Mengapa acara ini menyita perhatianku? Karena saat itu seorang tamu, yang rupanya diaku sebagai pakar pembaca bahasa tubuh dan mimik muka, sedang mengulas tentang apa yang tersirat dibalik tampilan sosok-sosok selebriti di video yang rupanya baru saja ditayangkan. Salah satunya adalah tentang seorang aktris wanita yang dikabarkan sedang menjalani proses perceraian. Segala gerak gerik tubuh dan roman mukanya ketika diwawancarai diulas oleh sang tamu ini. Dari kesan depresinya hingga kiat mencoba menutupi kenyataannya seolah terbaca semua oleh sang tamu.
Aku terkesima pada momen ini bukan karena aku kagum dengan sang tamu yang terlihat piawai sekali mengartikan bahasa tubuh dan mimik muka sang aktris, tapi justru karena tereran-heran. Koq bisa ya...ada orang yang mengaku-ngaku pakar dalam hal ini? Apa iya ia sehebat itu, sementara ia bukanlah seorang cenayang? Bicara di acara TV yang mungkin saja ditonton begitu banyak pemirsa, ia bicara dengan penuh keyakinan bahwa apa yang dipaparkannya memang itu adanya. Tidak khawatir salahkah ia dengan penilaiannya meskipun di akhir acara, para hostes acara menegaskan bahwa mereka tidak bermaksud sedikitpun men-judge atau menghakimi?
Oke...sebut saja mereka tidak menghakimi. Tapi dengan membahasnya seperti itu di acara yang ditonton masyarakat, yang notabene memang haus gosip, mereka tak lain bagaikan mencoba membentuk image yang sedemikian rupa pada sang aktris sehingga masyarakat lebih mudah menghakiminya. Bagaimana tidak? Toch yang memaparkan semua itu adalah tamu yang disitu diperkenalkan sebagai pakarnya. Lalu bagaimana jika ternyata pemaparan itu meleset dari kenyataan? Beuh...menyebalkan sekali!
Ini bukan yang kali pertama ada orang yang dianggap sebagai pakar pembaca bahasa tubuh. Beberapa tahun silam, mantan teman serumahku di negeri seberang juga pernah dikenal kalangan luas sebagai pakar di bidang yang sama setelah sebelumnya ia dianggap sebagai pakar anti terorisme. Kepadaku ia boleh saja yakin bahwa pendapatnya akurat karena didasari teori-teori yang dibuat sesuai survey. Namun hanya segelintir sosok yang ia amati yang (akhirnya) terkonfirmasi kebenaran paparannya. Sebagian kecil lainnya tak terbukti benar di akhir kasus-kasus yang dialami, dan sisanya tersimpan sebagai misteri karena ia tak pernah berkesempatan untuk mendapatkan pembenarannya langsung dari mereka yang perilakunya jadi bahan tebakannya.
Buatku, beragamnya cara orang berekspresi membuatku yakin kita tak seharusnya mudah menebak makna apa yang ada dibalik ekspresi mereka itu. Kita perlu sekali mengenal seseorang dengan baik sebelum kita bisa mengartikan bahasa tubuhnya. Belum lagi bila itu menyangkut sosok yang punya dan mampu memanfaatkan kepribadian gandanya. Buktinya, ada seorang kenalan dekatku yang sempat lolos Polygraph Test yang menggunakan mesin Lie Detector, yang dilakukan oleh FBI. Padahal tak sedikit ketidakbenaran dalam jawaban yang ia berikan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya. Tanpa perlu aku jelaskan caranya, ia bisa mengakali mesin yang dianggap canggih dalam mendeteksi kebohongan lewat detak jantung...apalagi manusia yang mencoba mendeteksi lewat bahasa tubuh.
Pembelokan fakta dengan maksud buruk ataupun baik itu bisa terbongkarnya karena ada bukti-bukti otentik yang menyatakan sebaliknya. Dan selama hal itu belum terjadi, harusnya kita tidak menghakimi orang hanya berbasis pengamatan bahasa tubuh. Apalagi jika judgement seperti itu digembar gemborkan lewat media. Kesannya sok tau sekali!
Kalau boleh aku tambahkan pepatah dalam bahasa Inggrisnya, "Don't judge a book by its cover...especially when it only makes you look so stupid!"