Monday, October 30, 2017

Hikmah Dibalik Secuil Pizza



Sering sudah kita dengar nasihat agar kita mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, terlebih dari peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Kesannya memang klise saat kita sedang berada dalam kondisi yang tidak mengenakan kita. Anjuran itu tentunya dimaksudkan agar kita bisa sabar menerima suatu penolakan atas apa yang kita harapkan termasuk sedang mengalami  musibah. Tapi alangkah berat menelannya ketika kita lebih berkeinginan untuk mengeluh, berteriak atau memaki-maki.

Awalnya memang susah...namun saat perbaikan situasi yang sesuai harapan tidak juga kunjung tiba tapi justru sebaliknya makin memburuk, kita mungkin bisa sampai pada fase dimana kita sudah capek mengeluh, capek kesal, capek marah-marah, dlsb. Dan ketika itulah kita tak lagi punya pilihan lain selain menerima dengan ikhlas apa saja yang menimpa kita...seburuk-buruknya pun itu. Bagaimana tidak? Segala sikap tidak menerima kita akan kondisi kita ternyata tak juga membuatnya lebih baik hingga akhirnya kita harus menyerah.

Menyerah itu tak berarti kalah tapi berarti berserah diri pada Yang Kuasa...pada kehendakNya...pada kalamNya. Maksudnya secara ikhlas dan tulus menerima keputusanNya sambil terus berharap akan diberkahi olehNya rezeki di kemudian waktu. Intinya, ketimbang menunggu waktu tersebut sambil melakukan hal-hal yang negatif, yang bisa saja justru menambah dosa, kita justru melakukan perbuatan baik yang menambah amal dan pahala kita. Dengan bersabar dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan olehNya, seharusnya perjalanan waktu kita akan terasa lebih ringan daripada jika kita mengisinya dengan kegelisahan dan emosi.

Sudah lebih dari empat tahun terakhir ini perjalanan hidupku bagaikan roller coaster yang kebanyakan turunnya. "Kebanyakan" ini artinya tidak melulu turun tapi ada juga naiknya. Hanya saja jumlah kenaikannya terbilang sedikit. Awalnya, saking seringnya aku meratapi penurunannya, aku sangat sering tak menyadari adanya kenaikannya. Bahkan seringkali kenaikan yang tak seberapa itu aku responi dengan rasa kecewa karena tak sesuai harapan atau tak sebanding dengan drastisnya penurunan yang sudah aku lewati. Akibatnya kenaikan itu lebih aku anggap masih sebagai penurunan yang membuatku tambah tertekan. Ironis bukan?

Nah...disaat aku telah kehabisan hasrat untuk tetap mengeluh, putus asa mendapati segala keluhan dan amarah yang tak kunjung memperbaiki kondisiku, aku menyerah. Aku mencoba me-reset ulang mindset ku dengan mencoba meyakini bahwa selalu ada hal baik dibalik segala hal yang buruk yang menimpaku. Mau tidak mau...suka tidak suka...aku melakukan manuver ekstrim dengan mencoba menerima nasibku secara ikhlas sambil berharap hal itu akan diganjar dengan berkah olehNya. Akibatnya, kesantaian itu benar-benar membuat hatiku tenang tak seperti keluhan yang menguras tenaga dan pikiranku. Hati dan pikiranku menjadi tenang ketika aku memohon kepadaNya segala kebaikan dengan berniat menunggunya secara ikhlas. Artinya...dikasih ya bersyukur, tidak dikasih ya bersabar.

Hasilnya pun luar biasa. Rezeki yang mungkin tidak seberapa, terasa sangat menyejukkan. Kenapa? Karena aku tak berharap yang muluk-muluk. Setelah berikhlas menerima semua tempaan hidup yang datangnya sambut menyambut, rezeki seperti ini ibarat setetes air di padang tandus.
Suatu contoh saja...beberapa waktu yang lalu, ketika aku dapat rezeki berupa dana pembayaran atas sebuah proyek kecil yang baru aku selesaikan, aku memesan pizza buat keluargaku. Dan setelah gigitan pertamanya, rasanya lezat sekali. Padahal ini bukan kali pertamanya kami menyantap pizza. Bahkan dahulu, pizza itu termasuk makanan yang setidaknya kami makan minimal dua bulan sekali. Aku yakin rasanya masih sama dengan yang dulu kami sering santap, namun kelezatan kali ini terasa karena mungkin sudah setahun lebih kami tidak makan pizza yang harganya tidak murah.

Kenikmatan seperti ini yang kemudian memotivasiku untuk selalu ikhlas dan tetap bersyukur atas kondisi buruk apapun yang aku hadapi. Rezeki yang terlihat kecil menjadi terasa bagai sebesar raksasa ketika datangnya setelah kita ikhlas bersabar menerima cobaan berat yang sifatnya hanya duniawi. Dan bisa saja tanpa disadari, ketika kenikmatan duniawi yang datang seperti itu kita sambut dengan rasa syukur yang, hadiahnya adalah kenikmatan ukhrawi kelak di kemudian hari.
Indah bukan?

TetapSabar&SyukurModeON....!!

Thursday, October 26, 2017

Cacar Air

Senin kemarin, tak seperti biasanya putra sulungku tiba-tiba sudah kembali di rumah dari sekolah pukul setengah empat. Aku mendapatinya sedang duduk di teras depan sambil menunduk dan memegangi kepalanya. Rupanya ia sedang sakit kepala yang dirasakannya seusai upacara bendera paginya. Hal inilah yang membuatnya melewatkan kegiatan ekstra kurikulernya dan memutuskan untuk segera pulang.

Seiringan dengan pernyataan tentang dugaannya tertular teman dekatnya, aku mendapati semacam dua bisul kering di mukanya. Memang awalnya ia tak menerangkan secara detil penyakit apa yang mungkin telah ditularkan, namun aku langsung curiga itu cacar air. Dan ternyata kemudian ia pun menyatakan bahwa temannya itu baru saja kembali masuk sekolah setelah seminggu absen karena sakit cacar air. Wali kelasnya pun menyatakan kepadaku kemungkinan hal itu karena ia tau mereka berteman dekat.

Phew...akhirnya ada juga putraku yang terjangkit penyakit ini. Tindakanku selanjutnya adalah konsultasi dengan kakak perempuanku yang seorang dokter anak tentang penanganannya. Yang jadi pertanyaan buatku sendiri adalah, apakah akan aku upayakan kesembuhannya dalam arti mencegahnya bertambah parah, atau kudiamkan bertambah parah dalam arti diforsir agar keluar semua sekaligus terbuang semua virus dan calon virusnya? Konon kabarnya setiap orang punya kadar maksimal tersendiri atas penyakit cacar air ini. Artinya, selama kadar yang tercapai pada saat terjangkit hingga sembuh belum maksimal maka kemungkinan terjangkit lagi masih ada.

Dulu ketika aku terjangkit juga saat duduk di bangku SMA, mendiang ibuku memberiku wedang asem yang dimaksudkan untuk memaksakan kadarnya mencapai maksimal agar setelah sembuh aku tak akan pernah terjangkit lagi. Itu sebabnya di awalnya aku hanya mengkonsumsi obat dan bedak penghilang rasa sakit dan gatal. Tak ada obat pembunuh virus hingga kadarnya mencapai maksimal. Rambutku bahkan sempat dipangkas habis oleh ibuku hingga kepalaku plontos agar cacar air yang ada di kepala bisa diberi salep dan bedak. Aku ingat benar saat itu salah satu derita terberatnya adalah menjalani hari-hariku dengan sariawan yang jumlahnya mencapai belasan, dan itu belum termasuk tujuh buah yang ada di lidah dan kerongkonganku.

Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya penyembuhan atas apapun yang sudah terjangkit di tubuh putraku karena aku tak tega melihatnya harus menjalani hari-hari seperti yang pernah aku alami dulu. Lagipula, sebagai seorang siswa yang baru memulai studinya di sekolah menengah kejuruan ini, ia sedang giat-giatnya mengikuti berbagai kegiatan di sekolahnya. Kasihan jika ia harus melewatinya begitu lama. Dan aku pun meluangkan banyak waktu untuk mendampinginya dalam upaya penyembuhannya mengingat mungkin hanya akulah satu-satunya kandidat yang tidak akan tertular.

Namun entah mengapa, cacar air yang ada justru terus bertambah seolah segala obat yang aku berikan tidak berfungsi apa-apa. Hari-harinya semakin sulit karena rasa perih dan gatal yang terus bertambah. Biasanya suhu badannya meningkat drastis di malam hari sehingga tidurnya pun semakin sering terganggu. Kakak perempuanku juga terheran-heran atas hal ini hingga ia sempat berkelakar kalau ini disebabkan karena faktor turunan...halah! Pagi ini ia sempat memberi anjuran obat lain sebagai upaya penanganannya, namun aku sudah tak memfokuskan pada kesembuhan putraku dalam waktu dekat ini mengingat banyaknya cacar air yang sudah bermunculan di seluruh tubuhnya.

Mungkin putraku memang pada akhirnya harus lebih lama melewati fase ini, namun aku juga berharap jika memang ini berarti kemungkinannya kelak ia akan terjangkiti lagi adalah nol, maka biarlah ini terjadi sekarang. Toh aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan ia juga sudah menuruti semua anjuran yang diterimanya. Kami sudah berusaha, tapi semua kembali ke padaNya yang sudah menentukan kalam putraku ini. Sabar dan ikhlas lagi....


Kehebatannya

Kakakku yang sulung ini memang sungguh istimewa. Istimewa karena ia punya sifat, tabiat, sikap, perangai atau apalah yang mau disebut, yang lain dari pada yang lain. Itu bisa berarti berdampak positif ataupun negatif untuknya sendiri, keluarganya, dan orang lain. Otaknya sangat amat encer, dan hal ini sudah dimilikinya sejak di bangku SD dulu. Buktinya ia, minimal, selalu menduduki peringkat tiga yang teratas dalam pencapaian prestasi tiap tahunnya. Ia sudah lumayan fasih menguasai bahasa Inggris di kelas dua SD. Tak lama pula setelah ia dikenalkan pada Tabel Unsur Kimia pun ia langsung hafal semua unsur di luar kepala, lengkap dengan posisi dan jumlah ion-ion yang dikandungnya. Selepasnya SMA, ia dengan mudahnya langsung lolos ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi dengan mendapatkan tempat di kampus pilihan pertamanya di Bandung.

Apa yang kemudian terjadi setelah itu memang sama sekali tidak seperti yang diharapkan orangtua kami, tapi bukan berarti ia tak menyukainya. Pilihan arah yang ditentukannya di tiap persimpangan jalan hidupnya terlihat ekstrim namun rupanya ia tentukan dengan penuh pertimbangan akan segala konsekuensinya. Kami sekeluarga sempat berpikir bahwa keputusannya untuk menikah tidak tepat karena terkesan buru-buru sebelum ia mengenal betul calon istrinya. Tapi pernikahan itu telah diarunginya selama tiga dekade lebih dengan dikarunia empat anak lelaki yang kini semuanya sudah menjadi orang-orang yang sukses di pekerjaan dan sekolahnya. Dan semua kesuksesan itu tak lepas dari konsep hidupnya yang hingga kini masih sering kami anggap aneh dan tak lazim.

Hebatnya...ia bukan tipe orang yang cenderung menampilkan kehebatannya di depan umum. Ia sangat mengerti teknologi karena ia juga pernah menggeluti bidang IT sebagai bisnisnya, tapi ia tidak memanfaatkannya untuk mempromosikan data dirinya. Pernah sekali seorang Laksamana Sukardi terkagum-kagum atas kepintaran kakakku ini seusai mendengarkan presentasinya tentang lahan tambang yang izinnya dipegang oleh perusahaan ayah kami. Ia pun sempat mempertanyakan tentang sosok kakakku ini pada mediator yang mengenalkan pada kakakku hanya karena ia tak pernah mendengar nama kakakku di dunia bisnis dan ekonomi sedangkan ia mengira ia mengenal semua orang pintar yang ada dalam dunia bisnis di tanah air. Well...bagaimana ia bisa mendengar nama kakakku ketika data dirinya tidak pernah diekspos bahkan di dunia maya, wadah paling efisien bagi setiap orang untuk menjual diri?

Ketika ada yang mencari data dirinya dengan menggunakan nama kakakku sebagai keyword-nya, mungkin yang akan tampil hanya satu dua situs yang dibuat orang lain yang kebetulan mengikutsertakan nama kakakku, seperti situs silsilah keluarga yang pernah aku buat. Itupun tak dapat diakses tanpa izin dariku sebagai pembuatnya. Tak ada facebook, google account, linkedIn, blog atau media sosial miliknya. Kalaupun ia punya alamat email, tak mengandung nama lengkap apalagi fotonya.
 
Begitulah kakakku. Melanglang buana selama ini dengan menempatkan dirinya di belakang layar. Kalau dalam pertunjukkan wayang kulit atau wayang orang, jelas ia bukan wayangnya tapi mungkin juga bukan dalangnya. Ia lebih pantas disebut sebagai tim sukses sang dalang yang ikut mengatur alur cerita yang di suguhkan sang dalang. Sosok dalang bisa terekspos dan mungkin menjadi sosok yang terkenal, namun siapapun yang membantunya mengatur babak demi babak pertunjukannya tak pernah dimunculkan ke permukaan, betapapun suksesnya pertunjukannya itu. Di sisi lain, jika ada masalah di tengah jalan, ia tak akan jadi yang termasuk harus bertanggung jawab langsung. Akibatnya, namanya pun otomatis aman dari publikasi dan sorotan media.

Buatku, ia tak sekedar pintar tapi juga orang yang jenius atau brilian. Hubunganku dengannya yang terbilang kaku karena diantara semua adiknya, akulah yang paling suka menentang secara terbuka pola berpikirnya yang aku nilai cenderung egois sehingga lebih pantas aku sebut licik ketimbang cerdik. Namun jujur saja, aku tak enggan menganggapnya cerdik karena ia pandai bicara sehingga sifat egoisnya itu bisa dibungkusnya rapih dengan teori dan ilmu tinggi yang dimiliki kemudian disajikan dalam tutur bahasa yang sangat sopan dan terkesan menghormati lawan bicaranya. Bagi seorang awam yang artinya tidak mengenalnya sedalam aku mengenalnya, kakakku bisa dianggap sebagai nara sumber yang potensial dan motivator yang pantas diikuti omongannya. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah meyakinkan orang untuk menggandengnya dalam berbisnis di bidang apapun.

Sudah sekitar tiga bulan belakangan ini aku mencoba untuk melakukan pendekatan kepadanya setelah tujuh tahun kami jarang sekali bertemu karena ia tinggal di pulau seberang dan jadwal masing-masing tak memungkinkan kami untuk mudah buka kontak. Selama tiga bulan ini aku mencoba menerimanya tanpa ingin melihatnya sebagai sosok yang aku uraikan di atas. Kami sama-sama sudah berusia kepala lima, dan itu menjadi alasanku mengapa aku mencoba untuk tidak judgemental terhadapnya. Secara teori, proses pendekatan ini akan berjalan mulus selama kami tidak saling menghakimi dan saling menerima apa adanya sehingga tidak condong menyerang satu sama lain dengan prinsip masing-masing.

Nah...disaat aku dan semua kakak adikku kini telah sepakat untuk menyelesaikan urusan keluarga yang selama ini belum tuntas karena adanya perbedaan paham diantara kami, ia jadi sulit dihubungi. Padahal proses penyelesaian ini sudah sampai pada tahap akhir dimana kami perlu menandatangani sebuah akta di depan notaris. Tempat tinggalnya yang jauh itu menjadi kendala sehingga ia juga tak mudah untuk didatangi, sementara tenggat waktu yang ada semakin sempit. Seandainya saja ia merespon kami lewat WAG, SMS atau telpon, kami pasti tak akan berada di posisi yang tidak mengenakkan ini. Pasalnya, kami tau pasti bahwa ia tau kami mencarinya. Ia juga membaca semua pesan kami, namun kalaupun merespon ia tak memberikan info yang akurat dan kena sasaran. Jawaban atas pertanyaan dan permintaan kami kebanyakan sifatnya menggantung bahkan sering mengundang tanya.

Pheew...kami pun mulai bertanya-tanya, jangan-jangan ada hal yang mengganjalnya (lagi) yang ia sembunyikan sehingga ia lalu menghindari kami dan proses penyelesaian ini. Dan hingga hari ini pun, meskipun ia telah menjelaskan kondisi fisiknya yang telah seminggu sakit berat sehingga baru bisa terbang untuk datang sore ini, selama ia belum menampakkan dirinya di depan kami, tidak ada yang dapat kami pastikan. Pada akhirnya, apapun yang ada dibalik semua peristiwa ini, aku dan adik-adiknya yang lain memang tak punya pilihan lain selain bersabar dan ikhlas menerima semua alasan yang ia berikan..seolah kami memang hanya wayang, sementara kakakku punya kuasa yang lebih besar dari dalangnya. Disitulah hebatnya kakakku... :p