Otomatis, tekanan yang aku hadapi kembali muncul dari dua arah yang saling berseberangan. Tak hanya dari luar, tapi dari dalampun begitu adanya. Seolah segala cobaan berat yang pernah berhasil dilalui tidak juga memberi hikmah pada mereka yang harusnya justru memberi dukungan dan kepercayaan padaku untuk berusaha sambil berikhtiar. Pelajaran tentang kesabaran dan keikhlasan ternyata belum juga diambil dari kasus-kasus terdahulu.
Lalu suasana disekitarku beranjak suram lagi ketika pembayaran beberapa tagihan belum bisa dipenuhi. Entah dengan diiringi kepanikan atau tidak, kekesalanpun disampaikan dengan bahasa mulut dan tubuh yang tidak mengenakkan. Tanpa menghiraukan berapa jumlah tagihan yang sudah berhasil tertutup, fakta bahwa masih ada yang belum dipenuhilah yang dijadikan latar belakang penyajian ketidaknyamanan disekelilingku ini.
Untungnya, di sisi lain aku terbekali konsep sabar dan syukur yang selama ini aku jadikan landasan dalam menghadapi setiap kejadian. Ditambah nasehat-nasehat spiritual dari seorang teman baikku yang terus menerus mengokohkan konsep pasrah kepada Allah swt. Nah, keuntungan yang mengimbangi keprihatinan hidupku ini yang menambah bukti keampuhan teori sabar dan syukur itu. Teori itu jugalah yang telah meloloskan aku dari ujian-ujian berat yang pernah aku hadapi sebelumnya.
Aku sadar betul bahwa apa yang terjadi padaku, segala baik dan buruknya, tentu memang merupakan jatahku, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Aku tidak mungkin menolaknya meskipun itu (kuanggap) tidak bermanfaat buatku. Tapi toh apapun yang dikehendakiNya tentunya punya manfaat, baik bagi hidupku hari ini atau besok atau di hidupku selanjutnya. Jadi aku hanya perlu ber positive thinking menerima dan menjalani hari hariku yang mungkin tidak mengesankan buatku saat ini.
Aku pikir, sementara aku tengah bersusahpayah mengupayakan yang terbaik buatku, akanlah sangat sia-sia jika menambah beban mentalku dengan mengeluhkan segala kekurangan yang belum terpenuhi dan/atau lubang-lubang perangkap yang digali orang lain di sekitarku. Seberapa besarnya kekurangan atau dalamnya lubang itu, selirih apapun keluhanku tidak akan melenyapkannya kalau memang belum waktunya.
Rupanya zona tidaknyaman yang lebih parah sedang aku arungi setelah kurang dari sebulan yang lalu aku masuki ketika aku (ikut) memutuskan untuk membentengi diri dari keindahan duniawi yang semu dan menguras energi. Tapi timing-nya seolah sangat amat tepat ketika bulan suci Ramadhan memang sudah begitu dekatnya dijelang. Jadi anggap saja keparahan ini adalah sebuah mukadimmah dari ujian kesabaran dan keikhlasan yang siap menghampiri seminggu lagi.
Sudah saatnya aku berpikir lebih jenih dan bijaksana dalam menjalani segala ketidaknyamanan ini tanpa menghalalkan apa yang menjadi larangan buatku. Kalaupun aku harus melacurkan diri, biarlah idealismeku yang jadi taruhannya...bukan agamaku. Dan jika harus ada yang aku korbankan, biarlah itu menjadi martabatku di mata manusia...bukan nilai keimananku di mata Allah. In shaa Allah dengan berserah diri kepada keputusanNya, semuanya akan menjadi baik sebagaimana yang telah dikehendakiNya...aamiin.
Selamat datang Ramadhan...