Bulan lalu, putra sulungku menjadi satu dari 4 murid yang mewakili sekolahnya dalam lomba pidato berbahasa Inggris sewilayah Jakarta Timur. Lomba ini terkesan dadakan karena sempat terjadi tarik ulur dalam penentuan waktu penyelenggaraannya hingga akhirnya terlaksana juga setelah diundur 2 minggu. Begitu dadakannya hingga tak satupun orang tua dari keempat peserta ini bisa hadir dalam acara ini. Para murid ini hanya diantar dan ditemani oleh dua orang guru selama mengikuti lomba.
Aku tidak berharap banyak dari putraku karena aku sudah sangat senang bahwa ia mau ambil bagian. Bagiku pengalaman seperti itu sudah sangat cukup untuk memberinya rasa percaya diri dan kegembiraan hati tanpa harus menjadi seorang juara. Alhamdulillah, ia terpilih sebagai juara harapan I, sedangkan seorang rekannya menjadi juara II. Sebagai orang tua tentunya aku boleh berbangga dengan prestasi ini. Namun apa yang terjadi dibalik kemenangan itu telah menambah kebanggaanku.
Selain mendapatkan piala yang kemudian menjadi hak sekolahnya, ia dan rekannya yang menjadi juara II masing-masing mendapat hadiah uang sebesar Rp. 250.000. Mereka Berdua melakukan sebuah kesepakatan yang kemudian disampaikannya kepada guru yang mendampinginya. Rupanya merasa tidak merasa nyaman dengan kondisi yang ada sehingga mereka meminta sang guru untuk membagi empat total uang yang mereka menangkan agar 2 rekan lainnya tidak pulang dengan tangan hampa.
Aku jadi berpikir...akan seperti itukah bila aku berada di posisi mereka? Akankah aku akan dengan ikhlas membagi kemenanganku secara sama rata seperti itu? Mungkin aku hanya akan berbagi sebagian kemenanganku atau malah hanya mentraktir lainnya sehingga yang aku dapatkan masih lebih banyak. Mungkin memang aku hanyalah manusia berakal kerdil yang harus banyak belajar dari manusia-manusia seperti mereka.
Mereka memang hanya juara II dan juara harapan I, namun dalam bukuku mereka berdua adalah juara I.