Sunday, April 16, 2017

Halo Jakarta

Pilkada Jakarta putaran kedua dan terakhir sudah diambang pintu, hanya tinggal menghitung hari. Setiap hari ada saja kegiatan yang berkaitan dengan kampanye kedua pasangan calon (paslon) yang akan bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan ibukota negara ini. Ada yang berkonsep agama, ada yang sosial maupun juga yang berkaitan dengan hiburan. Intinya, masing-masing tim sukses berlomba menebar pesona demi mengambil hati rakyat. Maka janji-janji manispun diobral.

Secara paralel, ada juga pihak-pihak pendukung biasa yang dengan gencar melancarkan kampanye hitamnya. Mereka ini masyarakat biasa yang tidak tergabung dalam tim sukses atau organisasi resmi pendukung paslon. Bebasnya mereka menulis dan mempublikasikan tulisannya di dunia maya membuat suasana menjelang pilkada ini semakin menggila. Tak terkecuali beberapa teman di grup-grup whatsapp yang aku ikuti hingga aku lebih sering melewatkan postingan-postingannya. Jujur saja, aku tak peduli hal baik atau hal buruk yang dipaparkan tentang kedua paslon karena aku tak menilai mereka dari hal-hal yang diutarakan oleh pihak-pihak yang mungkin tidak mengenal langsung sosok mereka.

Ada dua hal yang aku pertanyakan tentang semua ini.

Seperti pilkada lain yang sudah-sudah di masa lalu, banyak sekali janji para kandidat yang ternyata bodong dan tak pernah terlaksana setelah mereka menang. Buntut dari pilkada kali ini nantinya bisa jadi sama saja dengan yang terdahulu. 
Lalu sadarkah masyarakat bahwa kemungkinan besar segala kegiatan yang marak digalangkan ini sifatnya sementara yang memang hanya terjadi saat menuju pilkada? 
Bahwa bantuan dan bakti sosial, cenderamata atau sejumlah dana yang dibagikan secara gratis, ibadah bersama, bahkan remeh temeh antara paslon dengan masyarakat dalam acara open house atau kunjungan ke tempat-tempat terpencil di pelosok ibukota, yang notabene memungkinkan masyarakat selfie bersama paslon itu semuanya mungkin akan jarang terjadi lagi pasca pilkada.

Bagi anggota tim sukses, kegagalan paslon yang diusungnya mungkin adalah hal yang sudah jauh-jauh hari diwaspadainya. Mental mereka dari awal harusnya sudah dilatih sehingga mereka siap menerima kondisi seperti itu.
Pertanyaan kedua menyangkut para pendukung biasa yang ikutan aktif hingga memakai cara yang ekstrim dalam menggembar gemborkan kehebatan paslon pilihannya atau bahkan kebusukan lawannya di berbagai media sosial.
Siapkah mereka ini menerima fakta bahwa lawan paslon-nyalah yang akan menjadi pemimpinnya?
Bahwa mungkin mereka akan dibully oleh para pendukung paslon pemenang yang bisa jadi selama ini kesal dengan segala postingan dan tanggapan kampanyenya, termasuk oleh teman-teman dan kerabatnya sediri.

Pilkada Jakarta yang satu ini memang berbeda dengan semua pilkada yang pernah ada. Bahkan bisa dibilang lebih menyita perhatian dari pilpres terakhir karena dikaitkan dengan agama dan etnis...dua faktor super sensitif yang selama puluhan tahun dijaga ketat kerukunannya demi menciptakan kehidupan bangsa yang harmonis.
Sudah tidak mungkin lagi untuk menjadikan Jakarta senyaman seperti 40 tahun yang lalu, tapi aku berharap pilkada ini tidak menyisakan efek negatif setelah usai nanti. Sampah, polusi, kemacetan, cuaca dan semua permasalahan yang ada selama ini sudah cukup untuk membuatku ingin hidup jauh-jauh dari Jakarta. Jangan sampai jadi lebih parah...