Monday, March 30, 2015

Siagalah!

Tak ada yang bisa memungkiri bahwa saat ini masyarakat kita tengah berada di suatu posisi yang teramat sulit. Belum selesai orang mempertanyakan tentang hasil kepemimpinan presiden Jokowi yang dianggap tidak mencapai target janjinya (bagi mereka), muncul lagi topik baru yang singgahnya pada sosok yang erat hubungannya dengan presiden ke 7 ini.

Ahok, yang menjabat sebagai pengganti Jokowi di tahta kepimpinan kota Jakarta, sedang menjadi primadona pemberitaan dimana-mana, terutama di media internet yang memberi kebebasan bersuara pada setiap orang. Gaya bicaranya yang terkenal tegas, ceplas ceplos, berani dan kadang cenderung kasar memberikan berbagai alasan kepada orang untuk menanggapinya. Beberapa waktu yang lalu ia sempat melontarkan kata-kata yang dinilai tidak etis diucapkan seorang pejabat. Tidak berhenti disitu, ia bahkan melakukan pembelaan disana sini tanpa pilih kasih pada siapapun yang menudingnya. Suatu keberaniannya yang telah ditunjukkannya sejak ketika ia masih menjadi wakil gubernur. Hanya saja dulu, sebagai orang kedua pemegang tampuk kepemimpinan, tindak tanduknya itu tidak terlalu digubris karena (mungkin) gaya kekaleman Jokowi dianggap bisa mengimbanginya.

Nah, ketika pada saat yang sama kepemimpinan negara dan kepemimpinan ibukota sedang dipertanyakan, lagi-lagi terjadi perang debat antara pro dan kontra-nya. Meski ini bukan kali pertama rakyat menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja (atau ahlak) orang-orang nomor satu di negeri ini, namun sepertinya baru kali ini ada suara sumbang yang mengisyaratkan penyesalan telah menjatuhkan pilihannya di ajang Pilpres maupun Pilkada yang lalu. Dan dengan terdengungnya suara-suara itulah lalu muncul mereka-mereka yang mencuatkan kekhawatiran akan ambruknya kondisi kesejahteraan rakyat sambil mengajakan untuk ikut berjuang memperbaiki nasib bangsa.

Ironisnya, ajakan ini diiringi dengan ketakutan yang (bagiku) terlalu dramatis. Dengan menghadirkan lagi quote-quote yang bernafaskan perjuangan atau sosial dari orang-orang terkenal terdahulu seperti Chairil Anwar atau Tan Malaka atau Soekarno, bahkan yang bersifat religius dari sosok yang mendunia seperti Ummar bin Khatab, ajakan itu jadi lebih terasa bersifat menakut-nakuti. Takut kalau negeri ini morat-marit lah. Takut kalau peristiwa 1988 terulang lagi lah. Takut kalau keamanan negeri terancam seperti tahun 1965 lah, dan lain-lain. Padahal, mereka yang melakukan aksi pendramatisan ini rata-rata masih terbilang muda untuk dianggap terkena dampak bahkan dari peristiwa tahun 1988. Lalu mereka tau apa? Apakah kegentingan yang mereka gambarkan itu terbentuk berbasis apa yang mereka baca dari internet? Yang bisa ditulis oleh siapapun tanpa kenal batasan dan tak perlu lolos sensor pihak berwenang? Otentikkah?

Kita harusnya ingat apa saja yang kemudian terjadi setelah peristiwa-peristiwa nasional itu. Ada hari baru dengan harapan baru setelah malam yang buruk berlalu. Ada perjuangan yang mengawali perubahan yang kemudian (bisa) membawa negeri ini ke fase yang lebih baik, meskipun hanya sesaat bila kemenangan yang (diduga) telah kita raih itu ternyata hanya semu atau sebuah langkah yang salah. Dulu banyak yang menganggap pemaksaan Soeharto untuk lengser ternyata tidak pada tempatnya. Sekarang terjadi lagi tentang pemilihan para pemimpin. Harusnya ketimbang meratapi kesalahan itu, kita bisa bersikap legowo dengan apapun yang akan terjadi tanpa perlu berspekulasi ini itu. Kalau saja nantinya negeri kita tercinta ini harus menghadapi masa-masa kritis, biarlah itu dilalui dengan penuh kebijaksanaan diri tanpa melakukan aksi-aksi anarkis yang (ternyata) bisa saja jadi salah langkah (lagi). Karena suatu kesuksesan dari hasil perjuangan kesabaran yang hebat akan punya aroma yang lebih harum daripada yang didapat dengan mudah.

Bagai semut yang bekerja keras mengumpulkan stok pangan menghadapi musim dingin, harusnya kita juga mempersiapkan diri menghadapi masa paceklik yang mungkin terjadi kelak.
Berhentilah bicara yang tak penting dan mulailah membekali diri....!!