Suatu sore, sekitar 3 tahun yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat yang terkirim dari nomor telpon yang tidak kukenal. Isi pesannya sangat mirip sekali dengan tipikal spam yang biasanya diramu seolah berasal dari kenalan yang minta diisikan pulsa. Pesan seperti ini mungkin bisa sekali tiap dua minggu aku terima dari nomor-nomor asing, sehingga aku hampir saja mengabaikan dan langsung menghapus pesan yang aku terima sore itu. Namun ketika aku menyadari namaku disebut di dalamnya, aku mulai mempertanyakan identitas si pengirim dengan membalas pesan itu. Ternyata ia adalah kenalan dekat yang pernah berbisnis denganku beberapa tahun sebelumnya. Ia juga orang yang berjasa mengenalkan dan mengajari aku tentang penggunaan photoshop yang kemudian menjadi salah satu program andalan dalam menjalankan bisnisku.
Nilai pulsa yang dimintanya memang cukup besar hingga seratus ribu, nominal yang tidak pernah aku beli kecuali untuk pembelian paket internetan, apalagi ketika nilai sebesar itu harus aku belikan untuk orang lain. Tidak ada yang istimewa dari permintaannya kecuali permohonan yang bernada memelas tanpa memberi alasan jelas untuk apa ia membutuhkan pulsa sebanyak itu. Berhubung dana yang kumiliki juga tidak seberapa, aku tawarkan setengah dari jumlah yang dimintanya, yang langsung disetujuinya. Serta merta aku belikan pulsa untuknya dengan menggunakan internet banking karena saat itu aku harus segera pergi meninggalkan tempat kerjaku sehingga aku tidak akan mungkin lagi melakukan transaksi keuangan untuk beberapa saat. Pesan singkat mengenai pengiriman pulsa itupun aku kirimkan padanya sebelum aku pergi.
Di tengah perjalanan, ia mencoba menghubungi aku lagi untuk beberapa kali karena kondisiku tidak memungkinkanku menjawab panggilan telponnya. Lagipula aku merasa tidaklah perlu menjawab panggilan telpon itu jika ia hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Sesampainya aku di tempat tujuan, aku langsung menjawab telpon darinya yang masih juga menghubungiku. Kali ini, ia justru memintaku untuk kembali membelikannya pulsa sebesar lima ratus ribu rupiah. Hah?! Bukankah tadi sudah jelas aku informasikan bahwa seratus ribupun aku tak mampu, mengapa sekarang jumlahnya lebih besar lagi? Lima kali lipat pula jumlahnya. Pertanyaan itu diresponnya dengan nada yang sedikit keras dengan dalih bahwa ia sedang menghadapi masalah yang sulit. Entah apa yang dilakukannya sehingga ia, seperti yang diakuinya, tengah berurusan dengan pihak berwajib di kantor polisi.
Ketika aku mencoba menjelaskan lagi kondisiku, ia malah mulai berbicara dengan nada tinggi. Semakin aku mencoba membuatnya mengerti, semakin kasar pula bahasa yang digunakannya dan semakin aku kehilangan simpatiku padanya. Permohonannya berubah menjadi makian dengan kata-kata yang kasar hingga kotor. Belum lagi tuduhan bahwa aku tidak punya belas kasihan dan keinginan untuk menolongnya...salah satu tabiat yang aku benci dari orang yang pernah aku bantu. Ia juga sempat mengancam akan menterorku kelak nanti bila kesempatan itu datang. Di posisi seperti inilah aku menyadari kalau orang yang tengah aku hadapi bagaikan bukan dirinya yang kukenal. Seribu pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dihadapinya memenuhi benakku, namun aku tidak merasa perlu mendapatkan jawabannya saat kekalapannya telah menguasainya seluruh dirinya.
Dua tahun sebelumnya, ketika aku baru saja dipaksa melepas hak kepemilikanku atas usaha jasa percetakan oleh mitra kerjaku, aku mencoba mencari jalan untuk memutar dana yang aku dapatkan sebagai kompensasi atas pelepasan sahamku itu kepada beberapa teman termasuk seseorang yang saat itu masih secara rutin bekerja sama dengan bekas perusahaan percetakaanku. Ia adalah wiraswastawan kecil yang dulunya sering menawarkan usaha kerjasama di luar urusan perusahaan dengan konsep aku yang memodali calon proyek-proyek kecil di bidang pengkomplitan barang cetakan yang dilakukannya untuk perusahaan lain. Hal seperti ini sudah beberapa kali kami lakukan dengan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Karena saat itu ia sedang tidak ada proyek, maka ia berjanji akan menghubungiku jika ada peluang lagi.
Sekitar tiga bulan kemudian, ia mengontakku dan menagih janjiku atas dana yang pernah aku tawarkan. Jumlah terbilang sedang, namun ada dua faktor yang memberatkanku. Pertama, dana yang dulu kumiliki kini telah terpakai untuk usaha lain yang telah kumulai, dan kedua adalah bahwa ternyata dana yang dibutuhkannya itu bukan untuk suatu proyek tapi untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan kata lain, yang ia ajukan adalah proposal peminjaman dana untuk keperluan pribadinya. Aku sempat iba dengan kondisi keuangannya yang seret sementara tuntutan pendidikan anaknya begitu menjepitnya. Namun aku jadi kaget mendengar apa yang dikatakannya padaku setelah aku menyampaikan kesediaanku untuk memberinya sepertiga dari jumlah yang diharapkannya.
Alasan bahwa dana yang kumiliki memang sudah tidak tersedia sebanyak itu tidak menahannya untuk mencaci makiku. Ia menuduhku sebagai orang yang riya', menyombongkan kekayaan yang kumiliki sekaligus memberikan harapan kosong padanya dengan memberikan janji palsu. Lhoh...janji palsu gimana? Riya' gimana? Bukankah dana yang pernah jadi pembahasan itu aku siapkan untuk suatu kolaborasi bisnis yang sifatnya win/win? Apakah gagasan untuk menjalankan usaha bersama karena aku sedang punya dana membuatku riya'? Lagipula kami toch tidak pernah membuat perjanjian kalau dana pasti selalu tersedia untuknya? Kalaupun dana yang ia minta memang untuk suatu usaha, bagaimana kalau ia datangnya satu tahun kemudian? Apakah aku akan tetap dianggap tidak menepati janji?
Intinya, ia tengah berada di ujung tanduk. Di satu pihak ada keperluan sekolah anak-anaknya yang sangat mendesak yang harus dipenuhinya, di lain pihak bisnis yang digelutinya sedang lesu sehingga income-nya sedikit. Tapi apa iya situasi seperti ini lalu memberinya hak untuk melemparkan tuduhan-tuduhan seperti itu kepadaku? Aku mengenalnya sebagai orang yang taat beragama, dan hal itu pulalah yang mendasari minatku untuk berbisnis dengannya. Namun jika ketaatannya itu lalu melahirkan penilaian riya' padaku, aku jadi enggan sekali untuk berurusan dengannya. Ia juga sempat melontarkan mencap aku sebagai orang yang tidak punya belas kasihan sehingga tidak mau membantunya. Maka setelah gagal memberinya pemahaman tentang maksud awalku, aku sudahi saja pembicaraanku dengannya saat itu.
Hingga saat ini, aku tidak pernah lagi berhubungan dengan kedua orang ini, meskipun ia telah beberapa kali mereka mencoba menelponku atau sekedar menyapa lewat nomor-nomor telpon yang aku kenali. Aku tidak tau apa yang akan diucapkannya...kekesalan, kemarahan atau justru penyesalan. Namun aku sudah terlanjur kesal dengan yang mereka lakukan dulu, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Buatku, lebih baik menghindari konflik yang masih mungkin terulang daripada gambling merespon mereka untuk mencari tau mengapa mereka mencoba menghubungiku lagi setelah apa yang mereka lakukan.
Dan ketika aku ceritakan hal ini pada orang lain, ada yang menganjurkan agar aku merespon mereka dengan niat yang baik, untuk menjaga hubungan silaturahim dengan mengasumsikan bahwa niat mereka pun baik. Tapi aku cenderung bertahan pada keputusanku sekedar untuk mengusung prinsip yang kumiliki....baik itu dianggap orang lain benar atau salah.
Yaaah...anggap saja aku mencoba belajar dari pengalaman...