Contohnya...yang terjadi di sebuah acara pesta Thanksgiving yang diadakan di rumah seorang teman ketika aku masih tinggal di negeri seberang. Ketika itu aku hatiku sedang berbunga-bunga karena aku berhasil menguliti ayam kalkun yang jadi hidangan utama. Kesenanganku itu berdasar karena kulit ayam merupakan musuh bebuyutan bagi kebanyakan orang disana karena kadar lemak kolesterolnya yang tinggi. Oleh karena itu, aku puas mendapatkannya disaat orang lain justru menghindarinya. Cukup fair, bukan?
Tapi di suatu saat ketika aku sedang tidak memperhatikan piring yang tengah aku pegang, seorang teman mencomot kulit yang ada di piringku dan melahapnya. Tentu saja hal ini membuat yang hadir dan melihatnya tertawa. Sontak saja suasana keceriaan itu berubah jadi tegang setelah pulukan keras bogemku ke perutnya membuatnya harus memuntahkan kulit ayam yang sedang dikunyahnya. Yang kemudian terjadi adalah debat sengit antara aku dengan ia dan istrinya yang menganggapku membesar-besarkan hal yang sepele. Dan akupun memutuskan untuk meninggalkan acara itu setelah memohon maaf pada pemilik rumah...bukan kepada perampas makananku.
Contoh lainnya...aku pernah mengomeli putra sulungku ketika dengar cerita bahwa ia bersama seorang teman lainnya diam-diam memasukkan banyak cuka ke dalam mangkuk berisi mie baso milik seorang temannya. Meski hal itu sudah terjadi beberapa jam sebelumnya, dan sang korbanpun sudah memaafkannya setelah dapat penggantian dengan porsi barunya, aku tetap memberi hukuman pada putraku dengan melarangnya makan mie selama sebulan. Suatu hukuman yang aku anggap cukup berat untuk seorang anak yang memang doyan makan mie. Buatku, kejadian itu sama saja dengan merampas hak temannya atas makanannya.
Nah...aku mengalami sebuah perampasan makanan pagi ini di rumah mertuaku. Sebungkus nasi uduk yang sudah siap aku santap terpaksa harus kutinggal dalam keadaan bungkusan terbuka setelah aku mendadak diminta untuk pergi sebentar membeli obat untuk mertuaku yang sedang tidak enak badan. Hanya kutinggal lima menit saja, aku kembali dengan mendapati nasi udukku tengah disantap oleh keponakanku. Pasalnya apa nih? Bukannya sudah jelas-jelas bunugkusannya terbuka...yang bisa diartikan milik seseorang? Bukankah yang masih terbungkus rapih lebih mengidentikan belum ada yang memilikinya?
Yang bikin aku makin geram adalah alasannya. Ketika diperingatkan oleh kedua putraku bahwa itu milikku, ia berdalih akan menyantapnya justru untuk menyelamatkannya; "Dari pada dimakan setan", katanya. Haah!!?? Aturan apalagi itu?? Sontak aku mengomel padanya. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia bahkan menyatakan kepadaku bahwa masih ada yang terbungkus untuk kumakan. Padahal yang satu itu disediakan untuk eyang-nya (mertuaku) yang sedang sakit itu.
Ugh...ingin sekali aku memperpanjang urusan ini. Namun aku urungkan niatku karena ternyata tindakannya itu didukung oleh mertuaku sendiri dengan alasan ia memang sedang tidak punya selera untuk makan nasi uduk. Mertuaku jugalah yang menyarankannya untuk menyantap yang telah terbuka dengan pertimbangan bahwa aku bisa mendapatkan gantinya yang masih baru dan hangat. Maka aku hanya diam saja dan menyantap nasi uduk pengganti yang lauknya tak selengkap apa yang harusnya aku dapatkan.
Aku sadar bahwa aku dikelilingi oleh banyak orang yang mungkin tak menganggap pentingnya arti sebuah makanan yang sudah menjadi hak orang lain. Mereka bisa menganggap setiap makanan yang mereka rampas sangat mudah tergantikan. Namun itu tak mengubah anggapanku bahwa merampas adalah mengambil tanpa izin pemiliknya. Meski obyeknya makanan, dan mau dibuat se elegant mungkin, tetap saja yang namanya merampas makanan berarti termasuk tindakan yang tercela.
Dan atas alasan konyol (buatku) yang dipakai keponakanku, aku hanya berkata dalam hati, "Biar nggak dimakan setan....akhirnya setan juga yang makan...preeeett!!!"