Sudah lama saya dendam dengan kucing jalanan ini. Sejak kepindahan saya ke kantor baru ini, saya sudah melihat gelagat buruk yang akan ditimbulkan oleh hewan ini karena ia seringkali melewati hari-harinya dengan tiduran di lantai teras kantor saya.
Sebetulnya saya tidak harus membenci kucing, hanya saja fakta bahwa mereka itu saya anggap sebagai binatang yang malas itu membuat saya enggan menyukainya. Kadang mereka juga suka sekali mengemis dan mengaduk-aduk sampah. Jadi juga ada alasan higienis kalau saya memang menghindari mereka.
Namun khusus yang satu ini, memang saya membencinya. Awalnya saya hanya sering mengusirnya pergi dari teras kantor saya. Mungkin karena hal itu juga, ia lalu mulai menantang saya dengan migrasi ke atas kursi di teras yang sedianya disiapkan untuk tamu yang ingin merokok. Hasilnya, setiap malam perabotan (dengan meja juga) yang ada di teras harus di sandarkan dengan posisi miring ke tembok agar tidak dijadikan tempat bermalam olehnya. Dan rupanya semakin banyak hal yang sifatnya menentang kucing ini, semakin banyak pula tingkahnya yang menyebalkan. Tidak hanya melepas hajat besar dan kecil di teras maupun di halaman parkiran, ia juga acap melakukannya pada roda bahkan di atas kendaraan pegawai kantor saya.
Beberapa kali timbul niat di benak saya untuk mengganjarnya, namun ada saja yang mengingatkan saya untuk tidak menyakitinya dengan beragam alasan. Ada yang sesederhana berdasarkan azas kebinatangan, ada yang menganggap semua itu hanya ujian buat saya, dan ada pula yang serumit fakta bahwa kucing itu binatang kesayangan Nabi. Sementara saya sering berpikir bahwa Nabi sendiritidak pernah berurusan dengan kucing kurang ajar yang satu ini.
Saya ingat cerita kawan saya ketika ia masih kuliah di Bandung, ia dan 2 teman kost-nya dengan susah payah mengumpulkan uang yang mereka miliki untuk membeli lauk buat dimakan bersama. Dengan uang yang ada, mereka berhasil membei nasi dan sepotong ikan lele. Ketika mereka tengah menyiapkan piring, gelas dan air minumnya, seekor kucing menggasak ikan tersebut. Dan ulah kucing ini dibalas dengan penangkapan dan pengarungan kucing yang kemudian diikuti dengan pembuangan karung yang diikat rapat ke sebuah kali yang mengalir deras. Ketika saya mendengar cerita itu, saya sempat menganggap aksi mereka itu melewati batas. Namun dengan segala teror yang saya hadapi, saya kini merasa bahwa kesabaran saya sudah sangat menipis sehingga saya berasumsi bahwa suatu hari bila tidak juga ada perkembangan yang baik dengan kucing ini, saya akan melakukan hal yang (mungkin) akan saya sesali dikemudian hari.
Untungnya....hari yang saya kuatirkan itu tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi. Tadi pagi ketika saya hendak memasuki parkiran kantor, saya melihat sebuah onggokan di tengah jalan hampir tepat di depan kantor saya. Setelah saya parkirkan kendaraan saya lalu saya dekati onggokan itu, ternyata yang saya temui adalah tubuh si kucing yang telah tak bernyawa. Memang tidak mudah mengenalinya secara sepintas karena rupanya ia telah tergilas telak oleh sebuah kendaraan sehingga wujudnya sudah tidak jelas. Kepala dan sebagian tubuhnya yang nyaris gepeng itu telah bercampur dengan darah.
Tidak ada yang tau pasti kapan kejadiannya dan kendaraan jenis apa yang menggilasnya sehingga memberi dampak yang begitu mengenaskan, tapi beberapa orang menganggapnya terjadi semalam karena darah yang sudah mulai mengering. Yang pasti, hingga disinilah segala masalah yang saya hadapi sejak lama dengan kucing ini. Dan sebenci-bencinya saya padanya, saya tetap tidak tega untuk mengabadikan bangkainya yang telah porak poranda itu.