Sekali lagi aku dihadapkan pada masalah yang bersumber dari kebodohanku sendiri. Bukan hanya kebodohan dalam menentukan nilai tunggakan hutang tanpa memeriksa dengan teliti semua dokumen yang harusnya bisa memberiku informasi terlengkap, namun yang lebih parah adalah bahwa kejadian semacam ini sudah berulang kali kualami. Ini benar-benar bukti bahwa aku seringkali tidak belajar dari pengalaman.
Maka sebagai akibatnya, selain kenyamanan finansial yang telah beberapa bulan terakhir akhirnya dapat aku nikmati tiba-tba sirna dalam sekejap, aku juga dihimpit tenggat waktu dan tanggung jawab yang kemudian menjadi beban yang terasa begitu berat di pundakku. Di satu sisi aku punya tanggung jawab moral berupa janji pada pihak tertentu, di lain sisi aku hanya punya sedikit waktu untuk menepatinya. Dan semua itu menjadi bumerang dari kecerobohanku dalam menyeimbangkan income dengan expenses ku.
Sudah seminggu terakhir ini aku mencoba mencari jalan keluar yang bisa membebaskanku dari ancaman stress. Acapkali aku berdoa dan mengharapkan suatu mukjizat dariNya, namun tidak jarang pula aku seolah lupa ingatan dan mulai memakiNya atas kesialan yang hadir lagi dalam hidupku. Terkadang meskipun aku sependapat dengan nasihat soul mate ku untuk tetap bersabar dan ikhlas menghadapinya, aku masih saja sempat nekad mengeluh saat jalan pikiranku sudah membuntu.
Mungkin aku akan menjalani ini semua dengan tenang jika saja aku (bisa dan mau) bersikap terbuka pada mereka-mereka yang punya urusan langsung dengan masalah yang aku hadapi. Tapi itu memang bukan lah aku. Dari dulu aku punya kecenderungan untuk menjalani hari-hari sulit ku dengan cara bersolo karir. Bedanya, dahulu aku memang tidak perlu memikirkan individu lain selain diriku sendiri, dan itulah yang membuatku lebih siap menerima pukulan hidup yang setelak-telaknya.
Untungnya, kebesaranNya telah dibuktikan dengan menghadirkan segelintir orang-orang yang bisa mengerti dan memaklumi caraku berpikir sehingga bantuan moril maupun materil dari mereka masih bisa aku terima. Memang individu seperti mereka ini tidak mudah dipertahankan kalau saja aku tidak melakukan hal yang sama untuk mereka pada saat keadaan sedang membalik. Entah apakah hal itu pernah terjadi atau tidak, yang jelas bantuan dari mereka ini membuatku sadar bahwa perilakuku pasti sangat menentukan berapa besar atau kecilnya kans untuk lolos dari suatu masalah atas jasa orang lain.
Perjalanan hidup yang telah aku lalui terbilang cukup panjang yang penuh dengan keanekaragaman peristiwa yang bisa memberi pembelajaran penting buatku. Jarak yang masih harus aku tempuh selalu menjadi misteri yang tak seorangpun bisa mengetahuinya. Namun menggandeng dan merangkul orang dengan cara yang bijaksana juga menjadi tuntutan hidup sebagai jaminan mulusnya perjalanan hidupku yang mudah-mudahan masih panjang. Dari jumlah orang yang berada dekat denganku, mungkin hanya sedikit dari mereka yang bisa aku sebut sebagai "teman" yang layak berjalan di depan, di samping ataupun di belakangku.