Tuesday, April 7, 2015

Musuh Kedua

Aku bukan seorang ahli agama, sosial apalagi politik. Tentunya aku juga punya pendapat tentang segala topik yang tengah meradang di negeri ini namun, sesuai sifatku yang terbentuk sejak muda, aku lebih memilih diam sambil terus menyimak dan mengamati, atau maksimal membahasnya dalam skala yang kecil dengan segelintir teman, yang meskipun aku tau sering punya sudut pandang yang berbeda, namun punya pikiran terbuka sehingga pembahasannya tidak berbuntut debat kusir. Jadi tulisanku ini hanya sekedar berdasarkan suara dari hati tanpa dirasa perlu disertai nara sumber manapun.

Yang saat ini tengah melambung namanya seantero negeri adalah ISIS. Ada yang setuju dengannya karena percaya pada paham dalam memperjuangkan negara yang Islami (khilafah) yang dipimpin oleh seorang khalifah. Ada yang tidak suka dengan cara berjihadnya yang menyertakan faktor kesadisan. Ada juga yang menentangnya karena dianggap sebagai organisasi terselubung yang dibentuk orang Israel untuk memecah belah dunia Islam. Aku percaya ISIS itu "sesuatu yang cetar membahana" hingga mampu membuat hati pembahasnya panas dan kadang memilah teman atau sanak saudara hanya karena perbedaan pendapatnya. Yang diulas disini bukan pendapatku tentang ISIS tapi tentang efeknya terhadap ketentraman hidup kaum muslim, khususnya di negeri tercinta ini.

Jelas sudah sebagian dari kita telah kena dampak dari adanya ISIS ketika kita mulai berjarak dengan mereka yang sebelumnya seolah begitu dekat dengan kita karena kita punya pendapat yang bertentangan. Negeri ini khan memang sedang mengalami gejolak dimana-mana sejak kita hendak memulai pesta demokrasi menyambut Pilpres yang lalu. Kemudian hal demi hal yang berkenaan dengan kebijakan dari pemerintahan selalu disambut dengan pro dan kontra oleh masyarakat yang sudah terlanjur terbeleah dalam dua kubu. Dan jika sekarang ISIS menjadi suatu hal baru yang mewarnai perpecahan dan permusuhan diantara dua kubu ini, harusnya kita tak perlu panik.

Begini....
Ingat perang Diponegoro dan perang Padri melawan musuh yang sama yang berakhir dengan kekalahan bagi pangeran Diponegoro dan tuanku Imam Bonjol? Padahal harusnya pihak musuh (VOC) bisa dengan mudah ditaklukan ketika mereka harus membagi kekuatannya ke Jawa Tengan dan Padang.  Sialnya, Pangeran Diponegoro dan tuanku Imam Bonjol tidak saling mengenal meskipun daerah-daerah yang mereka pertahankan dari usaha perampas itu sama-sama bagian dari negeri ini. Kondisi ini dimanfaatkan pihak musuh untuk menunda perang dengan pasukan tuanku Imam Bonjol, agar mereka bisa konsentrasi dalam perang melawan pasukan pangeran Diponegoro. Setelah urusan di tanah Jawa tuntas, barulah mereka beralih ke ranah Minang untuk melanjutkan perang Padri yang tertunda sebelumnya.

Memang pangeran Diponegoro bukanlah musuh tuanku Imam Bonjol, namun seandainya begitupun, mungkin saja VOC hadir sebagai musuh kedua bagi keduanya. Dan musuh kedua yang formatnya lebih besar dan lebih kuat tentunya akan menyita perhatian dari kedua pahlawan nasional yang kekuatan pasukannya terbilang jauh lebih kecil. Hal itu yang kemudian memungkinkan bagi mereka untuk bersatu melawan ancaman yang lebih besar.
Nah, jika masyarakat kita ini sedang menghadapi (sebut saja) perang dingin domestik karena suhu politik tengah memanas, mungkinkah kita bersatu menghadapi lawan yang lebih mengancam? Harusnya bisa, hanya jika kita semua percaya bahwa kita memang sedang diancam oleh hadirnya musuh kedua.

Pertanyaan berikutnya, siapa yang akan menjadi musuh kedua kita?

Apapun ISIS itu, tentunya kita akan tau nanti jika bukti-bukti yang lebih otentik sudah jelas terlihat. Jika memang apa yang ada di balik ISIS adalah suatu ancaman besar, harusnya kita bisa lalu bersatu untuk menghadapinya. Apalagi kalau benar Israel berdiri di belakangnya, ummat Muslim harusnya bersatu mengesampingkan perbedaan pahamnya.

Dalam Islam disebutkan bahwa pada akhirnya Imam Mahdi akan hadir dan memimpin ummat Muslim dalam perang akbar melawan musuh terbesarnya. Tak pernah disebutkan seperti apakah rupa beliau atau kapan waktu kehadirannya. Yang jelas, sejauh ini belum ada satu pihakpun yang layak dianggap sebagai musuh besarnya, sehingga (bisa dikatakan) tidak ada ancaman yang berarti bagi ummat Islam. Boleh saja orang mengatakan bahwa Islam saat ini sedang diacak-acak, entah secara sengaja oleh pihak yang sirik terhadapnya atau bahkan oleh ummatnya yang secara tidak sengaja memusuhi sesamanya dengan pembelaannya masing-masing. Namun aku percaya bahwa kehadiran musuh besarnya kelak akan menyatukan mereka kembali.

Apapun dan siapapun yang nantinya hadir sebagai musuh kedua bagi ummat Islam pasti akan menyatukan semua perbedaan diantara ummat Islam dalam perang akbar. Begitu pula dengan musuh kedua bagi rakyat negeri ini yang kelak bisa menyatukan suara rakyat dalam menghadapinya. Jadi, tak perlulah berspekulasi tentang kehancuran negeri ini. Morat-maritnya stabilitas nasional di segala bidang saat ini hanyalah sebuah proses (panjang) perkembangan zaman yang akan sampai pada fase kemakmuran ini lewat persatuan bangsa yang mungkin disebabkan oleh hadirnya musuh kedua.