Thursday, October 26, 2017

Cacar Air

Senin kemarin, tak seperti biasanya putra sulungku tiba-tiba sudah kembali di rumah dari sekolah pukul setengah empat. Aku mendapatinya sedang duduk di teras depan sambil menunduk dan memegangi kepalanya. Rupanya ia sedang sakit kepala yang dirasakannya seusai upacara bendera paginya. Hal inilah yang membuatnya melewatkan kegiatan ekstra kurikulernya dan memutuskan untuk segera pulang.

Seiringan dengan pernyataan tentang dugaannya tertular teman dekatnya, aku mendapati semacam dua bisul kering di mukanya. Memang awalnya ia tak menerangkan secara detil penyakit apa yang mungkin telah ditularkan, namun aku langsung curiga itu cacar air. Dan ternyata kemudian ia pun menyatakan bahwa temannya itu baru saja kembali masuk sekolah setelah seminggu absen karena sakit cacar air. Wali kelasnya pun menyatakan kepadaku kemungkinan hal itu karena ia tau mereka berteman dekat.

Phew...akhirnya ada juga putraku yang terjangkit penyakit ini. Tindakanku selanjutnya adalah konsultasi dengan kakak perempuanku yang seorang dokter anak tentang penanganannya. Yang jadi pertanyaan buatku sendiri adalah, apakah akan aku upayakan kesembuhannya dalam arti mencegahnya bertambah parah, atau kudiamkan bertambah parah dalam arti diforsir agar keluar semua sekaligus terbuang semua virus dan calon virusnya? Konon kabarnya setiap orang punya kadar maksimal tersendiri atas penyakit cacar air ini. Artinya, selama kadar yang tercapai pada saat terjangkit hingga sembuh belum maksimal maka kemungkinan terjangkit lagi masih ada.

Dulu ketika aku terjangkit juga saat duduk di bangku SMA, mendiang ibuku memberiku wedang asem yang dimaksudkan untuk memaksakan kadarnya mencapai maksimal agar setelah sembuh aku tak akan pernah terjangkit lagi. Itu sebabnya di awalnya aku hanya mengkonsumsi obat dan bedak penghilang rasa sakit dan gatal. Tak ada obat pembunuh virus hingga kadarnya mencapai maksimal. Rambutku bahkan sempat dipangkas habis oleh ibuku hingga kepalaku plontos agar cacar air yang ada di kepala bisa diberi salep dan bedak. Aku ingat benar saat itu salah satu derita terberatnya adalah menjalani hari-hariku dengan sariawan yang jumlahnya mencapai belasan, dan itu belum termasuk tujuh buah yang ada di lidah dan kerongkonganku.

Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya penyembuhan atas apapun yang sudah terjangkit di tubuh putraku karena aku tak tega melihatnya harus menjalani hari-hari seperti yang pernah aku alami dulu. Lagipula, sebagai seorang siswa yang baru memulai studinya di sekolah menengah kejuruan ini, ia sedang giat-giatnya mengikuti berbagai kegiatan di sekolahnya. Kasihan jika ia harus melewatinya begitu lama. Dan aku pun meluangkan banyak waktu untuk mendampinginya dalam upaya penyembuhannya mengingat mungkin hanya akulah satu-satunya kandidat yang tidak akan tertular.

Namun entah mengapa, cacar air yang ada justru terus bertambah seolah segala obat yang aku berikan tidak berfungsi apa-apa. Hari-harinya semakin sulit karena rasa perih dan gatal yang terus bertambah. Biasanya suhu badannya meningkat drastis di malam hari sehingga tidurnya pun semakin sering terganggu. Kakak perempuanku juga terheran-heran atas hal ini hingga ia sempat berkelakar kalau ini disebabkan karena faktor turunan...halah! Pagi ini ia sempat memberi anjuran obat lain sebagai upaya penanganannya, namun aku sudah tak memfokuskan pada kesembuhan putraku dalam waktu dekat ini mengingat banyaknya cacar air yang sudah bermunculan di seluruh tubuhnya.

Mungkin putraku memang pada akhirnya harus lebih lama melewati fase ini, namun aku juga berharap jika memang ini berarti kemungkinannya kelak ia akan terjangkiti lagi adalah nol, maka biarlah ini terjadi sekarang. Toh aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan ia juga sudah menuruti semua anjuran yang diterimanya. Kami sudah berusaha, tapi semua kembali ke padaNya yang sudah menentukan kalam putraku ini. Sabar dan ikhlas lagi....