Ujian finansial yang datang bertubi-tubi selama setahun terakhir ini memang kalibernya berat. Bukan berarti aku tak pernah mengalami ujian serupa dan lulus, tapi dulu situasiku jauh berbeda dimana yang harus aku luluskan itu hanya aku sendiri. Sekarang ada 3 kehidupan lainnya yang menjadi tanggung jawabku. Dan mungkin bagian ujian yang cukup krusial adalah mendengar keluhan dari yang aku tanggung atas kesulitan yang dihadapi. Mendengarnya saja sulit apalagi menerimanya dengan sabar dan lapang dada.
Berbagai cara sudah aku coba lakukan sebagai refleksi dari kiat untuk tidak berputus asa. Dari hunting proyek, survey lahan pekerjaan baru yang mungkin bisa digarap, bahkan mencari pinjaman dana dari kerabat dan kenalan. Nah, yang terakhir ini rupanya memberi banyak hikmah dan pembelajaran padaku. Banyak sekali dari mereka yang (ternyata) juga sedang kesulitan keuangan. Jujur saja, di awalnya aku sempat kecewa dan berburuk sangka pada mereka yang mengaku tidak mampu membantu. Namun tak lama kemudian akupun menyadari betapa salahnya aku menilai seperti itu. Aku lupa menempatkan diriku di posisi mereka. Bagaimana jika disaat yang sama, ada seorang kenalan yang datang kepadaku dan meminta bantuan juga? Egois sekali aku kesannya, bukan?
Sebetulnya yang bisa dibilang membuat ujian kali ini terasa lebih berat adalah bahwa ada beberapa hal yang nampak begitu jelasnya di depanku, yang nantinya bisa melepaskanku dari jeratan hutang dan tagihan yang tertunggak...tapi masalahnya, semua itu belum bisa tergapai. Ibaratnya ada celah berjurang dalam yang memisahkan aku dengan hal-hal tersebut. Yang aku butuhkan hanyalah sesuatu yang bisa menjembatani aku dengan semua itu. Tak perlu kubangun jembatan besi yang strukturnya njelimet. Sebuah batang pohon besar yang kokohpun sudah cukup untuk kujadikan tempat meniti perlahan ke seberang. Banyak pohon di sekitarku, namun kapak atau alat pemotong yang layak untuk menebangnya tersembunyi entah dimana. Tugasku adalah mencari alat pemotong itu dengan bermodal kesabaran dan keikhlasan.
Sambil aku mencarinya, aku terus membayangkan apa saja yang akan aku lakukan setelah aku berhasil menyebrangi celah itu. Selain membereskan segala urusan tunggakan, impian dan keinginanku tak banyak dan tak muluk-muluk. Sehingga aku mempertanyakan diri sendiri akan aku apakan rezeki yang tersisa. Dan pemikiranku kembali pada bagaimana sulitnya mendapatkan bantuan dari para kerabat dan kenalanku itu. Aku lalu mebayangkan betapa akan senangnya mereka bila kelak mereka datang dengan mengharapkan bantuan kemudian mendapatkannya dengan mudah dariku karena aku memang mampu. Mereka tak akan perlu kecewa dan pergi mencari bantuan lagi ke tempat lain. Betapa akan bahagianya aku jadinya.
Berkah dan rezeki kita itu sudah ditentukan olehNya. Aku sadar bahwa ketika aku gagal mendapatkan pinjaman dana dari suatu sumber, artinya rezeki untukku memang bukan dari situ. Sedangkan rezeki apapun yang menjadi milikku juga sifatnya hanya duniawi, sehingga tidak sepantasnya aku dewakan. Dan ketika ada kerabat, kenalan atau siapapun yang membutuhkannya, in shaa Allah rezeki yang aku punya bisa menjadi rezekinya pula.
Kebahagiaan yang aku dapatkan kelak saat berbagi rezeki menjadi berkah yang tak ternilai itu lalu memotivasi aku untuk terus berusaha mencari dan mencari dengan sabar solusi dari permasalahan yang aku hadapi. Dan buatku, itulah hikmah yang ada di balik ujian berat ini.