Friday, July 31, 2015

Menghargai Yang Kecil

Mungkin kalau ditotal, uang recehan pecahan 25, 50, 100 dan 200 perak yang aku temukan tergeletak begitu saja di tanah atau aspal lalu aku pungut disana sini selama ini sudah mencapai puluhan ribu jumlahnya. Meskipun aku yakin aku tidak akan mungkin menemukan pemiliknya selama tenggang waktu yang ditentukan agar memenuhi syarat untuk aku miliki, namun sudah menjadi niatku untuk menyumbangkannya ke tempat-tempat yang layak. Untungnya, tak jauh dari lokasi tempat aku menemukannya, kebanyakan di halaman parkiran mini market, biasanya terdapat kotak-kotak amal titipan panti asuhan atau rumah yatim, sehingga aku tidak perlu menyimpannya terlalu lama.

Aku heran saja, di situasi perekonomian negara yang sedang melesu dan dikeluhkan banyak pihak seperti sekarang ini, koq masih saja banyak orang yang tidak bisa menghargai koin-koin bernilai kecil itu. Padahal jika rajin dikumpulkan bisa dipakai sebagai alat pembayaran untuk apapun. Tak ada satu pihak pun yang (diizinkan untuk) bisa menolak pembayaran dengan dengan cara tersebut. 
Baru-baru ini telah digaungkan ancaman hukuman denda oleh pemerintah bagi pedagang manapun yang mengganti uang kembalian dengan permen setelah untuk sekian lama digunakan sebagai pengganti jumlah nominal kecil di bawah seribu perak. Tentu saja ini kebijakan yang adil mengingat para pedagang yang suka melakukan hal tersebut sudah pasti juga akan menolak bila pembeli menggunakan permen sebagai alat pembayaran barang yang dibeli.

Belakangan ini ada cara baru yang diterapkan mini market seperti Alfamart dan Indomart berkenaan dengan pengembalian uang belanjaan. Umumnya kasir toko-toko tersebut, ketika hendak menyerahkan uang kembalian, akan menanyakan apakah pembeli berniat untuk menyumbangkan sebagian uang kembaliannya. Yang dimaksud sebagian ini adalah jumlah yang nominalnya ratusan perak. Jadi misalnya uang kembalian yang harusnya didapatkan pembeli adalah 18.800 perak, kasir akan menanyakan apakah pembeli bersedia menyumbangkan uang senilai 300 perak itu. Dengan kata lain, kasir akan menyediakan uang kembalian sebesar (hanya) 18.500 perak dengan catatan sisa yang 300 itu disumbangkan.

Sebenarnya, sistem ini bisa dianggap baik dalam hal mengantisipasi perpindahan koin pecahan di bawah 500 perak dari pihak toko ke tangan pembeli yang lalu membuangnya karena, sederhananya, tidak menghargainya. Namun yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah tawaran ini memang didasari konsep pemikiran seperti itu, atau sesungguhnya stok yang disiapkan pihak toko itu sendiri bukanlah koin-koin bernominal kecil tapi justru permen? Dan tanpa bermaksud curiga, kemana perginya dana yang statusnya akan mereka sumbangkan? Aku pernah menanyakan hal tersebut sebagai respon atas tawaran penyumbangan itu. Jawabannya, disumbangkan ke yayasan-yayasan sosial yang nantinya akan ditentukan pihak toko.
Hmm...jika benar, alangkah mulianya niat yang ada dibalik penerapan sistem tersebut. Tapi mengapa hal itu hanya diberlakukan pada sejumlah dana yang direpresentasikan oleh koin-koin tadi? Bisa saja kita lalu menganggap, secara tak langsung sistem tersebut seolah mengajarkan tentang ketidakpentingnya koin-koin itu. Tentunya, siapapun bisa kembali mengajukan sebuah argumentasi dengan, "Dari pada dibuang?"

Memang akhirnya semua kembali kepada tiap individu. Sekarang mungkin hanya pecahan segitu yang diperlakukan seperti itu. Namun bisa jadi dengan kenaikan harga yang terus berlangsung, penyakit ini merembet ke pecahan yang lebih besar. Contohnya, kemarin selagi menyiapkan diri untuk beranjak pergi dari sebuah lapangan parkir alfamart, aku menyaksikan bagaimana seorang tukang parkir menolak menerima pembayaran ongkos parkir dari seorang pengedara motor yang menyodorkan 2 buah koin pecahan 500 perakan. Tukang parkir itu hanya melengos pergi meninggalkan si pengendara motor setelah melihat koin-koin di tangannya sambil bergumam, "Bukan zamannya lagi parkir 1000 perak". Ujungnya tak ada transaksi yang terjadi antara mereka, sementara setelah pengendara motor itu pergi, sang tukang parkir kemudian tetap menerima uang kertas pecahan 1000 perak yang aku serahkan. Ada dua kemungkinan yang mendasari penerimaan uangku itu. Pertama, ia tak berani menolak 1000 perak itu dariku (tapi mungkin ngedumel setelah aku pergi), atau ia punya pandangan yang berbeda antara koin 500 perak dan uang kertas 1000 perak.

Kalau yang benar adalah kemungkinan yang kedua, artinya pemandangan secara sebelah mata itu sudah mulai diberlakukan pada koin dengan nominal yang lebih tinggi lagi. Koq makin ironis ya? Justru disaat kita makin susah mendapatkan uang, lalu harusnya tiap perak itu dihitung (kalau istilah bahasa Inggrisnya, "every penny counts"), makin banyak saja orang yang menganggap mata uang pecahan kecil itu tidak berharga. Begitu tidak berharganya sehingga untuk mengumpulkannya lalu ditukarkan ke bank untuk pecahan yang lebih besar pun tidak terpikirkan. Yaah...kalau memang tidak punya ketertarikan untuk menyimpannya, minimal bisa lah disumbangkan atau didermakan kepada pihak-pihak yang lebih bisa menghargainya. Ketimbang membuang rezeki, harusnya orang bisa menimbun pahala dengan beramal.

Pheew....