hingga 20 meter. Makin panjang makin baik. Namun untuk mendapatkan batangan kertas itu, ia harus sebelumnya memotong kertas koran selebar 6 cm, yang kemudian dilipat sebanyak 4 kali hingga membentuk sebatang kertas. Dan dengan setiap 3 batang yang dikepang itu dihasilkan seuntai tali sepanjang lebih kurang 30 centimeter. Jika untuk mendapatkan tali sepanjang 3 meter dibutuhkan 30 potongan kertas koran, maka bisa dibayangkan beban kerjaan yang dimilikinya untuk mendapatkan tali sepanjang 10 meter.
Untuk mempercepat waktu pekerjaan sekaligus mengurangi beban kerjanya, aku turun tangan dalam memotong dan melipat kertas korannya sehingga siap dikepang olehnya. Maka kami pun mengerjakannya selama seharian hingga ia berhasil mendapatkan untaian tali sepanjang 8 meter di penghujung hari yang akan ia bawa ke sekolah.

Dan di malam hari berikutnya, sepulangku dari bekerja, aku menanyakannya tentang apa yang terjadi di sekolah dengan hasil kerjanya. Ia lalu menceritakan dengan singkat bahwa disamping mendapat pujian, ia dianjurkan untuk melanjutkan tugasnya hingga panjang tali mencapai minimum 10 meter. Ia juga mengatakan bahwa masih banyak temannya yang bahkan belum mengerjakannya hingga sepanjang 5 meter. Hal itu membuatku lega karena nyatanya ia telah mengerjakan lebih banyak dari kebanyakan temannya.
Namun di pagi keesokan harinya, ketika aku melihatnya tengah menyiapkan tas sekolah yang seharusnya dilakukan di malam sebelumnya, aku tidak melihatnya mengeluarkan tali tersebut. Aku menanyakan dimana tali itu disimpan dan aku mulai curiga ketika ia mulai mencari sambil mengaduk-aduk isi tasnya. Bahwa kemudian ia ingat tali tersebut tertinggal di laci bangku sekolahnya, aku menjadi geram. Buatku, "kelupaan" itu harusnya telah terpikirkan olehnya ketika semalam ia bercerita padaku.

Kegeramanku berdasar pada kelalaiannya dalam menyimpan suatu barang berkarya yang telah dilakukannya seharian. Sementara hasil kerjanya itu merupakan barang yang mungkin saja sangat berharga bagi teman yang menemukannya mengingat semua siswa setingkatnya punya kewajiban membuat tugas yang sama. Hasil kerjanya itu tidak terindikasi sebagai miliknya karena tidak bernama sehingga dengan mudah diakui orang lain sebagai miliknya sementara tidak mungkin anakku bisa membuktikan jika barang itu memang miliknya.

Sebenarnya aku sudah seringkali hanya menceramahinya kalau ia melupakan suatu barang yang ia dapatkan secara gratis seperti barang-barang yang didapatkannya sebagai hadiah atau pemberian. Namun kali ini aku sangat kesal melihat begitu cerobohnya ia dalam menjaga suatu barang yang merupakan hasil jerih payahnya. Bagaimana pula orang lain akan menghargai hasil kerjanya jika ia sendiri tidak dapat menghargainya?
Alhasil, aku tidak hanya mengomel panjang lebar pagi itu, namun juga mengantarnya ke sekolah lebih awal untuk mencarinya . Beruntung baginya barang itu masih ada di tempat ia meninggalkannya kemarin. Tidak terbayang betapa akan tidak bersemangatnya ia untuk memulainya lagi dari nol.
Ia memang bukan (baca: belum jadi) seniman yang layaknya menghargai hasil seni yang dibuatnya, tapi ia tetap harus bertanggung jawab atas tugas-tugasnya sebagai seorang murid. Dan ia juga tetap harus menerima sanksi yang lebih berat dari yang pernah ia terimanya.
Semoga itu membuatnya jera dan menjadikannya orang yang lebih menghargai kewajibannya...