Thursday, April 27, 2017

Sukses dan Gagal

Semalam tiba-tiba aku ditelpon seorang kawan dan diminta untuk menemaninya pergi menjemput sepedanya yang baru saja ditawar orang. Ceritanya...ia memang sudah sejak beberapa waktu lalu memasarkannya tapi selama ini, meskipun telah banyak yang menyatakan berminat membelinya, tak satupun yang mengajukan penawaran yang layak diterimanya. Dan akhirnya siang kemarin ada seorang peminat dari Yogya yang tak hanya memberi penawaran yang bagus tapi juga langsung mentransfer sejumlah dana sebagai tanda jadi. Maka akan disiapkan untuk dikirimlah sepeda yang sedang dititipkan di sebuah bengkel sepeda milik kenalannya.

Selama dalam perjalanan, kawanku ini terlihat sangat riang. Rupanya ia juga punya rencana membeli sepeda lain yang lebih mahal sebagai gantinya. Dan dengan terjualnya sepeda ini, maka ia pun akan dapat segera membeli sepeda yang sedang diincarnya. Sebenarnya ia tak punya dana yang cukup untuk menutup selisih harganya, namun sejumlah dana pinjaman guna meng-cover itu sudah disiapkan oleh seorang kawannya. Jadi semalam, ia berulang kali menyatakan kelegaannya karena segalanya tampak teratasi dengan mulus. Baginya, jika ia sampai berhasil membeli sepeda barunya berarti ia telah mencapai kesuksesan atas usahanya.

Ia sempat bercerita bahwa ia sempat kesal pada para peminat yang dianggapnya tidak serius dan hanya mempermainkan mentalnya sehingga ia pernah berniat menghentikan usaha penjualannya beberapa saat sebelum kemudian tanpa diduga masuk penawaran dari Yogya ini. Dengan pengalaman insiden ini ia mengingatkan aku untuk tidak menyerah ketika aku sering dihadapkan pada kegagalan karena "kegagalan adalah sukses yang tertunda", katanya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik meskipun sesungguhnya ingin juga aku membahas soal semboyan ini...tapi pada saat yang sama aku tak ingin merusak nuansa hatinya yang sedang berbunga-bunga.

Yup...sebuah semboyan yang sudah sering aku dengar sejak lama terutama ketika aku dulu sesekali ikutan bisnis Multi Level Marketing. Semboyan yang sering digaungkan oleh para pesukses dalam memotivasi mereka yang sedang berjuang mendapatkan kesuksesan yang sama. Aku seratus persen setuju karena buatku tak ada yang salah dengan semboyan itu dan penggunaannya.  Sudah terbukti efektif untuk banyak orang termasuk aku sendiri dari waktu ke waktu dan dari kasus ke kasus. Tapi dari segala hal negatif yang hadir kemudian setelah kesuksesan, mungkin hal sebaliknyapun perlu dijadikan sebagai pengingatan.

Kita diingatkan bahwa kegagalan itu bisa memacu semangat kita untuk terus berusaha sehingga kesuksesan itu (akhirnya) bisa dihadirkan. Jadi bisa diartikan bahwa peran kegagalan sangat besar dalam mewujudkan kesuksesan. Bukan berarti kesuksesan itu hanya hadir setelah adanya kegagalan, namun kesuksesan orang yang pernah gagal biasanya justru lebih besar dari kesuksesan mereka yang tidak pernah mengalami kegagalan. Minimal kesuksesan menjadi lebih berarti bagi mereka yang sebelumnya menemui kegagalan. Bisa jadi makin besar kegagalan, makin besar pula kesuksesan yang menyusulnya.

Suka tidak suka...mau tidak mau...di belakang kesuksesan pun ada kegagalan yang siap menghampiri kita. Bagaimana tidak? Adalah hal yang wajar jika segala sesuatu yang terjadi ada konsekuensinya. Keuletan kita memperjuangkan kesuksesan ketika sedang gagal bisa sama besarnya dengan kelengahan kita dalam menghindari kegagalan ketika sedang sukses. Tanpa disadari, nikmatnya kesuksesan sering begitu membuai sehingga kita jadi lupa diri sampai-sampai kita melakukan kesalahan-kesalahan yang mampu mengarahkan kita pada kegagalan yang kemudian datang menyusul. Aku paham hal itu karena aku pernah mengalamaninya beberapa kali.

Seperti apa yang sempat dialami kawanku saat kegagalan dirasakan mempermainkan mentalnya, kesuksesanpun bisa mempermainkan bahkan merusak mental peraihnya. Para penawar yang dianggapnya abal-abal adalah bagian dari suatu ujian kesabaran yang kuatnya sama dengan semua hal muluk yang menjadi bagian dari ujian buat kita dalam mensyukuri kesuksesan. Jadi kita selayaknya mampu menangani kedua jenis ujian itu dengan kebijaksanaan yang sama. Berjuang meraih kesuksesan itu sulit...tapi tak sesulit memeliharanya, yang sama artinya dengan berjuang menghindari kegagalan.

Pada setiap orang yang mempertanyakan bagaimana jika mereka gagal dalam usahanya, aku cenderung merespon, "Saya sudah tau kalau anda gagal ya anda akan terus miskin. Yang saya tidak tau justru apa jadinya jika anda sukses dalam usaha anda. Apakah anda sudah siap?"
Nyatanya...tidak sedikit pesukses yang tidak siap menghadapi kondisi yang diburunya. Kesuksesan yang didapat dengan susah payah ternyata cepat dikandaskan dalam sekejap oleh kegagalan yang datang kemudian hanya karena mereka jadi kaget tau-tau sukses lalu mblinger, tak bijaksana dalam me-manage kesuksesannya atau bahkan seperti orang gila yang bertindak ceroboh tanpa berpikir.
Intinya...gagal dan sukses itu bisa datang tanpa diduga kapan dan ukurannya. Soal kans-nya...tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.

Jadi semalam aku hanya bisa memberi anjuran pendek kepadanya agar lebih berhati-hati dalam menindaklanjuti kesuksesan dalam penjualan sepedanya. Terlebih ketika dana yang digunakan untuk membeli sepeda barunya itu sifatnya titipan yang kelak harus dikembalikan. Banyak faktor X yang mungkin terjadi yang nantinya bisa membuyarkan atau mengubah apapun yang telah direncanakannya. Tinggal bagaimana ia bertindak bijaksana supaya terhindar dari kegagalan yang mungkin datang kapan saja.
After all...kesuksesan (pun bisa jadi) adalah kegagalan yang tertunda... :p

Thursday, April 20, 2017

Pilihan Baru

Akhirnya terpilihlah gubernur DKI Jakarta yang baru setelah pilkada putaran kedua sukses dilakukan kemarin dengan aman tanpa gangguan apapun yang sebelumnya dikhawatirkan banyak pihak termasuk pemerintah.
Terbukti sudah bahwa rakyat kita, khususnya warga Jakarta masih rukun, taat hukum dan menjaga kedamaian. Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan kesan yang ditampilkan sebagian besar pendukung kedua paslon sepanjang masa kampanye.
 

Memang keputusan resmi belum dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, namun hasil hitungan cepat (Quick Count) sudah meyakinkan kedua belah kubu siapa pemenangnya. Keduanya telah melakukan konferensi pers sebagai tindaklanjut dari hasil hitungan cepat ini. Yang satu sudah menyatakan rasa syukurnya atas kemenangannya, dan yang lawannya sudah menyatakan ikhlas menerima kekalahannya.
Maka di kalangan para paslon dan tim sukses yang terjun langsung ke dalam arena pertarungan ini semuanya telah diselesaikan dengan cara yang resmi dan baik.
 

Sayangnya tidak begitu halnya di kalangan pendukungnya. Meski sambil mengucapkan selamat atas kemenangan kubu lawan, dengan nada menyinyir pendukung paslon yang kalah mengingatkan paslon pemenang akan janji-janji yang pernah diberikan, dengan keyakinan semua itu tak akan terpenuhi. Sementara sebagai responnya, para pendukung paslon pemenang ikut menyinyir atas ketidak legowoan pendukung lawan. Yang sebelumnya medsos dipenuhi aksi saling serang dengan kampanye, terrmasuk yang hitam, tudingan dan tuduhan, kini dipenuhi dengan aksi nagih janji, ngeles dan mbully.

Ah...mau sampai kapan sih bertindak childish seperti ini? Padahal pengguna medsos seperti ini khan bisa dianggap sebagai golongan menengah ke atas yang cukup terdidik. Harusnya mereka bisa belajar dari masyarakat dari lapisan bawah yang siap melanjutkan perjuangan hidup di bawah kepemimpinan yang baru.
Aku juga pernah kecewa saat jagoanku tidak menang di Pilpres yang lalu. Namun kekecewaanku hanya kusimpan sebatas dalam diri saja karena toh tak akan mengubah kondisi yang ada. Aku harus ikhlas menerima kemenangan lawan kandidat yang aku dukung karena dia lah pilihan mayoritas rakyat negeri ini. Selama aku menjadi warga negara negeri ini, aku harus mengakui dan menghormatinya sebagai pemimpinku. 

Begitu pula yang selayaknya diterapkan oleh pendukung paslon yang kalah kemarin. Kalau kemarin mereka dihadapkan pada dua pilihan paslon, mulai hari ini mereka juga punya dua pilihan; tetap menetap di Jakarta dengan segala peraturan daerahnya yang ditentukan oleh gubernur baru, atau pindah dari Jakarta. Sesederhana itu lah...


Selamat kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih. Semoga amanah dan bisa menjadikan Jakarta lebih makmur, aman dan nyaman.
 


Sunday, April 16, 2017

Halo Jakarta

Pilkada Jakarta putaran kedua dan terakhir sudah diambang pintu, hanya tinggal menghitung hari. Setiap hari ada saja kegiatan yang berkaitan dengan kampanye kedua pasangan calon (paslon) yang akan bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan ibukota negara ini. Ada yang berkonsep agama, ada yang sosial maupun juga yang berkaitan dengan hiburan. Intinya, masing-masing tim sukses berlomba menebar pesona demi mengambil hati rakyat. Maka janji-janji manispun diobral.

Secara paralel, ada juga pihak-pihak pendukung biasa yang dengan gencar melancarkan kampanye hitamnya. Mereka ini masyarakat biasa yang tidak tergabung dalam tim sukses atau organisasi resmi pendukung paslon. Bebasnya mereka menulis dan mempublikasikan tulisannya di dunia maya membuat suasana menjelang pilkada ini semakin menggila. Tak terkecuali beberapa teman di grup-grup whatsapp yang aku ikuti hingga aku lebih sering melewatkan postingan-postingannya. Jujur saja, aku tak peduli hal baik atau hal buruk yang dipaparkan tentang kedua paslon karena aku tak menilai mereka dari hal-hal yang diutarakan oleh pihak-pihak yang mungkin tidak mengenal langsung sosok mereka.

Ada dua hal yang aku pertanyakan tentang semua ini.

Seperti pilkada lain yang sudah-sudah di masa lalu, banyak sekali janji para kandidat yang ternyata bodong dan tak pernah terlaksana setelah mereka menang. Buntut dari pilkada kali ini nantinya bisa jadi sama saja dengan yang terdahulu. 
Lalu sadarkah masyarakat bahwa kemungkinan besar segala kegiatan yang marak digalangkan ini sifatnya sementara yang memang hanya terjadi saat menuju pilkada? 
Bahwa bantuan dan bakti sosial, cenderamata atau sejumlah dana yang dibagikan secara gratis, ibadah bersama, bahkan remeh temeh antara paslon dengan masyarakat dalam acara open house atau kunjungan ke tempat-tempat terpencil di pelosok ibukota, yang notabene memungkinkan masyarakat selfie bersama paslon itu semuanya mungkin akan jarang terjadi lagi pasca pilkada.

Bagi anggota tim sukses, kegagalan paslon yang diusungnya mungkin adalah hal yang sudah jauh-jauh hari diwaspadainya. Mental mereka dari awal harusnya sudah dilatih sehingga mereka siap menerima kondisi seperti itu.
Pertanyaan kedua menyangkut para pendukung biasa yang ikutan aktif hingga memakai cara yang ekstrim dalam menggembar gemborkan kehebatan paslon pilihannya atau bahkan kebusukan lawannya di berbagai media sosial.
Siapkah mereka ini menerima fakta bahwa lawan paslon-nyalah yang akan menjadi pemimpinnya?
Bahwa mungkin mereka akan dibully oleh para pendukung paslon pemenang yang bisa jadi selama ini kesal dengan segala postingan dan tanggapan kampanyenya, termasuk oleh teman-teman dan kerabatnya sediri.

Pilkada Jakarta yang satu ini memang berbeda dengan semua pilkada yang pernah ada. Bahkan bisa dibilang lebih menyita perhatian dari pilpres terakhir karena dikaitkan dengan agama dan etnis...dua faktor super sensitif yang selama puluhan tahun dijaga ketat kerukunannya demi menciptakan kehidupan bangsa yang harmonis.
Sudah tidak mungkin lagi untuk menjadikan Jakarta senyaman seperti 40 tahun yang lalu, tapi aku berharap pilkada ini tidak menyisakan efek negatif setelah usai nanti. Sampah, polusi, kemacetan, cuaca dan semua permasalahan yang ada selama ini sudah cukup untuk membuatku ingin hidup jauh-jauh dari Jakarta. Jangan sampai jadi lebih parah...