Tuesday, July 11, 2017

Thanks, But No Thanks.

Ketika remaja dulu, terutama sebelum aku berkeluarga, aku termasuk orang yang tidak peka terhadap apa yang ada di sekelilingku. Aku sering bersikap dan berkata blak-blakan dalam bersosialisasi. Meskipun tanpa bermaksud menyerang perasaan orang lain, namun beberapa kali ada yang tersinggung dan kesal atas hal itu. Karena itulah aku kemudian menjadi pribadi yang lebih suka menyendiri demi mengantisipasi kemungkinan menyinggung perasaan orang lain. Lagipula...dengan "mojok" itu aku lebih punya banyak waktu untuk menikmati indahnya sepi...bak lagunya Candra Darusman. 😜

Seorang mantan sahabatku acapkali menjelaskan pada mereka yang belum lama atau baru mengenalku bahwa aku tipe orang yang bicara apa adanya. Dengan penjelasannya itu, orang lalu banyak yang mau menerima pendapatku lebih sebagai hal yang tulus dan jujur, meski kedengarannya nyelekit. Mungkin itu dianggap bermanfaat sebagai kritik membangun buat intruspeksi diri. Namun akhirnya pun aku harus intruspeksi diri akan tabiatku itu mengingat hal itu jugalah yang (sepertinya) membuat mantan sahabatku ini memutuskan pertemanan kami karena tidak bisa menerima pendapatku tentang kiprahnya yang buatku banyak negatifnya.

Aku lalu sering mengingatkan diri sendiri untuk menempatkan diriku sendiri di posisi orang yang sedang aku coba berikan pendapat. Hal yang sama aku coba terapkan setiap aku bertemu dengan orang yang sedianya sedang melakukan apapun yang siap membuatku kesal bahkan marah. Misalnya ketika hak ku dirampas oleh pengendara lain di jalan ketika aku punya hak yang lebih besar darinya. Tak hanya aku mencoba berada di posisinya dan memahami apa yang ada dalam benaknya sehingga melakukan hal itu, aku juga mencoba membayangkan efek apapun yang mungkin aku terima sebagai dirinya atas perbuatan itu. Sebut saja yang aku rampas haknya lalu memperpanjang permasalahan, akankah aku menerimanya dengan legowo atau justru ngeyel karena merasa tak bersalah? Bisa jadi urusannya berbuntut panjang. Capek juga lah...

Seperti itulah aku kemudian mencoba menahan diri dan menjadi sosok yang lebih cinta damai. Gundah dan gusar mungkin tetap terjadi padaku, namun semuanya kusimpan saja dalam hati tanpa ditindaklanjuti dalam hal yang negatif (baca: konyol). Dengan ikhlas aku harus bisa meredam emosiku...emosi dalam naik pitam atau bahkan dalam sekedar berpendapat. Sebagai seorang Muslim, aku membiasakan diri beristighfar dan mengucap hamdallah dalam berespon dengan harapan aku bisa terhindar dari segala situasi yang tak hanya merugikan aku sendiri tapi juga keluarga yang menjadi tanggung jawabku.

Ada hal-hal yang buatku jadi sensitif dengan terpuruknya situasi finansilku beberapa tahun belakangan ini. Dengan kondisi seperti itu, standarisasi kebijkasanaanku dalam bersikap dan berucap pun menjadi lebih tinggi. Ironisnya...meski tau tentang kondisi finansialku ini, beberapa kenalan dan kerabatku dengan mudahnya memojokkan aku di tempat yang sangat tidak nyaman. Dan ketika aku mencoba menyuarakan ketidak nyamananku itu, aku dianggap terlalu sensitif atau mudah tersinggung.

Satu contoh saja, minggu lalu sekumpulan teman yang juga orangtua dari teman-teman se-almamater putra sulungku bersepakat untuk melakukan kegiatan reuni sekaligus halal bihalal yang sekiranya diwujudkan dalam bentuk vakansi bersama di sebuah villa di daerah Puncak akhir bulan depan. Kebetulan pada tanggal yang sama, aku berencana menghadiri acara pernikahan keponakanku di Yogya. Nah...rencana ketidak ikutsertaanku ini dianggap sebagai suatu masalah oleh yang lain, sehingga mereka mencoba memundurkan jadwal reuni-nya dengan harapan aku bisa ikutan. Tak sekedar itu saja, rencanaku harus ke Yogya rupanya dicurigai sebagai dalih buatan belaka untuk menutupi fakta bahwa aku mungkin tak punya cukup dana untuk ikutan ke Puncak, sehingga mereka pun sepakat menyediakan subsidi-silang buatku sekeluarga.

Ugh...!!
Aku akan senang meluangkan waktu sejenak untuk mendukung niat rencana yang sangat berarti bagi putra sulungku ber-reuni lagi dengan teman-temannya yang telah lama tak ditemuinya. Jujur saja...sebenarnya di awal bulan depan, ada sejumlah dana yang (rencananya) akan turun, yang membuatku mampu membayar biaya yang diperlukan untuk vakansi ini. Namun kalaupun rencananya pemasukan dana itu mundur hingga setelah tanggal rencana pelaksanaan vakansi, aku sangat tidak suka dengan ide subsidi silang buat aku itu. Bukannya aku tak menghargai niat baiknya...namun aku bukan tipe orang yang mudah menerima bantuan yang tidak aku rasa penting. Vakansi ini bukanlah hal krusial yang perlu aku ikuti sampai aku harus menerima subsidi silang. Aku lebih memilih mendapatkan pinjaman tanpa bunga jika memang mendesak.

Pada seorang dari sekumpulan orangtua ini, aku sempat menyampaikan keberatanku dengan maksud agar bisa ia teruskan ke yang lain. Tapi seperti umumnya, ia memintaku untuk menerima dengan ikhlas rencana subsidi silang ini agar tidak menyinggung perasaan penggagas ide dan mereka yang menyetujuinya. Aku memang tidak memaparkan padanya tentang rencana turunnya dana ke kocekku mengingat rencana itu bisa berubah kapan saja, sehingga ia taunya hanya aku tak mau terima subsidi silang. Ia pun menolak menerima alasan penolakanku karena berharap aku tetap ikut hingga aku (akhirnya) memintanya mencoba menempatkan dirinya di posisiku karena ia pun tak ingin mendapatkan subsidi silang seperti itu jika ia tak punya dana yang cukup untuk membiayai keluarganya.

Strategi menempatkan diri kita di posisi orang lain harusnya efektif dalam menentukan suatu sikap dalam bersosialisasi.

Entah kapan ia akan menyampaikan pesanku ini pada yang lain. Mungkin juga akhirnya ia tak bernyali untuk melakukannya...tapi setidaknya, si bapak ini bisa mengerti mengapa aku akan lebih suka berdiam diri di rumah dengan kocek kosong ketimbang menerima subsidi silang itu untuk bisa ikutan acara yang tak wajib aku ikuti. Dan aku cukup yakin putra sulungku pasti setuju dengan keputusanku.